Perjalanan Ke(m)Bali yang Sungguh Teberkahi
Titiang lungsur mapamit dumun!
Novel Buku Besar Peminum Kopi yang saya bawa ke Bali sudah selesai dibaca pada beberapa menit sebelum pesawat akan membawa saya ke Jogja kembali. Perjalanan saya ditemani oleh Nong. Kami sama-sama bertarung. Bedanya dia bertarung di atas papan catur dengan lawan-lawannya, sedangkan saya bertarung dengan perasaan takut yang beberapa kali menguasai kepala. Nong telah menang, pun saya. Saya telah memenangi keragu-raguan dari diri sendiri yang menyangsikan, "Apakah saya bisa?"
Ada begitu banyak pertanyaan sepanjang perjalanan ke(m)Bali yang diajukan oleh orang-orang yang saya temui sepanjang perjalanan.
Kok, kamu boleh pergi seorang diri?
Kok, orang tuamu membolehkan?
Saya belum pernah bertanya secara langsung ke Mama Bapa dengan pertanyaan itu. Sepanjang yang saya ingat, Mama Bapa memang selalu mendukung dan memperbolehkan hal-hal yang saya inginkan. Kebiasaan yang selalu saya lakukan ketika akan meminta izin adalah menjelaskan latar belakang, tujuan, hingga akhirnya menyampaikan keinginan. Pada kesempatan terakhir misalnya, saya ceritakan dulu beberapa hal tentang kondisi terkini. Kemudian, saya sampaikan hal-hal yang sudah saya lakukan. Pada akhirnya, saya utarakan bahwa saya akan bepergian.
Mama Bapa bukan tanpa reaksi, mereka pasti akan langsung menanyakan beberapa hal dan berpesan banyak hal. Pertanyaan yang sering dan hampir selalu ditanyakan adalah, "Pergi sama siapa?" Berapa hari? Menginap di mana? Ke mana saja? Mau ngapain ajah di sana? Ada uang gak?"
Ada perbedaan yang kentara dari reaksi antara mama dan bapa. Bapa cenderung santai dan tampak tak terkejut, tetapi mama pasti akan langsung mencecar dengan pertanyaan-pertanyaannya. Meski begitu, pada akhirnya mama bapa akan menyampaikan hal yang sama, "Pergi ya pergi, tapi hati-hati." Template seperti itu.
Kebiasaan berpamitan pun tak bisa serta merta saya hilangkan meski sudah berada di kota berbeda yang sebenarnya Mama Bapa gak akan tahu sekalipun saya pergi. Akan tetapi, saya tidak bisa untuk tidak berpamitan ke mereka. Sempat mencoba untuk pergi saja tanpa bilang ke Mama Bapa, tetapi yang terjadi justru saya merasa khawatir meski akhirnya tidak terjadi apa-apa. Ketika sedang bertelepon, yang sering saya ceritakan adalah rencana perjalanan selanjutnya. Saya akan bercerita ke mana saya akan pergi, tempat-tempat apa yang saya datangi, dan hal apa saja yang saya temui. Kemudian, ketika ada kesempatan libur untuk pulang ke rumah saya akan kembali bercerita pengalaman-pengalaman yang saya dapatkan dari perjalanan sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar