Judul : Disonansi
Penulis : Edith PS
Penerbit :
Gramedia
Tahun terbit : 2015
Genre :
Metropop
Disonansi adalah novel yang memberi tutorial tentang
bagaimana caranya berlari. Sinopsis di belakang buku sudah cukup menarik
perhatian saya untuk membeli novel ini lalu membaca hingga menamatkannya.
Pada bab-bab proses “berlari”, saya diberi beragam harapan
dan tebak-tebakan tentang siapa tokoh utamanya, apa persamaannya, hingga
bagaimana ujung kisahnya. Edith PS mampu mempertahankan ketegangan dan
pertanyaan bagi saya hingga halaman terakhirnya.
Pembawaan cerita yang diselipi humor ringan mampu
membuat saya tersenyum ketika membaca
buku ini seorang diri di kedai kopi. Namun, saya dibuat merinding dan menangis
pada tiga bab terakhir. Bulu kuduk saya merinding dan perasaan itu menjalar
hingga ke ubun-ubun yang bikin saya tanpa sadar menitikkan air mata. Entah
karena takut, sedih, atau karena memang dalam posisi sendirian. Untuk
mengurangi perasaan gak nyaman itu, saya coba mencari kehadiran seseorang meski
hanya melalui telepon. Untungnya, seorang teman yang saya hubungi langsung
menerima panggilan telepon yang saya tujukan padanya. Dengan penjelasan
seadanya, saya sampaikan bahwa saya ingin menamatkan bacaan ini dengan ditemani
sosoknya lewat telepon dan tetap terhubung meski saya diam karena sibuk
menekuri buku untuk menamatkan bab terakhir. Tanpa banyak tanya, dia menurut
begitu saja.
Tanpa saya sadari pula, ternyata proses menamatkan bacaan Disonansi
pun sebenarnya saya sedang melakukan sesuatu yang disebut disonansi itu.
Karena saya merasa tidak nyaman dengan ketakutan yang
dibangun penulis di dalam novelnya, saya mencoba mencari cara lain supaya
mengurangi ketidaknyamanan itu. Cara yang saya lakukan adalah menghubungi
seorang teman meski setelahnya saya ditertawakan olehnya.
Setidaknya satu hal itu yang saya dapat dari Disonansi.
Di dalam novel ini ada sebuah kalimat yang diulang beberapa
kail. “Sudah tidak zamannya lari dari kenyataan, sekarang saatnya lari menuju
kenyataan.”
Itulah kenapa pada awal tulisan ini saya buka dengan
pernyataan bahwa ini adalah novel tentang lari. Tokoh utama sudah lama berlari
(baca: menghindar) dari sebuah peristiwa yang datang ke hidupnya. Namun, tokoh
utama mencoba belajar berlari ke arah yang berbeda. Ia berlari dalam konteks
sebagai olahraga, pun berlari menuju kenyataan yang menunggu untuk dihadapinya.
“Ada yang perlu waktu tiga bulan untuk kembali
melanjutkan hidup seperti biasa, ada yang setahun, dua tahun, sepuluh tahun,
atau seumur hidup, untuk menerima bahwa satu-satunya kemungkinan terdekat untuk
menemui orang yang meninggalkan mereka adalah di mimpi.”
Edith PS, 2015:14
Komentar
Posting Komentar