Langsung ke konten utama

Persepsi Cinta Tokoh Qays dan Layla dalam Novel Layla Majnun karya Syekh Nizami

 Persepsi Cinta Tokoh Qays dan Layla dalam Novel Layla Majnun karya Syekh Nizami



Pada diskusi ke #39 klubbukumain2 saya mengangkat tema diskusi dengan menceritakan novel karya Syekh Nizami yang berjudul Layla Majnun. Novel ini merupakan karya termasyhur dari penulis yang juga filsuf. Pembahasan pada diskusi saya fokuskan pada persepsi cinta dari kedua tokoh utama.

Sudah kali ketiga saya membaca novel yang di dalamnya pun memuat syair-syair yang penuh dengan kerinduan. Membaca kisah Qays yang menjadi Majnun karena seorang jelita malam–Layla–, mengingatkan saya pada sebuah teori segitiga cinta dari Robert J. Sternberg. Saya pernah membaca sebuah penelitian dari seorang teman yang menggunakan teori tersebut. Meski saya tidak melakukan tahapan panjang seperti dirinya ketika melakukan penelitian tersebut, saya mencoba untuk melakukan analisis singkat mengenai persepsi cinta dari dua tokoh utama.

Novel berjudul Layla Majnun merupakan karya roman yang berlatar tempat di Jazirah Arab dengan kurun waktu yang tidak tersurat di dalamnya. Konon cerita Layla Majnun ini banyak mengilhami karya-karya romansa yang hadir setelahnya. Ada pula banyak versi dari kisah cinta sejati dua sejoli yang banyak dituliskan kembali oleh penulis-penulis dan dikisahkan melalui lisan. Kisah Layla dan Qays yang saya bahas diambil dari novel yang ditulis oleh Syekh Nizami. 

Kisah Qays dan Layla

Kisah di dalam novel dibagi menjadi 20 bab. Bab pertama menceritakan tentang latar suasana. Dikisahkan seorang pemimpin Kabilah dari Bani Amir, yaitu Syed Omri memiliki kekayaan yang melimpah. Ibarat dihabiskan dan dihambur-hamburkan hingga tujuh turunan pun kekayaan tersebut tidak akan pernah ada habisnya. Meski begitu, ada hal yang tidak bisa ia miliki sepanjang usianya di dunia yang sudah senja. Ia dan istrinya tidak kunjung dikarunia keturunan. Beragam cara sudah dilakukan, hingga akhirnya doa dan harapan Syed Omri dikabulkan oleh Tuhan. Istrinya hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Qays.

Cerita berlanjuut mengikuti masa pertumbuhan Qays yang sudah menginjak usia remaja. Ia menuntut ilmu pada seorang guru. Di tempat yang sama, ada seorang murid yang seusia dengan Qays yang berparas jelita dan memancarkan kilau bak berlian dan permata. Nama perempuan tersebut adalah Layla. Qays jatuh cinta pada Layla ketika pandangan pertama, pun Layla yang jatuh Cinta kepada Qays ketika sekali tatap saja. 

Mengetahui bahwa Layla sedang disukai dan menjadi buah bibir dari seorang laki-laki yang tidak mempunyai hubungan dengannya, ayah Layla naik pitam. Ayahnya yang merupakan seorang pemimpin dari Bani Qhatibiah langsung mencari jalan lain supaya Layla tidak menjadi aib bagi kabilahnya. Layla dikurung dan tidak diperbolehkan keluar dari tempat tinggalnya.

Sejak dipisahkan dengan Layla, Qays semakin sering menyebut-nyebut Layla dalam syair-syairnya. Tingkah dan perangai Qays menjadi tak bisa dikendalikan. Qays meninggalkan Syed Omri dan Ibundanya untuk berjalan-jalan sesuka hatinya sembari selalu menyenandungkan syair yang tersebut nama Layla di dalamnya. 

Karena tidak ingin anak lelaki satu-satunya semakin bertindak bebas dan semakin dianggap gila, Syed Omri bertandang ke Bani Qhatibiah dengan tujuan untuk meminang si gadis jelita tersebut. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Lamaran ditolak secara tegas oleh ayah Layla. Syed Omri meradang dan merasa direndahkan oleh kabilah yang memiliki tingkatan lebih rendah dibanding dirinya.

