Langsung ke konten utama

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #1

 




Tepat sebulah yang lalu pada tanggal yang sama saya memulai perjalanan ke Bali. Minggu pagi saya berangkat dari kos menuju Stasiun Yogyakarta. Saya memulai perjalanan dengan menaiki kereta bandara yang akan membawa saya ke Yogyakarta International Airport (YIA). Jadwal keberangkatan kereta bandara adalah pukul 10.20. Saya baru tiba di stasiun pukul 10.12, delapan menit sebelum kereta memulai perjalanan. Koper seberat belasan kilo yang saya bawa harus diseret dengan cepat. Gerbang masuk penumpang menuju kereta padat oleh para calon penumpang maupun para penumpang yang turun di stasiun. Saya sudah sering naik kereta (antarkota, antarprovinsi, LRT, MRT), tetapi ini kali pertama saya menaiki kereta bandara. Karena memang di tiket tidak ada nomor kursi, saya langsung menempati kursi kosong yang saya lewati. Saya duduk dengan seorang bapak-bapak yang ternyata akan pergi ke Pekanbaru bersama istri dan dua anaknya. Satu jam perjalanan di kereta kami habiskan dengan mengobrol, tak pernah berhenti. Bapak-bapak itu adalah orang ke sekian yang menanyakan perihal perjalanan saya ke Bali, "Sendirian? Boleh sama orang tua? Mau ngapain ke Bali?"

Mungkin saya butuh waktu tersendiri untuk menuliskan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kemudian sering ditanyakan ke saya pada setiap kesempatan berbincang dengan orang asing.

Sepanjang berbincang dengan bapak-bapak yang menetap di Solo itu, saya merasa lebih percaya diri dengan perjalanan ke Bali. Hingga akhirnya kami berpisah ketika turun dari kereta. Saya langsung menuju ke areal bandara untuk menunggu waktu check-in pesawat. Sebelum itu, saya sempatkan terlebih dahulu untuk menuju musala bandara. Selepas salat, baru deh saya beranjak ke depan loket Lion Air.

Beberapa jenak kemudian, loket antrean pun dibuka. Baru beberapa menit saja antrean sudah mengular. Di samping saya, ada dua orang WNA Belanda dengan tujuan yang sama, yaitu Denpasar. Saya tersenyum pada seorang ibu-ibu Belanda itu. Kemudian, ia menyapa dan akhirnya kami berbincang.

Dari obrolan itu, saya tahu bahwa mereka akan ke Bali untuk berlibur setelah menghabiskan beberapa hari di Yogyakarta. Ia sempat heran dengan bahasa Inggris saya yang katanya terdengar fasih. Saya sampaikan bahwa saya belajar di sekolah dan kampus. Karena antrean saya sudah lebih dulu maju, obrolan pun terhenti.

Perasaan cemas sempat muncul ketika mengingat batas maksimum bagasi. Saya khawatir koper yang saya bawa akan melebihi batas 20 kg. Ketika sudah di depan loket dan ditimbang, ternyata hanya 12 kg. Lega, saya tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk bagasi.

YOGYAKARTA INTERNATIONAL AIRPORT

Pesawat saya lepas landas pukul 13.40 WIB, tetapi saya sudah sampai di ruang tunggu sejak pukul 12.23. Ketika menunggu, saya habiskan makan siang dari bekal yang saya bawa sembari membaca buku. Saya sengaja membawa bekal supaya tidak perlu repot cari tempat makan ketika sewaktu-waktu merasa lapar. Buku bacaan yang tipis pun saya bawa. Animal Farm yang baru dibaca beberapa bab jadi buku yang menemani saya di ruang tunggu.



Sampai di situ semuanya aman. Hingga ketika di pesawat dan akan lepas landas saya tetiba teringat kembali dengan berita duka yang memang harus saya terima. Saya menangis di pesawat. Bukan karena saya takut dengan ketinggian, bukan. Saya menangis ketika mengenang kepergian kawan. Hampir sepanjang satu jam di pesawat saya masih sendu. Bahkan ketika pesawat sudah mendarat pun saya masih menangis. Akan tetapi, saya harus berhenti berlarut dengan kesedihan.

BANDARA NGURAH RAI

Ketika keluar dari pesawat itulah saya merasa rileks dan sudah mulai berdamai dan berhenti dari rasa sedih untuk sejenak.

Hal yang baru dari bandara-bandara yang pernah saya singgahi adalah transportasi lanjutan di dalam areal bandara. Selepas turun dari pesawat, saya tidak langsung menuju pintu keluar. Semua penumpang mesti menaiki bus Bandara Ngurah Rai yang memang sudah disediakan. Saya kira itu hanya membawa rombongan tertentu, ternyata semua penumpang tanpa terkecuali harus menaiki bus itu. Busnya mirip dengan bus transjogja atau transjakarta tetapi dengan dominasi warna merah.



Bus itu membawa saya sekitar lima menit hingga akhirnya berhenti di pintu gerbang keluar. Dari situ, saya langsung menuju ke pengambilan bagasi. Sepuluh menit saya menunggu koper hingga akhirnya mulai berjalan keluar ke bandara.

