Langsung ke konten utama

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perjalanan Ke(m)Bali yang Sungguh Teberkahi




Titiang lungsur mapamit dumun!

Novel Buku Besar Peminum Kopi yang saya bawa ke Bali sudah selesai dibaca pada beberapa menit sebelum pesawat akan membawa saya ke Jogja kembali. Perjalanan saya ditemani oleh Nong. Kami sama-sama bertarung. Bedanya dia bertarung di atas papan catur dengan lawan-lawannya, sedangkan saya bertarung dengan perasaan takut yang beberapa kali menguasai kepala. Nong telah menang, pun saya. Saya telah memenangi keragu-raguan dari diri sendiri yang menyangsikan, "Apakah saya bisa?"


 

Ada begitu banyak pertanyaan sepanjang perjalanan ke(m)Bali yang diajukan oleh orang-orang yang saya temui sepanjang perjalanan.



Kok, kamu boleh pergi seorang diri? 

Kok, orang tuamu membolehkan?

Saya belum pernah bertanya secara langsung ke Mama Bapa dengan pertanyaan itu. Sepanjang yang saya ingat, Mama Bapa memang selalu mendukung dan memperbolehkan hal-hal yang saya inginkan. Kebiasaan yang selalu saya lakukan ketika akan meminta izin adalah menjelaskan latar belakang, tujuan, hingga akhirnya menyampaikan keinginan. Pada kesempatan terakhir misalnya, saya ceritakan dulu beberapa hal tentang kondisi terkini. Kemudian, saya sampaikan hal-hal yang sudah saya lakukan. Pada akhirnya, saya utarakan bahwa saya akan bepergian.

Mama Bapa bukan tanpa reaksi, mereka pasti akan langsung menanyakan beberapa hal dan berpesan banyak hal. Pertanyaan yang sering dan hampir selalu ditanyakan adalah, "Pergi sama siapa?" Berapa hari? Menginap di mana? Ke mana saja? Mau ngapain ajah di sana? Ada uang gak?"

Ada perbedaan yang kentara dari reaksi antara mama dan bapa. Bapa cenderung santai dan tampak tak terkejut, tetapi mama pasti akan langsung mencecar dengan pertanyaan-pertanyaannya. Meski begitu, pada akhirnya mama bapa akan menyampaikan hal yang sama, "Pergi ya pergi, tapi hati-hati." Template seperti itu.

Kebiasaan berpamitan pun tak bisa serta merta saya hilangkan meski sudah berada di kota berbeda yang sebenarnya Mama Bapa gak akan tahu sekalipun saya pergi. Akan tetapi, saya tidak bisa untuk tidak berpamitan ke mereka. Sempat mencoba untuk pergi saja tanpa bilang ke Mama Bapa, tetapi yang terjadi justru saya merasa khawatir meski akhirnya tidak terjadi apa-apa. Ketika sedang bertelepon, yang sering saya ceritakan adalah rencana perjalanan selanjutnya. Saya akan bercerita ke mana saya akan pergi, tempat-tempat apa yang saya datangi, dan hal apa saja yang saya temui. Kemudian, ketika ada kesempatan libur untuk pulang ke rumah saya akan kembali bercerita pengalaman-pengalaman yang saya dapatkan dari perjalanan sebelumnya. 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...