Literasi Grafis Era Industrialisasi
Oleh: Yosi Sulastri
Dunia literasi masa kini tidak hanya sebatas tulisan yang dicetak menjadi buku. Literasi telah berkembang menuju media yang bisa dijamah para komikus. Pada tahun 1978 Will Eisner mencetuskan mengenai sebuah aliran baru dalam dunia sastra. Mulanya hal itu berkembang dari karya sastra berupa komik. Karena stigma masyarakat bahwa komik adalah produk literasi dengan mangsa pasar anak-anak, Will Eisner menciptakan istilah baru yaitu novel grafis. Karyanya yang berjudul Contract with God and Other Tenement Stories menjadi novel grafis pertama di dunia sastra.
Secara tampilan, antara komik dan novel grafis memiliki visual yang hampir sama. Keduanya merupakan hasil dari penggabungan panel-panel gambar yang berisi rangkaian cerita. Yang membedakan antara komik dan novel grafis adalah kepadatan alur cerita di dalamnya. Komik bisa selesai dibaca hanya dalam sekali duduk atau hitungan jam saja. Durasi dari setiap serinya cenderung lebih banyak yaitu bisa mencapai puluhan bahkan ratusan.
Lain halnya dengan novel grafis. Membaca novel grafis memerlukan waktu yang relatif lebih lama karena harus mencerna setiap gambar yang disajikan pada tiap-tiap panelnya. Seri dari novel grafis lebih sedikit yaitu berkisar hingga belasan saja. Kepadatan alur juga begitu tampak di dalam sebuah novel grafis. Karena hal tersebutlah novel grafis dipandang sebagai karya sastra yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan komik.
Menyoal dunia grafis dan komik masa kini, Pajtar Merah melalui obrolan yang menjadi pamungkas festival kecil literasi dan pasar buku, membahas mengenai hal-hal yang jarang tersentuh oleh para penikmat literasi. Dipandu oleh Kiki PEA sebagai moderator, obrolan yang diisi oleh Bayu, Bagus, dan Iwang menjadi obrolan yang asyik untuk disimak. Kegiatan itu dimulai sejak pukul 19.00 dan berakhir pada pukul 20.45 pada hari Minggu malam (10/03), lima belas menit sebelum rangkaian acara Patjar Merah berakhir.
Sayang sekali, ketika saya sampai di Jl Gedong Kuning No 118, obrolan bertajuk “Komik dan Literasi Grafis Masa Kini” itu telah dimulai sekitar 15 menit sebelum kedatangan saya. Tanpa menunggu lama, ketika saya sampai di lokasi saya pun langsung mencari tempat duduk dan memasang telinga untuk lanjut menyimak apa saja yang tengah dibicarakan.
Ketertarikan saya dengan tema obrolan yang diangkat adalah karena komik itu sendiri. Saya memang bukan penggemar komik, mengikuti tren komik pun tidak. Hanya saja saya suka dengan seluk beluk dunia menggambar terlebih lagi mengenai sebuah karakter.
Bayu salah seorang pembicara dari Pionicon Jogja mengatakan bahwa menjadi seorang komikus dewasa ini adalah sebuah profesi yang menjanjikan. Namun dengan satu catatan yaitu “terus berkarya,” ujarnya. Ketika seorang komikus terjun ke dunia literasi grafis, baik itu sebagai pembuat komik, karakter, maupun desain sebuah sampul buku, hal yang harus dilakukan adalah terus berkarya. Entah nantinya karya tersebut bisa diterima pasar atau tidak sama sekali. Namun, jika melihat realitas dunia perkomikkan masa kini, komikus lebih memiliki peluang besar untuk mengantongi pundi-pundi rupiah.
Era industri 4.0 dengan masifnya penggunaan teknologi digital menjadi penyebab yang menjadikan komikus sebagai pekerjaan yang menjanjikan. Pasalnya, jika seorang komikus mampu menciptakan sebuah komik, ia akan menerima suntikkan dana tidak hanya dari satu sumber. Sebut saja ketika seorang komikus mampu menciptakan komik di sebuah platform Webtoon, lalu diterbitkan menjadi buku, kemudian menciptakan sebuah karakter pasar, dan akhirnya karakter tersebut merajai beberapa produk yang laku di pasaran.
Berdasarkan runtutan di atas, komikus mampu mendapatkan royalti dari empat sumber sekaligus. Ketika komik yang dibuat di media digital, maka ia akan mendapat royalti dari platform tersebut. Lalu ketika komiknya diterbitkan menjadi sebuah buku, royalti dari hasil penjualan pun akan masuk ke dalam kantongnya. Kemudian ketika perusahaan yang bergerak di bidang Intelectual Property (IP) seperti Pionicon memasarkan karakter komiknya sebagai sebuah produk, alhasil royalti pun akan kembali didapatkan oleh komikus tersebut. Tidak hanya berhenti di situ saja, dunia maya dewasa ini menjadikan siapa saja bisa menjadi duta iklan suatu produk, meskipun ia hanyalah sebuah karakter komik.
Adakah keinginan untuk komikus dapat bekerja sama dengan novelis yang sudah best seller untuk membuat satu produk bersama?
Pertanyaan itu muncul dari salah seorang peserta obrolan yang datang malam kemarin. Ketika ditanya mengenai hal tersebut, ketiga pembicara mengamini bahwa mereka menginginkan hal tersebut. Namun, yang menjadi kendala bagi mereka adalah sistem kerja dari kedua kreator yang sangat berbeda segmen. Bagus mengatakan bahwa hambatan yang mendasar adalah besarnya ego dari masing-masing kreator dalam menciptakan karyanya. Sebuah karya bersama dalam bentuk kolaborasi tidak mungkin mampu menampung seluruh keinginan dari kedua kreator. Pada akhirnya pasti ada saja hal-hal yang harus dikorbankan. Hal tersebutlah yang menghambat komikus untuk dapat bekerja sama dengan novelis atau penulis mana pun. Namun, tidak menutup kemungkingan bahwa kolaborasi itu bisa terwujud di kemudian hari.
Obrolan mengenai komik dan literasi grafis masa kini memberi gambaran bagi para peserta termasuk saya, mengenai keadaan dunia literasi grafis yang tengah berkembang. Literasi grafis tidak bisa terlepas dari bertahannya sebuah buku di pasaran. Setidaknya karena literasi grafis tersebutlah mampu menjadi tumpuan dari buku-buku yang akan, sedang, atau telah terbit dan diterima oleh pecinta literasi.
Komentar
Posting Komentar