Nanti bangkehku di liat bidari,
Pada sudarah menunjuk jari.
Liat di lupa saorang mati,
Mulutnya kaku cium bunga melati,
"Mari kit 'angkat ia di sorga,
Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah
Bajing” yang ada di lampiran buku Max
Havelaar. Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi
pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia.
Puisi itu muncul ketika Multatuli
melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada
bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk
memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah
merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang
karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan
mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika
memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda
(seorang perempuan yang telah menjadi kawannya sejak kecil) akan bertemu pada
kurun waktu 32 garis lesung. Lalu, apa hubungan antara Saidjah, Adinda, dan
ketidakadilan di Hindia?
Havelaar dikisahkan sebagai seorang
Asisten Residen Lebak. Pada masa jabatannya, ia menyaksikan penyalahgunaan
kekuasaan dari penjabat pribumi. Dua pejabat yang ia pergoki dan laporkan ke Gubernur
adalah Bupati Lebak dan Pejabat Distrik Parang Kujang (salah seorang pejabatnya
adalah menantu laki-laki Bupati. Melalui surat-surat yang ditulis Havelaar
kepada Gubernur Jenderal, ia menceritakan dan meminta agar segera dilakukan
penyelidikan. Akan tetapi, semua laporan yang ditulis oleh Havelaar sama sekali
tidak ditanggapi. Justru berujung pada pengalihan jabatan Havelaar menjadi
Asisten Residen Ngawi walaupun akhirnya lebih memilih mundur dari jabatan
pemerintahan Belanda di Hindia saat itu.
Kisah Saidjah dan Adinda
Distrik Parang Kujang adalah wilayah
asal dari Saidjah. Kisah penyalahgunaan wewenang pejabat pribumi terjadi di
sana. Kerbau yang dipunyai oleh Saidjah dan bapaknya dibawa oleh pejabat
sebagai pengganti pajak. Bapak Saidjah dibawa ke Buitenzorg (Bogor) dan
mendapat penyiksaan di sana. Sepulang dari merantau dan telah bisa membeli
kerbau, hal yang sama justru terjadi pada keluarga Adinda. Bapaknya menunggak
pajak yang akhirnya memilih kabur dan membawa Adinda menuju ke seberang pulau.
Kisah pilu dari kandasnya hubungan
asmara antara Saidjah dan Adinda adalah satu contph realitas yang ditampilkan
Multatuli dalam novelnya. Pemungutan pajak berlebihan oleh pejabat, eksploitasi
tenaga kerja tanpa upah, penyiksaan karena dianggap tak patuh pemerintah; itu
menjadi pemandangan yang dilihat Havelaar ketika mejabat sebagai Asisten
Residen Lebak. Menyadari bahwa ia dihadapkan pada ketidakadilan, Havelaar
mencoba untuk berdiri sebagai pejabat yang menjanjikan keadilan pada setiap
rakyat yang meminta pertolongan padanya. Akan tetapi, ternyata Havelaar sama
papanya dengan orang-orang yang datang ke rumahnya itu. Jabatan asisten residen
tidak cukup untuk menjadi penolong dan penegak keadilan di Hindia. Untuk bisa
menolong Havelaar sendiri pun tak bisa.
Setelah menmpuh diplomasi surat yang
penuh dengan penolakan dan desakan-desakan, Havelaar memilih berhenti. Ia sadar
diri dan sadar posisi. Ketidakadilan baru bisa ia kendalikan ketika ia
benar-benar punya jabatan tinggi. Demi dirinya sendiri, demi istrinya, dan demi
si kecil Max ia memilih mengajukan permohonan pemecatan sukarela kepada
Gubernur Jenderal. Satu pejabat nyatanya tidak mampu menjadi pahlawan keadilan
ketika pejabat-pejabat di sekelilingnya justru mejatuhkan, menyepak,
menghardik, memojokkan, hingga membuang satu selilit tersebut. Havelaar
hanyalah batu sandungan dari kepemerintahan yang korup di Hindia pada saat itu.
Mari diskusikan bersama buku Max Havelaar karya Multatuli ini pada
diskusi buku ke #61 @klubbukumain2.
Judul novel : Max Havelaar
Penulis :
Multatuli (Eduard Douwes Dekker)
Penerbit : Qanita
Tahun terbit :
Pengalih bahasa :
Jumlah halaman :
Komentar
Posting Komentar