Langsung ke konten utama

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

 




Desa Adat Seminyak

Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.

 

Pantai Seminyak

Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali.

Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya dilewati satu dua kendaraan. Orang-orang yang saya temui adalah para wisatawan yang sedang lari pagi atau ibu-ibu penjual makanan dan anak sekolah. Pada tiap gang, selalu ada canang yang diletakkan di tengah-tengahnya. Isian canang itu beragam dan berbeda-beda. Akan tetapi, masing-masing canang pasti terdapat bunga di dalamnya. Bunga kemboja hampir tidak pernah absen dari canang-canang yang saya lewati di sepanjang jalan. Pertokoan pun meletakkan canang di depan pintu dan depan jalannya. Warnanya menarik dan cantik.

Arah yang saya tempuh dari hostel adalah belok kiri lalu jalan terus hingga ke perempatan di seberang Pura Desa - Desa Adat Seminyak di sebelah kanannya. Setelah itu, saya ambil kiri dan mengikuti jalan tersebut sampai akhirnya tembus di gerbang Pantai Seminyak. Butuh waktu dua puluh menit untuk berjalan sampai ke pantai.

Ketika sampai di bibir pantai, ada semacam kabut atau asap yang masih menyelimuti sekeliling.

Sejak sampai di pantai, saya menggelar kain dan menjereng bekal yang saya bawa. Kopi pun saya seduh. Setelah itu, saya membaca beberapa bab novel "Buku Besar Peminum Kopi" yang saya bawa.




Hilir mudik orang sangat ramai di hadapan saya. Berlari, berjalan, bermain air. Bahkan anjing-anjing pun hampir sama ramainya dengan orang-orangnya.

Beberapa kali ada anjing-anjing yang berjalan menghampiri. Saya ngeri dengan mereka. Anjing yang berpemilik langsung diamankan oleh pemiliknya. Wah, mendebarkan.

O, ya, dari tempat saya duduk saya bisa melihat Garuda Wisnu Kencana. Letaknya ada di arah pukul sepuluh dari tempat saya duduk. Meski tidak terlalu jelas, monumen megah itu tampak siluetnya.

Montana Del Cafe Kintamani, Bangli

Setelah menempuh dua jam perjalanan mengendarai sepeda motor, saya sampai di tempat yang begitu menyenangkan dan menyenangkan dan menyenangkan. Allahu akbar! Subhanallah.

Perjalanan pagi tadi dimulai dari tempat rental motor di Seminyak. Mendung masih menyelimuti awan sejak dari Denpasar. Mendung pun masih tetap ada ketika saya memasuki daerah Kintamani. Benar kata Adil, suasananya mirip Kaliurang. Jalanan berkelok, sedikit naik turun, dan dingin menyejukkan.

Memasuki daerah Gianyar, suhu mendingin. Saya melewati beberapa untaian akar beringin. Pura di samping kanan kiri tak pernah absen menjadi pengiring. Pohon kemboja kuning, putih, merah muda berdiri gagak di tepi-tepi jalan. Perempuan berkebaya kuning, merah, hijau, dan beraneka warna terlihat baru keluar dari pura. Cantik. Menarik. Mereka tampak ceria dengan warna-warna kain yang dikenakan sebagai rok, baju, dan pelilit di pinggang.




Saya terpesona dan terpukau pada jalanan dari Denpasar menuju Kintamani. Ketika sudah sampai di Jalan Raya Penelokan, saya semakin terkagum. Gunung Batur menyambut megah di sisi timur laut. Dari jalan itu, saya langsung menuju lokasi yang memang ingin saya datangi, yaitu Montana del Cafe.

Sesuai harapan dan bayangan, tempat ini sungguh menawan. Suasana dingin dengan matahari yang hangat sungguh bikin saya betah. Duduk di sini dengan pemandangan Gunung Batur dan Danau Batur benar-benar menakjubkan.



Satu gelas V60 japaness biji kopi Kintamani menjadi minuman yang menemani saya siang ini. Menyegarkan, menyenangkan!

Saya minum kopi V60 biji Kintamani di Kintamani. Luar biasa! Terharu saya bisa sampai di sini setelah menempuh perjalanan dua jam seorang diri.



Pura Segara Ulun Danu Batur

Lima hari sebelum puncak Upacara Karya Agung Danu Kerthi.






Setelah menikmati pemandangan Danau Batur dari atas pegunungan Kintamani, saya pun mendekati ke areal danau dengan tujuan utama sebuah pura yang berdiri di atas permukaannya. Tak butuh waktu lama, hanya sekitar seperempat jam saya mengendarai motor untuk turun ke Danau Batur. Jalanannya berkelok dan menanjak-menurun. Kendaraan tidak terlalu ramai sehingga tidak terlalu menjadi penghalang perjalanan.

Tempat kedua yang saya datangi di hari kedua di Bali adalah Pura Segara Ulun Danu. Ketika baru di gerbang depan, saya berhenti terlebih dahulu untuk bertanya beberapa hal ke orang-orang yang ada di sana.

Sistem kepercayaan adalah satu aspek dari unsur kebudayaan. Saya semakin mengerti bahwa religi adalah bagian dari budaya ketika telah bersinggungan dengan sebuah hasil kajian tentang aspek sekala dan niskala (lahir dan batin) dalam sebuah sistem kepercayaan. Hubungan lahir dan batin itu adalah bagian dari tiga konsep yang diyakini, yaitu ketuhanan (parhyangan), kemanusiaan (pawongan), dan aspek lingkungan (palemahan).

Berkunjung ke desa adat memang masuk ke dalam salah satu daftar tempat yang saya datangi pada perjalanan ini. Bersama dengan seorang Pecalang Desa Adat Batur, saya ditemani berkeliling di area pura yang berada di Kaldera Batur ini. Beberapa kali kami berhenti, atau lebih tepatnya saya, untuk melihat betapa meriahnya sebuah gelaran upacara bahkan ketika masih persiapan. Beberapa banjar menjadi tempat berkumpul sekelompok laki-laki; remaja, dewasa, kepala tiga-empat-lima.

Apa yang saya lihat di Desa Adat Batur ini sama dengan esai-esai yang ada di buku karya Gde Aryantha Soethama yang telah saya baca beberapa bulan lalu.

Laki-laki mendominasi persiapan. Segala pekerjaan mereka garap, mulai dari menyiapkan penjor, merangkai bebungaan, menyiapkan tanaman-tanaman, menghias sudut-sudut pura. Satu hal yang belum terlihat adalah memasak makanan khas untuk upacara, lawar misalnya.

Melalui kunjungan ini, saya bisa melihat aspek sekala bahkan baru pada proses persiapan upacara keagamaan. Jelas sekali terlihat dan terbaca.

Melalui kunjungan ini pula, saya merasa diterima. Orang-orang menyambut, membantu, menyapa, dan memberikan rasa aman pada saya yang datang ke sini tanpa kawan dan keluarga.

Satu hal yang saya takutkan dan sempat akan menjadi penghalang pada perjalanan ini nyatanya telah terbantahkan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...