Tepat sebulah yang lalu pada tanggal yang sama
saya memulai perjalanan ke Bali. Minggu pagi saya berangkat dari kos menuju Stasiun
Yogyakarta. Saya memulai perjalanan dengan menaiki kereta bandara yang akan
membawa saya ke Yogyakarta International Airport (YIA). Jadwal keberangkatan
kereta bandara adalah pukul 10.20. Saya baru tiba di stasiun pukul 10.12, delapan menit sebelum kereta memulai perjalanan. Koper seberat belasan kilo yang saya
bawa harus diseret dengan cepat. Gerbang masuk penumpang menuju kereta padat
oleh para calon penumpang maupun para penumpang yang turun di stasiun. Saya
sudah sering naik kereta (antarkota, antarprovinsi, LRT, MRT),
tetapi ini kali pertama saya menaiki kereta bandara. Karena memang di tiket
tidak ada nomor kursi, saya langsung menempati kursi kosong yang saya lewati.
Saya duduk dengan seorang bapak-bapak yang ternyata akan pergi ke Pekanbaru
bersama istri dan dua anaknya. Satu jam perjalanan di kereta kami habiskan
dengan mengobrol, tak pernah berhenti. Bapak-bapak itu adalah orang ke sekian yang
menanyakan perihal perjalanan saya ke Bali, "Sendirian? Boleh sama orang
tua? Mau ngapain ke Bali?"
Mungkin saya butuh waktu tersendiri untuk
menuliskan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kemudian sering ditanyakan
ke saya pada setiap kesempatan berbincang dengan orang asing.
Sepanjang berbincang dengan bapak-bapak yang
menetap di Solo itu, saya merasa lebih percaya diri dengan perjalanan ke Bali.
Hingga akhirnya kami berpisah ketika turun dari kereta. Saya langsung menuju ke
areal bandara untuk menunggu waktu check-in
pesawat. Sebelum itu, saya sempatkan terlebih dahulu untuk menuju musala
bandara. Selepas salat, baru deh saya beranjak ke depan loket Lion Air.
Beberapa jenak kemudian, loket antrean pun
dibuka. Baru beberapa menit saja antrean sudah mengular. Di samping saya, ada
dua orang WNA Belanda dengan tujuan yang sama, yaitu Denpasar. Saya tersenyum
pada seorang ibu-ibu Belanda itu. Kemudian, ia menyapa dan akhirnya kami
berbincang.
Dari obrolan itu, saya tahu bahwa mereka akan
ke Bali untuk berlibur setelah menghabiskan beberapa hari di Yogyakarta. Ia
sempat heran dengan bahasa Inggris saya yang katanya terdengar fasih. Saya
sampaikan bahwa saya belajar di sekolah dan kampus. Karena antrean saya sudah
lebih dulu maju, obrolan pun terhenti.
Perasaan cemas sempat muncul ketika mengingat
batas maksimum bagasi. Saya khawatir koper yang saya bawa akan melebihi batas
20 kg. Ketika sudah di depan loket dan ditimbang, ternyata hanya 12 kg. Lega,
saya tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk bagasi.
YOGYAKARTA
INTERNATIONAL AIRPORT
Pesawat saya lepas landas pukul 13.40 WIB, tetapi
saya sudah sampai di ruang tunggu sejak pukul 12.23. Ketika menunggu, saya
habiskan makan siang dari bekal yang saya bawa sembari membaca buku. Saya
sengaja membawa bekal supaya tidak perlu repot cari tempat makan ketika
sewaktu-waktu merasa lapar. Buku bacaan yang tipis pun saya bawa. Animal Farm yang baru dibaca beberapa
bab jadi buku yang menemani saya di ruang tunggu.
Sampai di situ semuanya aman. Hingga ketika di
pesawat dan akan lepas landas saya tetiba teringat kembali dengan berita duka
yang memang harus saya terima. Saya menangis di pesawat. Bukan karena saya
takut dengan ketinggian, bukan. Saya menangis ketika mengenang kepergian kawan.
Hampir sepanjang satu jam di pesawat saya masih sendu. Bahkan ketika pesawat
sudah mendarat pun saya masih menangis. Akan tetapi, saya harus berhenti
berlarut dengan kesedihan.
BANDARA
NGURAH RAI
Ketika keluar dari pesawat itulah saya merasa
rileks dan sudah mulai berdamai dan berhenti dari rasa sedih untuk sejenak.
Hal yang baru dari bandara-bandara yang pernah
saya singgahi adalah transportasi lanjutan di dalam areal bandara. Selepas
turun dari pesawat, saya tidak langsung menuju pintu keluar. Semua penumpang
mesti menaiki bus Bandara Ngurah Rai yang memang sudah disediakan. Saya kira
itu hanya membawa rombongan tertentu, ternyata semua penumpang tanpa terkecuali
harus menaiki bus itu. Busnya mirip dengan bus transjogja atau transjakarta tetapi dengan dominasi warna merah.
Bus itu membawa saya sekitar lima menit hingga
akhirnya berhenti di pintu gerbang keluar. Dari situ, saya langsung menuju ke
pengambilan bagasi. Sepuluh menit saya menunggu koper hingga akhirnya mulai
berjalan keluar ke bandara.
