Langsung ke konten utama

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina



Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram.

Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya.

Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya.

Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di dalamnya. Menu ini memang menjadi hal yang membuat saya tertarik untuk datang ke Bali Pulina. Selain karena beragam kopi yang disajikan dalam satu menu, pun karena tampilannya yang sungguh lucu. Menu ini disajikan dalam tatakan kayu yang dia atasnya tersaji lima cangkir kecil berisi beragam kopi. Dari arah kanan-kiri ada Bali coffee, vanilla coffee, pure cocoa, chocolate coffee, dan ginger coffee. Mari bahas satu per satu sensasi rasa dari masing-masing cecapan kopi-kopi itu.




Mula-mula saya meminum Bali coffee yang pekat, tebal, dan memang pahit. Tak ada sensasi rasa asam di akhir rasa. Mungkin ini adalah biji arabika (?). kemudian, saya beranjak pada cangkir kedua, yaitu vanilla coffee. Saya terhentak pada cecapan pertama. Rasanya pekat, tebal, asam, kental, da nada sensasi seperti minuman fermentasi. Cangkir kopi yang kedua ini terasa unik dan bukan “kopi” saya.

Pada cangkir ketiga, saya sudah membayangkan sensasi cokelat dan minuman cokelat yang pernah saya rasakan sebelumnya. Akan tetapi, begitu saya meminumnya rasanya sungguh berbeda. Sesuai dengan namanya, ini memang benar-benar cokelat murni – pure chocoa – yang tanpa gula sama sekali. Ini adalah benar-benar cokelat murni. Rasanya sungguh unik dan mengasyikkan. Aromanya harum dan rasanya pahit, tetapi enak—enak sekali.

Selanjutnya, saya beralih pada cangkir keempat, yaitu chocolate coffee. Rasa dari minuman ini adalah kombinasi dari cangkir pertama dan cangkir ketiga ketiga dengan sedikit tambahan rasa manis. Cangkir keempat ini juga memiliki rasa yang hampir sama dengan cangkir kedua. Akan tetapi, saya lebih cenderung menyukai cangkir keempat ini.

Terakhir, cangkir kelima yang berada di ujung kiri adalah ginger coffee. Aromanya seperti tanah basah, rasanya sungguh tebal, dan sensasi (?) sama sekali tidak terasa. Ini adalah cangkir paling unik dari kelima cangkir yang saya cicipi sore ini. Rasanya seperti meminum seduhan tanah. Iya, seperti tanah. Aroma dan rasa tanah sungguh terasa meskipun sebenarnya saya belum pernah makan tanah.

Dari kelima cangkir, yang paling saya suka adalah chocolate coffee. Cangkir keempat adalah cangkir yang nikmat.

Kemudian, menu kedua yang saya pesan di Bali Pulina adalah banana fritter. Satu porsi pisang goreng memang kawan yang cocok untuk menemani kopi-kopi yang saya pesan di sini.



Setelah merasa cukup menikmati kopi dan suasana sembari baca novel, saya memilih untuk beranjak dari Bali Pulina. Sesuai dengan janjian ketika di awal ketibaan di sini, saya pun akhiri dengan tur kopi. Sejak baru tiba, saya langsung disambut oleh pramusaji yang menawarkan untuk mengikuti tur kopi. Akan tetapi, saya merasa terlampau lelah karena sehabis menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Kintamani. Setelah dikonfirmasi bahwa saya masih bisa mengikuti tur ketika di akhir sesi, saya pun memilih begitu.

Pukul lima lebih seperempat saya beranjak dari tempat duduk dan menuju ke kasir terlebih dahulu. Areal Bali Pulina sungguh luas. Kasir tempat transaksi pembayaran pun terletak di area tersendiri yang benar-benar terpisah dari pengunjung. Rasanya seperti berada di permukiman dengan tetangga masing-masing rumah yang cukup berjauhan karena terpisah oleh lahan perkebunan.



Setelah membereskan pembayaran, saya langsung menuju ke areal pertama yang ketika saya baru masuk. Di sana saya sudah ditunggu oleh seorang yang sama dengan yang saya jumpai ketika baru tiba. Saya tidak menanyakan siapa namanya dan tak tertulis identitas di pakaiannya. Ia adalah laki-laki yang berusia sekitar 20-an. Sepanjang lebih dari setengah jam kami berkeliling dengan banyak hal yang ia ceritakan.

Perjalanan kopi dimulai dari kandang luwak yang memang menjadi hewan produksi dari kopi-kopi yang dihasilkan di Bali Pulina. Masing-masing kandang terdiri dari satu ekor luwak. Keseluruhan luwak yang dipiara di sini ada tiga ekor. Di hadapan kandang luwak, saya diceritakan tentang bagaimana proses produksi sebuah biji kopi mentah hingga bisa disebut kopi luwak.