Mengetahui bahwa ayahnya tidak bisa membawa Layla untuknya, Qays semakin hilang akal. Sempat ada di suatu masa ketika Qays menanggalkan semua pakaiannya dan meninggalkan semua orang di sekelilingnya untuk pergi entah ke mana. Karena hal itu, Qays dijuluki sebagai si gila (Majnun) oleh orang-orang yang dilewatinya. 

Persepsi dan Bentuk Cinta

Beragam fase kehilangan dialami oleh Qays yang ternyata dialami pula oleh Layla. Jika Qays bertindak sesukanya dengan berjalan tak tentu arah, Layla justru dikurung di dalam sangkar emas oleh ayahnya. Kedua tokoh tersebut tetap menderita dengan bentuk penderitaan yang berbeda.

Konflik yang dihidupkan di dalam novel Layla Majnun berputar pada upaya dan keinginan tokoh Majnun untuk bisa bertemu dan bersanding dengan orang yang dicintainya, yaitu Layla. Bagi Majnun, hanya Layla yang bisa menjadi obat dari kesakitannya meskipun ia tidak merasa dirinya sakit, “hanya sakit rindu.”

Teori segitiga cinta dari J Stenberg memberikan tiga perincian, yaitu keintiman (intimacy), gairah (passionate), dan komitmen (decision/commitment). Secara sederhana, keintiman adalah ikatan komunikasi yang dibangun dan hadir di antara dua orang dalam hubungan mereka. Kemudian gairah adalah hasrat atau keinginan yang menggerakkan dengan harapan untuk bertemu dengan orang yang dicinta. Adapun komitmen adalah bentuk dari perwujudan keputusan dan ikatan dari kedua orang tersebut. 

  1. Keintiman

Wujud keintiman dari tokoh Qays dan Layla tampak pada saat mereka melakukan komunikasi ketika masih di sekolah. Meski hanya melalui tatapan, hal itu bisa menyiratkan keintiman yang coba dibangun oleh keduanya.

  1. Gairah

Keinginan untuk selalu bertemu dan tidak ingin dipisahkan adalah bentuk dari gairah yang dimiliki oleh Qays dan Layla.. Sejak mereka jatuh cinta satu sama lain, tiada lain orang yang ingin mereka temui selain orang yang dicintai. Melalui syair yang tercipta, mereka selalu mencoba untuk menyampaikan kerinduan dan keinginan untuk bersua. Keinginan dan gairah tersebut semakin membesar ketika mereka dipisahkan karena terhalang oleh restu keluarga. Semakin hari, gairah tersebut berarah menuju ke hal-hal yang dianggap tidak normal oleh kebanyakan orang. Fase ini banyak dan sering dimunculkan melalui tokoh Majnun dengan beragam pilihannya, seperti menyamar menjadi gelandangan demi bertemu dengan Layla, tinggal di Lembah Wadiayin karena menganggap orang-orang di sekelilingnya sudah menghalangi cintanya untuk Layla, memutuskan untuk tidak makan kecuali rerumputan, hingga berteman dengan kawanan binatang puas dan tinggal bersama di hutan. Semua perilaku yang dilakukan oleh Majnun tidak lain adalah memang digerakkan oleh hasrat atau gairahnya.

  1. Komitmen

Pada suatu waktu, dikisahkan bahwa Layla dinikahkan dengan seorang bernama Ibnu Salim oleh ayahnya. Mendengar hal itu, Qays semakin menggila. Qays menganggap bahwa Layla sudah mengkhianati cinta mereka. Akan tetapi, hal yang terjadi tidaklah demikian. Layla memang benar telah menikah, tetapi ia tidak pernah mencintai suaminya. Bahkan hingga Ibnu Salim meninggal pun Layla masih menjaga kesucian cintanya untuk Qays. 

Bentuk komitmen antara Qays dan Layla bukanlah komitmen dengan hubungan pernikahan. Komitmen yang hadir di antara mereka berdua mewujud pada kesetiaan dengan hanya mencintai satu sama lain tanpa berpaling ke orang lain. 

Berdasarkan tiga hal di atas, tokoh Qays dan Layla memenuhi ketiganya dan menjadikan cinta mereka sebagai bentuk dari cinta sejati seperti yang disampaikan oleh J Stenberg. Meski cinta mereka adalah cinta sejati, bukan berarti mereka bisa bersatu dan hidup bahagia di dalam dunianya. Dalam novel dikisahkan bahwa mereka baru bersatu melalui liang lahat. Layla yang meninggal dan telah dikuburkan terlebih dahulu menjadi tempat kematian Qays yang menangis di atasnya. Jasad mereka bersatu di dunia, jiwa mereka bersatu di alam sana. 