Ikon menonjol di pintu keluar kedatangan itulah yang langsung menarik penglihatan saya. "Bali" berwarna merah delima menjadi ikon berfoto banyak orang. Saya sungguh ingin berfoto di depan saya, tetapi rasanya terlalu ribet untuk mengeluarkan tripod dan mengambil foto sendiri di kondisi berangin seperti itu. Ketika sedang menunggu tempat itu sepi dari orang, ada seorang WNA yang tampak pula sedang menunggu. Ia adalah penumpang pesawat yang duduk di sela samping saya. Kami akhirnya sepakat untuk bergantian mengambil foto. Saya mengambil fotonya terlebih dahulu, kemudian ia bergantian mengambilkan foto saya.

Ya, seperti itulah yang akan terjadi ketika bepergian seorang diri dan ingin berfoto.

Ia tampaknya memang datang sendiri ke Bali, sama seperti saya.

Keluar dari Bandara Ngurah Rai saya benar-benar sendiri. Tak ada kenalan, teman, keluarga, maupun kolega yang menemani. Dengan koper dan tas ransel, saya langsung menuju area pemesanan ojek. Ketika bertanya ke petugas ojek online di dalam areal bandara, ternyata ojek motor tidak bisa masuk. Saya harus berjalan sejauh hampir satu km dengan bawaan yang cukup berat itu. Di tengah perjalanan, saya merasa sudah kelelahan. Karena ada tukang ojek yang menawari, saya pun memilih berhenti. Kami nego biaya yang harus saya bayar supaya ia mengantar saya ke hostel. Setelah sepakat dengan harga dan lokasi, ia pun membantu membawa koper hingga ke area motor. Itu sungguh sangat membantu. Meskipun saya harus bayar lebih mahal daripada pesan dengan aplikasi, saya bisa menghemat tenaga dan tak terlampau lelah karena harus menyeret koper.

MBOX HOSTEL SEMINYAK

Hostel tempat saya menginap bisa ditempuh dalam waktu kurang dari setengah jam dari bandara. Sepanjang perjalanan, saya sudah merasakan nuansa "Bali" yang selama ini saya bayangkan. Kami melewati jalan-jalan kecil, di samping kanan-kiri hampir tidak pernah absen dengan pohon kemboja. Pura banjar maupun pura desa pun saya lewati. Beberapa aktivitas warga masih tampak. Semakin dekat area hostel, pertokoan aksesori dan oleh-oleh khas Bali berderet tak pernah putus. Petang hari WIT akhirnya tiba di hostel tempat saya menginap, yaitu MBOX Hostel Seminyak.

Setelah turun dan membayar ojek sebesar 40k, saya langsung berbegas masuk untuk check-in. Area yang saya lewati pertama kali adalah sebuah kafe yang penuh tanda tanya. Dari sana, saya berjalan menuju lobi yang sudah ada seorang petugas jaga. Saya sebutkan bahwa saya sudah reservasi melalui sebuah aplikasi pemesan daring. Setelah registrasi data diri, saya diinfokan bahwa semua tamu yang menginap bisa menikmati makan malam gratis tiap malamnya. Saya menuliskan nama di daftar tamu yang akan makan malam pada hari itu. Setelah beres registrasi, saya langsung diantar ke kamar yang berada di lantai dua. Lokasi kamar, kasur, kamar mandi, akses keluar-masuk; dijelaskan oleh petugas tersebut. Setelah beres, saya langsung merebahkan badan di kasur dalam kamar yang berpendingin ruangan. Rencana untuk langsung bepergian saya urungkan. Badan sudah terlampau lelah untuk langsung jalan-jalan. Akhirnya, saya memilih untuk bebersih dan bersiap turun ketika pukul tujuh.



Beberapa menit setelah waktu makan malam tiba,  saya turun ke bawah dan merasa terkejut. Area yang saya lewati sebelumnya telah ramai oleh para tamu. Kafe yang saya lihat di awal kedatangan ternyata bukan sekadar kafe, melainkan lebih pantas disebut klub. Saya perempuan berkerudung dengan gamis menjuntai panjang sendirian di area itu. Meski merasa menjadi minoritas (karena tamu-tamu tampak sungguh berbeda penampilan), saya tetap saja berjalan menuju area makan. Setelah bertanya perihal area yang bisa diakses oleh tamu yang menginap—dan baru saja mengambil makan, seorang laki-laki memanggil saya dari tempat duduknya. Kami bertegur sapa dan ia langsung mengajak saya untuk gabung makan di meja panjang itu.

Sebuah meja di area depan lobi telah berisi beberapa orang. Dari meja itu, saya berkenalan dengan Santo dari Pontianak, Kim dari Jakarta, Isabel, Galih, Mohamed dari Turki, dan beberapa orang lainnya para tamu yang menginap di MBOX.

Suasana hati saya ketika makan malam masih sendu, apalagi ketika ada yang bertanya perihal "Sendirian?". Lalu, entah karena pertanyaan apa tetiba saya bercerita tentang berita kematian yang saya dapat sehari sebelum saya berangkat ke Bali. Saya berkaca-kaca sebelum akhirnya kembali tertawa karena candaan dari mereka.

Makan malam pertama di Bali yang saya kira akan dihabiskan seorang diri ternyata jauh dari ekspektasi. Saya makan bersama kenalan baru dan terasa sungguh menghibur diri yang sedang sendu.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...