Hewan luwak ternyata masih satu keluarga dengan kucing dan musang. Selain memakan ceri kopi, luwak juga bisa memakan biji-bijian yang lain. di Bali Pulina, luwak sengaja diberi pakan kopi-kopi yang dipetik di perkebunan. Dari semua biji yang dipetik, luwak hanya memilih biji-biji kopi berkualitas baik menurutnya. Itulah kenapa kopi luwak selalu memiliki kualitas yang baik pula.

Dari kandang luwak saya beranjak menuju meja yang menampilkan kopi luwak dari beragam fase, yaitu sejak masih berupa kotoran luwak, sudah dijemur, dan sudah dibersihkan. Di sana saya juga melihat beberapa tanaman lain yang memang ditanam di Bali Pulina. Selain kopi, perkebunan ini memang menanam rempah-rempah khas Indonesia seperti lada dan pala. Selain itu, ditampilkan pula beberapa rempah yang memang digunakan dalam menu meskipun tidak ditanam langsung di perkebunan, seperti rosella.

Perjalanan selanjutnya saya dibawa ke areal perkebunan yang memang sudah tampak ketika sebelumnya saya menuju area ngopi. Saya lupa dengan jenis kopi yang ditanam di Bali Pulina apakah robusta atau arabika. Melihat ciri-ciri yang saya rasakan ketika meminum kopi, sepertinya arabika (?). Masih dengan orang yang sama, saya diceritakan tentang beragam hal mengenai kopi.

Pada dasarnya, ada lima variabel yang memengaruhi cita rasa kopi. Jenis kopi, lokasi perkebunan, teknik pengupasa, teknik pemanggangan, dan teknik penyajian. Kopi Kintamani yang terkenal dari Bali merupakan hasil kombinasi dari beragam variabel tersebut. Ada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa kopi-kopi yang ditanam di Kintamani akan menghasilkan after taste jeruk atau citrus karena memang berdekatan dengan perkebunan jeruk. Cita rasa itu akan tetap muncul pada kopi jenis apa pun meski berasal dari daerah mana pun. Keunikan rasa tersebut yang sudah saya cicipi sebelumnya, yaitu di Kintamani.

Setelah bercerita tentang kopi secara umum, saya beranjak pada tanaman merambat berwarna hijau. Entah sudahkah saya pernah melihat tanaman itu secara langsung sebelumnya, tetapi saya memang tidak merasa asing dengan tanaman itu. Vanilla planifolia adalah tanaman yang banyak dibudidayakan di Bali Pulina. Dari tanaman ini pula saya mencicipi kopi vanilla yang saya minum sebelumnya.

Proses produksi biji vanilla sejak masih pembuahan di tanaman hingga jadi serbuk vanilla diceritakan dengan sabar olehnya. Beberapa hal yang dengarkan sungguh menarik dan hanya saya nikmati saat itu juga tanpa benar-benar teringat semuanya. Melalui tur tersebut, saya jadi mempertanyakan dengan visualisasi yang sering digambarkan ketika berkaitan dengan rasa vanilla. Tanamannya hijau, ketika kering akan berubah hitam, lalu yang sering dimunculkan adalah putih. Dari segi rasa, vanilla tidak akan berpengaruh. Sensasi yang dominan muncul dari vanilla adalah adalah aroma yang harum dan menggugah selera. Ketika saya menghirup aroma vanilla kering yang ditampilkan sebelumnya pun memang seperti itu, harum sekali.

Setelah dari perkebunan, kami beranjak menuju areal proses pengeringan biji kopi. Ada empat teknik yang dijelaskan, tetapi saya tidak bisa menjelaskan secara rinci dari masing-masing teknik tersebut. Masing-masing teknik tersebut juga menjadi faktor penentu after taste dari kopi yang diproduksi.

Beranjak pada area selanjutnya, saya diajak untuk melihat mesin penyangrai dan kopi-kopi yang sudah disangrai. Ada dua mesin yang ditampilkan dengan dua karakteristik yang berbeda. Ketika menuju areal itu, aroma kopi yang sudah tersangrai langsung menyeruak dan menyegarkan. Kopi yang sebelumnya telah dikeringkan, saya bisa melihat kopi-kopi itu telah terpanggang sempurna untuk kemudian siap digiling.


Areal itu menjadi tempat pemungkas dalam tur kopi saya di Bali Pulina. Masih bersama orang yang sama, kami tetapi ngobrol sepanjang perjalanan menuju areal gerbang pintu utama. Di sanalah kami berpisah dan saya benar-benar pergi dari Bali Pulina.

Pengalaman dari perjalanan kopi yang saya ikuti, kopi-kopi yang saya cicipi, cerita-cerita yang saya dengarkan, pemandangan yang saya nikmati; semuanya berkesan dan sungguh menyenangkan.

Kamu pasti akan suka ketika ke sini, …!





Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...