Tari Kecak dan Matahari Terbenam yang Menawan
Membayangkan menonton pertunjukkan tari di teater terbuka dengan pemandangan hamparan laut seiring matahari terbenam adalah sesuatu yang menakjubkan, bukan?
Demi menjawab pertanyaan dan rasa penasaran itu, sejak jauh-jauh hari saya sudah memesan tiket pertunjukkan budaya Bali Tari Kecak Uluwatu bahkan sebelum ketibaan saya di Pulau Dewata. Melalui sebuah aplikasi pemesanan tiket, saya membeli tiket pertunjukkan pada pukul 18.00 WITA seharga 140k. Harga tersebut lebih murah dibandingkan dengan harga di lokasi, yaitu 150k per tiket per orang. Sebuah pilihan yang tepat ketika saya memutuskan untuk membeli tiket h-9 pertunjukkan. Ketika sudah di lokasi, tiket reguler pukul enam sudah tak bersisa. Para pengunjung yang memang ingin menonton pertunjukkan hanya punya satu pilihan, menonton pada pertunjukkan berikutnya, yaitu pukul 19.30 (?).
Tari Kecak merupakan tarian Bali yang unik. Sepanjang pertunjukkan tak ada iringan alat musik sama sekali. Segala suara pengiring berasal dari perpaduan suara-suara para penari. Jumlah mereka ada sekitar 50-an laki-laki.
Konon, tarian ini menjadi media penghubung antara para dewa atau leluhur sehingga dapat menyampaikan sabdanya pada si penari. Lalu, ada 1930-an, cerita-cerita epos Ramayana mulai dimasukkan ke dalam Tari Kecak.
Episode yang diceritakan pada pertunjukkan Tari Kecak Uluwatu terbagi ke dalam emat adegan.
Rama, Sinta, dan Kijang Emas
Adegan pertama, Rama, Sinta, dan Laksmana memasuki arena. Kemudian, muncullah Kijang Emas. Sinta meminta Rama untuk menangkap kijang tersebut. Rama pun meninggalkan Sinta yang dijaga oleh Laksmana. Lalu, tiba-tiba terdengar suara jeritan minta tolong. Karena Sinta mengira itu adalah Rama, Laksmana pun disuruh untuk membantunya. Laksamana pada saat itu enggan untuk meninggalkan Sinta karena ia ingat pesan Rama untuk menjaga Sinta. Akan tetapi, Laksmana dituduh hendak mencari keuntungan atas kematian Rama. Ia pun murka dan pergi meninggalkan Sinta seorang diri.
Sinta, Rahwana, Bhagawan, dan Garuda
Adegan kedua, Rahwana muncul untuk mencuri Sinta tetapi tidak berhasil. Dengan akal jahatnya, Rahwana berubah wujud menjadi Bhagawan (orang tua) yang sedang kehausan dan meminta air yang diambilkan oleh Dewi Sinta. Setelah dibawakan air, Sinta dibawa lari oleh Bhagawan yang ternyata adalah Rahwana. Sinta lalu menjerit minta tolong yang kemudian didengar oleh burung Garuda yang sedang terbang di angkasa. Garuda pun menolong Sinta, tetapi tidak berhasil karena sayapnya patah ditebas oleh Rahwana. Akhirnya, Sinta pun dibawa kabur ke Alengka Pura.
Twalen, Rama, Truna Laksmana, dan Hanoman
Adegan ketiga Sinta meratapi nasibnya di Taman Istana Alengka ditemani oleh Trijaya keponakan Rahwana. Kemudian, Hanoman (si Kera Putih) muncul dan berkata bahwa ia adalah utusan Sang Rama. Ia pun menunjukkan cincin Rama yang dibawanya. Sinta kemudian menyerahkan bunga untuk diserahkan kepada Rama dengan pesan agar ia segera menyelamatkan Sinta.
Hanoman lalu pergi menuju Taman Alengka Pura dan mengobrak-abriknya. Abdi Alengka Pura terkejut melihat keadaan yang porak poranda lalu memerintahkan para raksasa untuk mencari si pembuat onar. Hanoman pun tertangkap lalu diikat dan dibakar. Akan tetapi, si Kera Putih akhirnya lolos dari maut berkat kesaktiannya.
Sinta Trijata dan Hanoman
Tualen sebagai abdi dari Sugriwa si Raja Kera Merah datang ke Alengka Pira untuk membantu Rama merebut Sinta dari Rahwana. Mengetahui hal itu, Rahwana pun marah dan terjadilah peperangan dengan Sugriwa. Pada waktu yang tepat, datanglah Hanoman, Rama, dan Laksmana. Rahwana terkena kesaktian panah Rama kemudian terjatuh. Supaya Rahwana tidak jatuh ke tanah, Hanoman melompat dan mengambil jasadnya. Akhirnya, Rahwana pun mati. Rama-Sinta kembali bersatu.
Empat episode epos yang ditampilkan dalam pertunjukkan Tari Kecak Uluwatu tersebut diiringi dengan alunan acapela dari para penari. Suara-suara yang menguar ke udara dan seakan tak menghiraukan deburan ombok yang menghantam dinding tebing membuat saya beberapa kali merinding. Tatapan penari yang memerankan Dewi Sinta sungguh tajam penuh makna. Para laki-laki yang berjumlah ... itu tampak menikmati jalannya pertunjukkan. Ada kisah-kisah dalam bahasa Bali yang diucapkan oleh salah seorang penari laki-laki sepanjang pertunjukkan. Rapalannya seperti mantra dan tampak sungguh berwibawa.
Sejak matahari masih bertengger di ufuk barat dengan bulat kuning-jingga sempurna, saya menikmati Tari Kecak Uluwatu bersama sekitar seribu penonton di tribun. Hingga matahari telah kembali ke peraduan dan langit menyisakan warna-warna gradasi ungu-jingga-lembayung-cokelat-, saya dan para pengunjung pun beranjak pergi dan membubarkan diri.
Pengalaman menonton pertunjukkan Tari Kecak uluwatu terasa mendebarkan. Apalagi pada perjalanan pulang. Saya tak mempersiapkan sebelumnya bahwa jalanan yang saya lalui akan lebih menyeramkan pada malam hari. Ketika masih siang-sore, jalan yang saya lewati masih cukup ramai dan memang berkelak-kelok naik-turun. Pada malam sekitar pukul delapan saya turun beranjak dari Uluwatu, jalanannya masih sama kelak-kelok dan naik-turun. Bedanya adalah terasa lebih sepi dan gelap karena minimnya penerangan jalan.
Menakjubkan! Saya bisa melalui itu semua sendirian!
Perjalanan ini memang teberkahi Tuhan Semesta Alam!
Allahu Akbar!
Komentar
Posting Komentar