Ikon menonjol di pintu keluar kedatangan
itulah yang langsung menarik penglihatan saya. "Bali" berwarna
merah delima menjadi ikon berfoto banyak orang. Saya sungguh ingin berfoto di
depan saya, tetapi rasanya terlalu ribet untuk mengeluarkan tripod dan
mengambil foto sendiri di kondisi berangin seperti itu. Ketika sedang menunggu
tempat itu sepi dari orang, ada seorang WNA yang tampak pula sedang menunggu.
Ia adalah penumpang pesawat yang duduk di sela samping saya. Kami akhirnya
sepakat untuk bergantian mengambil foto. Saya mengambil fotonya terlebih
dahulu, kemudian ia bergantian mengambilkan foto saya.
Ya, seperti itulah yang akan terjadi ketika
bepergian seorang diri dan ingin berfoto.
Ia tampaknya memang datang sendiri ke Bali,
sama seperti saya.
Keluar dari Bandara Ngurah Rai saya
benar-benar sendiri. Tak ada kenalan, teman, keluarga, maupun kolega yang
menemani. Dengan koper dan tas ransel, saya langsung menuju area pemesanan
ojek. Ketika bertanya ke petugas ojek online di dalam areal bandara, ternyata
ojek motor tidak bisa masuk. Saya harus berjalan sejauh hampir satu km dengan
bawaan yang cukup berat itu. Di tengah perjalanan, saya merasa sudah kelelahan.
Karena ada tukang ojek yang menawari, saya pun memilih berhenti. Kami nego
biaya yang harus saya bayar supaya ia mengantar saya ke hostel. Setelah sepakat
dengan harga dan lokasi, ia pun membantu membawa koper hingga ke area motor.
Itu sungguh sangat membantu. Meskipun saya harus bayar lebih mahal daripada
pesan dengan aplikasi, saya bisa menghemat tenaga dan tak terlampau lelah
karena harus menyeret koper.
MBOX
HOSTEL SEMINYAK
Hostel tempat saya menginap bisa ditempuh dalam
waktu kurang dari setengah jam dari bandara. Sepanjang perjalanan, saya sudah
merasakan nuansa "Bali" yang selama ini saya bayangkan. Kami melewati
jalan-jalan kecil, di samping kanan-kiri hampir tidak pernah absen dengan pohon
kemboja. Pura banjar maupun pura desa pun saya lewati. Beberapa aktivitas warga
masih tampak. Semakin dekat area hostel, pertokoan aksesori dan oleh-oleh khas
Bali berderet tak pernah putus. Petang hari WIT akhirnya tiba di hostel tempat
saya menginap, yaitu MBOX Hostel Seminyak.
Setelah turun dan membayar ojek sebesar 40k,
saya langsung berbegas masuk untuk check-in.
Area yang saya lewati pertama kali adalah sebuah kafe yang penuh tanda tanya.
Dari sana, saya berjalan menuju lobi yang sudah ada seorang petugas jaga. Saya
sebutkan bahwa saya sudah reservasi melalui sebuah aplikasi pemesan daring.
Setelah registrasi data diri, saya diinfokan bahwa semua tamu yang menginap
bisa menikmati makan malam gratis tiap malamnya. Saya menuliskan nama di daftar
tamu yang akan makan malam pada hari itu. Setelah beres registrasi, saya
langsung diantar ke kamar yang berada di lantai dua. Lokasi kamar, kasur, kamar
mandi, akses keluar-masuk; dijelaskan oleh petugas tersebut. Setelah beres,
saya langsung merebahkan badan di kasur dalam kamar yang berpendingin ruangan.
Rencana untuk langsung bepergian saya urungkan. Badan sudah terlampau lelah
untuk langsung jalan-jalan. Akhirnya, saya memilih untuk bebersih dan bersiap
turun ketika pukul tujuh.
Beberapa menit setelah waktu makan malam
tiba, saya turun ke bawah dan merasa
terkejut. Area yang saya lewati sebelumnya telah ramai oleh para tamu. Kafe
yang saya lihat di awal kedatangan ternyata bukan sekadar kafe, melainkan lebih
pantas disebut klub. Saya perempuan berkerudung dengan gamis menjuntai panjang
sendirian di area itu. Meski merasa menjadi minoritas (karena tamu-tamu tampak
sungguh berbeda penampilan), saya tetap saja berjalan menuju area makan.
Setelah bertanya perihal area yang bisa diakses oleh tamu yang menginap—dan
baru saja mengambil makan, seorang laki-laki memanggil saya dari tempat
duduknya. Kami bertegur sapa dan ia langsung mengajak saya untuk gabung makan
di meja panjang itu.
Sebuah meja di area depan lobi telah berisi
beberapa orang. Dari meja itu, saya berkenalan dengan Santo dari Pontianak, Kim
dari Jakarta, Isabel, Galih, Mohamed dari Turki, dan beberapa orang lainnya
para tamu yang menginap di MBOX.
Suasana hati saya ketika makan malam masih
sendu, apalagi ketika ada yang bertanya perihal "Sendirian?". Lalu,
entah karena pertanyaan apa tetiba saya bercerita tentang berita kematian yang
saya dapat sehari sebelum saya berangkat ke Bali. Saya berkaca-kaca sebelum
akhirnya kembali tertawa karena candaan dari mereka.
Makan malam pertama di Bali yang saya kira
akan dihabiskan seorang diri ternyata jauh dari ekspektasi. Saya makan bersama
kenalan baru dan terasa sungguh menghibur diri yang sedang sendu.
Komentar
Posting Komentar