Layla Majnun adalah sebuah gambaran tentang betapa cinta memang sebuah keindahan yang penuh dengan lara. Saya jadi ingin membenarkan perkataan Nietzsche di sebuah buku bahwa, “Cinta itu tolol dan penuh dengan duri-duri.”



Yogyakarta, 04 Februari 2023


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekokritik George Orwell pada 1930-an

  Ekokritik George Orwell pada 1930-an Coming Up for Air   George Bowling memilih kabur dan menghindar dari pekerjaannya; membohongi Hilda istrinya; menipu kedua anaknya dengan hadiah yang tidak pernah ada; mendatangi masa lalu yang sudah lenyap dibabat waktu. Novel Coming Up for Air mengisahkan Bowling malang dalam pelariannya di Lower Bienfield—kampung masa kecilnya. Bowling hidup dalam ketidakberterimaan atas kehidupan yang terjadi. Ia terjebak dalam masa lalu yang tak bermakna untuk nasibnya yang kini sudah 45 tahun. “Bisakah kita kembali ke kehidupan lama kita, ataukan semua itu tinggal kenangan?” (Orwell, 2021: 302) Pertanyaan tersebut yang mencoba dijawab oleh Bowling melalui kegiatan impulsifnya dari penatnya hidup ketika ramalan perang 1941 datang. Tokoh di dalam novel yang pertama terbit pada 1939 di New York itu melakukan “perjalanan” ke masa lalu melalui ingatan-ingatan yang masih hidup dalam kepalanya—perjalanan nostalgia. Bowling mengulang masa kecil...

Refleksi Sastra dan Budaya: Bentuk, Nilai, dan Fungsi Kepungan Tumpeng Tawon dalam Masyarakat Desa Mangunweni

  Metu , manten , mati . Tiga hal itu menjadi trilogi dalam fase kehidupan yang dipercaya oleh masyarakat budaya Jawa. Pada masing-masing fase itu, ada beragam kebudayaan yang muncul. Nilai kemanusiaan dan ajining diri atau harga diri muncul dalam acara jagong bayen (syukuran kelahiran), jagong manten (resepsi pernikahan), dan layat (mengunjungi orang yang sedang mengalami musibah berupa kematian anggota keluarganya). Kehadiran seseorang di dalam tiga acara tersebut dianggap sebagai bentuk pengejawantahan konsep penjagaan martabat seseorang. Apabila tidak menghadirinya, orang tersebut akan dianggap tidak memiliki nilai kemanusiaan dan dianggap sebagai orang yang tidak memiliki harga diri lagi. Konon masyarakat Jawa percaya bahwa puncak kesempurnaan hidup dan mengisi pengalaman hidup dengan penuh makna adalah dengan cara menikah. Postulat itu yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan dari simbol-simbol dalam budaya pernikahan yang sarat akan cerminan pandangan hidup dan nilai-ni...

Mengulik Konsep Homo Sacer pada Perang Spanyol

  Homage to Catalonia— George Orwell Kisah yang diceritakan dalam XII bab dalam novel Homage to Catalonia lebih mengarah pada proses pengamatan kondisi politik yang terjadi selama Perang Spanyol pada 1936–1939. Novel yang konon berangkat dari pengalaman Orwell ketika berangkat ke Spanyol untuk bertempur di pihak Republikan ini terasa amat berbeda dan “berat” untuk dibaca. Hampir keseluruhan isi novel bisa dicap sebagai hasil analisis Orwel mengenai konflik politik yang terjadi di Spanyol. Keunikan yang dimunculkan dalam novel yang Eric Arthur Blair ini adalah penulis sama sekali tidak menyebutkan siapa “aku” sepanjang cerita. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam bentuk manusia seakan hanya pemain sampingan yang tidak membangun jalannya cerita tetapi mendukung tokoh utama untuk berlangsungnya cerita. Ketika selesai membaca hingga Lampiran 2, tokoh yang diangkat dalam novel barulah terlihat.   Munculnya Biopolitik dalam Perang Spanyol Konflik yang dikembangkan dalam novel ...