Langsung ke konten utama

Terima Kasih Kata yang Sudah Mengantarkan Saya Kepada Cinta

Terima Kasih Kata yang Sudah Mengantarkan Saya Kepada Cinta
Oleh: Yosi Sulastri



Judul buku : Kita, Kata, dan Cinta
Penulis : Khrisna Pabichara
Penyunting : Athena
Penerbit : Diva Press
Tahun terbit : Maret 2019
Jumlah halaman : 440 halaman
Nomor ISBN : 978-602-391-694-8
Dewasa ini kampanye mencintai bahasa marak diadakan. Terlebih lagi jika mendekati bulan bahasa, Oktober. Bahasa seakan menjadi bahan pembahasan yang pelik namun dipandang receh. Padahal, setiap hari dalam kehidupan setiap manusia pasti menggunakan bahasa. Pertanyaannya adalah bagaimana nasib Bahasa Indonesia di bangsa Indonesia?
Tidak hanya satu atau dua buku yang mengulas mengenai tata bahasa yang berlaku di Indonesia. Pelbagai panduan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) pun diterbitkan oleh banyak penulis dan penerbit. Ketebalan dan cakupan pembahasan juga beragam. Calon pembaca bisa memilih sendiri sesuai dengan keinginan. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah adakah masyarakat Indonesia mempunyai keinginan untuk mempelajari bahasa Indonesia selain mereka yang bergelut di disiplin linguistik?
Belajar bahasa Indonesia dicap sebagai suatu hal yang enteng. Ada segelintir orang yang masih enggan mempelajari bahasa Indonesia secara dalam. Anggapan bahasa Indonesia bisa dikuasai karena kebiasaan bertutur menggunakan bahasa Indonesia adalah penyebabnya. Pada kenyataannya, kebiasaan dalam penerapan bahasa Indonesia mengalami kesalahan yang sering dikaprahkan. Pola pembelajaran bahasa Indonesia masih sukar untuk diterapkan dalam praktiknya. Masih sering dijumpai di berbagai media mengenai kesalahan-kesalahan yang dianggap benar oleh mereka penutur bahasa. Sudah salah masih ngeyel pula. 
Latar belakang keprihatinan tersebutlah yang mungkin menginisiasi Khrisna Pabichara untuk melahirkan buku yang menguak mengenai kesalahan-kesalahan yang acap kali dilakukan oleh penutur bahasa Indonesia. Kali ini buku yang dianggit oleh lelaki kelahiran Janeponto, Sulawesi Selatan pada 10 November 1975 bukan sekadar buku panduan tata bahasa atau pedoman EBI. Jika mengulik mengenai jenis buku berjudul Kita, Kata, dan Cinta buku ini termasuk ke dalam sebuah novel. Tokoh utama yang berperan di dalam novel ini adalah Sabda dan Kana. Sepasang kekasih yang diceritakan sebagai tokoh yang getol mengampanyekan pentingnya mengikuti kaidah berbahasa Indonesia yang benar. Dokter Bahasa adalah julukan bagi mereka berdua.
Alur cerita yang ditawarkan di dalam bacaan setebal 440 halaman ini tidak melulu mengenai kisah percintaan. Tujuan dari hadirnya buku ini adalah sebagai sarana pendidikan bagi mereka yang bosan dengan metode pengajaran bahasa Indonesia. Pelajaran terkait dengan kesalahan berbahasa selalu muncul di setiap subbab dari novel ini. Pada setiap babnya terdapat pembahasan mengenai kaidah-kaidah EBI sekaligus Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. 
Menyajikan sebuah cerita yang menarik namun sarat makna bukanlah sesuatu yang sekali jadi dan mudah terjadi. Hanya penulis-penulis yang memang mempunyai kemampuan mendalam terkait bahasa Indonesia yang mampu menyajikan novel sedemikian rupa. Dengan pengalaman yang dimiliki oleh Khrisna, ia mampu menyajikan sebuah novel yang memiliki dwifungsi yaitu menghibur dan mendidik.
“Kalau pada kata saja aku sangat peduli, aku pasti akan lebih peduli pada kita.”
Kalimat di atas hanya satu dari sekian banyak kalimat rayuan gombal di dalam buku Kita, Kata, dan Cinta. Seperti judulnya, buku ini membahas mengenai hubungan sepasang kekasih yang menjadi “kita”, satuan bahasa yang mengantarkan rasa yaitu “kata”, dan sesuatu yang menyatukan “kita” melalui “kata” karena “cinta”. Begitulah gambaran mengenai novel yang banyak menyajikan unsur komedi di dalamnya. Hampir di setiap bab di dalam buku ini selalu menghadirkan unsur humoris dan kesalahan-kesalahan berbahasa yang membuat miris. Bukan sebagai bentuk promosi, buku ini memang sangat membantu bagi kita penutur bahasa Indonesia yang ingin lebih mencintai bahasa Indonesia bukan hanya melalu kampanye belaka.
Tidak memungkiri adanya sebuah kekurangan, novel terbitan Diva Press ini memang memilikinya. Ada beberapa bagian dari alur cerita yang kehilangan jalan ceritanya. Seperti pada bagian ketika ayah Kana berubah menyetujui hubungan Kana dengan Sabda. Ketika bagian tersebut dibaca, ada yang mengganjal mengenai kejelasan jalan cerita. Konsentrasi yang terpecah antara mengatur alur dan mengimbuhkan pembelajaran mungkin adalah faktornya. Selain itu, di dalam novel pemilik akun instagram @khrisnapabichara ini juga mengalami degradasi alur. Ketidakjelasan jalan cerita beberapa kali terjadi di dalam novel ini. Pembaca harus memiliki kesabaran dalam beberapa keadaan untuk bisa menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh Khrisna. 
Selain penceritaan yang menghibur, para pembaca akan mendapatkan bonus berupa 47 tabel yang menjelaskan mengenai kosakata baku dengan berbagai jenis kesalahannya. Tabel-tabel tersebut tentu mampu memperkaya kosakata baru dan dijamin baku bagi para pembaca. Menggugah hasrat untuk mengenal lebih jauh adalah hasil akhir dari apa yang didapatkan oleh pembaca setelah khatam buku ini. Jika setelah buku ini selesai dibaca tidak memiliki hasrat untuk memperbaiki penggunaan bahasa Indonesia, kecintaan Anda terhadap bahasa Indonesia patut dipertanyakan.
Bukan hanya novel biasa, itulah menurut saya Kita, Kata, dan Cinta. Dalam setiap kalimat yang tersaji di dalam buku ini merupakan hasil dari pelajaran bahasa Indonesia yang dialihkan dalam bentuk cerita. Novel akademisi mungkin cocok juga jika disematkan menjadi jenis baru dari buku ini. Tidak berlebihan memang jika hal itu disebutkan. Pasalnya hampir semua isi dari novel ini mengulik habis kesalahan berbahasa yang kaprah hidup di masyarakat dan dilengkapi dengan pembahasan yang ringan dan mudah dipahami. Kalimat lucu nun menggelitik dalam bentuk gombalan Sabda pun sering bermunculan. 
      Bagi kalian yang peduli dengan cinta dan kelestarian bahasa Indonesia wajib rasanya untuk membaca buku ini. Pesan dari Sabda bagi para penutur bahasa Indonesia adalah “jika sesuatu yang receh saja tidak dapat kalian ubah, bagaimana kalian akan mengubah sesuatu yang kalian anggap besar dan berat?”
Yogyakarta, 26 Februari 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...