Hegemoni, Mimikri, dan Resistensi Tokoh Minke dalam Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer
Ada beragam teori maupun pendekatan yang bisa dipakai
setelah membaca Bumi Manusia. Jika kembali pada diskusi-diskusi @klubbukumain2
sebelumnya, novel ini bisa dibahas dan dianalisis menggunakan teori “subjek”
dari Slavoj Zizek, bisa pula dianalisis dengan analisis ras kulit
putih-berwarna dalam buku Black Skin White Mask, lalu bisa juga dianalisis dari
sudut pandang identitas dalam perspektif sosiologi Steph Lawler. Akan tetapi, kali ini pembahasan dari Bumi
Manusia akan dilakukan dengan analisis sosiologi sastra mengenai hegemoni,
mimikri, dan resistensi.
Premis Novel Bumi Manusia
Premis yang dibangun di dalam novel Bumi Manusia terbaca
sederhana, yaitu jalan yang ditempuh Minke (seorang pribumi) untuk bisa menjadi
kekasih Annelies yang merupakan seorang Indo (anak dari totok Belanda dan
pribumi). Akan tetapi, premis tersebut dikembangkan oleh Pram ke dalam 20 bab
yang pada tiap bab selalu menghadirkan konflik batin dan konflik fisik dari
tokoh-tokoh yang ada di dalam novel.
Bumi Manusia merupakan novel pertama dari Tetralogi Buru
yang menceritakan kisah Minke sebagai pembuka cerita. Minke merupakan cucu dari
seorang Bupati B yang mempunyai forum privilegiatum sehingga bisa menempuh
pendidikan di Hoogere Burger School (H.B.S). Pada saat masih menjadi siswa di
sekolah tersebut, ia diajak untuk mengunjungi rumah seorang nyai (gundik) oleh
seorang temannya yang bernama Robert Surhoof. Pada kunjungan pertama Minke ke
rumah Nyai Ontosoroh (Sanikem), ia menyapa anak perempuan Nyai yaitu Annelies
Mellema. Minke dan Annelies saling jatuh hati pada pertemuan perdana mereka.
Konflik yang semula hanya tampak pada lingkaran antara
Minke, Nyai, dan Annelies berkembang pada konflik sosial yang ada di Hindia
(cikal bakal Indonesia). Melalui konflik eksternal dan konflik internal
tersebut, Pram memunculkan beragam bentuk fenomena sosial dalam bentuk
kekuasaan penjajah (kolonialisme), bentuk-bentuk peniruan yang dilakukan oleh
para tokoh, dan upaya yang dilakukan oleh para tokoh untuk bisa bertahan hidup
pada masa kolonialisme tersebut.
Hegemoni di dalam Bumi Manusia
Konsep hegemoni disampaikan oleh beberapa tokoh seperti
berikut ini.
1. Gramsci;
hegemoni adalah dominasi suatu kelas (dominan) atas kelas lainnya (subordinat)
yang terjadi karena aspek ideologis-politis. Proses hegemoni terjadi apabila
cara hidup, cara berpikir, dan pandangan masyarakat bawah terutama kaum proletar
telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup dari kelompok yang mendominasi
dan mengeksploitasi mereka.
2. Faruk;
hegemoni adalah kepemimpinan moral atau kultural yang dipegang oleh kekuatan
politik yang dominan terhadap yang subordinat.
3. Edward
Said; hegemoni juga dapat masuk ke dalam wilayah teritorial dan kebudayaan. Praktik
hegemoni dalam pandangan Said dapat masuk lingkup kawasan antara Barat dan
Timur, antara para orientalis (ahli kawasan Timur) dan oksidentalis (ahli
kawasan Barat), antara negara kaya dan miskin, antara budaya Barat dan budaya
Timur, serta antara kolonialis (penjajah) dan koloni (terjajah).
Pada pembahasan kali ini, hegemoni akan dijadikan alat untuk
melihat Bumi Manusia dalam sudut pandang sosiologi sastra. Beberapa bentuk
hegemoni yang ada di dalam Bumi Manusia (Ningrum, 2017) adalah sebagai berikut:
1. Hegemoni Negara terhadap Pribumi
Pertama, bentuk hegemoni yang
dilakukan negara kepada pribumi yang diceritakan di dalam Bumi Manusia adalah
menggunakan alat hukum dengan sarana pengadilan. Bumi Manusia menampilkan hukum
sebagai alat untuk melegitimasi rasisme dan menghegemoni kaum pribumi. Sistem
hukum yang berlaku saat itu adalah pengadilan putih. Istilah Pengadilan Putih
dapat diartikan sebagai bentuk pengadilan yang dimiliki, dikuasai, dan diatur
hanya untuk orang-orang putih (Belanda). Pengadilan tersebut diciptakan untuk
menguasai kaum-kaum yang berada di bawahnya, termasuk tokoh Minke yang mendapat
pengadilan putih karena terlibat kasus pada terbunuhnya Tuan Mellema yang
akhirnya merembet pada kehidupan pribadi seputar hubungan asmaranya dengan Annelies.
Pengadilan Putih yang
ditampilkan di dalam novel Bumi Manusia hanyalah lambah kedigdayaan kaum
Belanda, utamanya totok. Pengadilan itu tidak diciptakan untuk memberikan
keadilan kepada semua jenis anak bangsa, tetapi hanya sebagai sarana untuk memenangkan
perkara orang-orang kulit putih dan mempersalahkan orang-orang berkulit warna.
Kedua, bentuk hegemoni yang
dilakukan kolonial kepada pribumi adalah dalam hal ketimpangan pendidikan.
Tokoh Minke bisa menempuh pendidikan yang setara dengan orang-orang Belanda
karena Minke merupakan seorang keturunan priayi. Minke memiliki forum
privilegiatum karena ia adalah cucu dari Bupati B (yang kemudian menjadi anak
Bupati B karena ayahnya naik jabatan). Tanpa keistimewaan tersebut, Minke tentu
tidak akan bisa menempuh pendidikan di Hoogere Burger School (H.B.S) seperti
halnya Nyai Ontosoroh.
Pendidikan pada masa
kolonialisme menjadi sebuah kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh totoj
Belanda, Indo, dan keturunan priayi. Pribumi tulen tak bisa sedikit pun menyentuh
pendidikan formal saat itu.
Sebagai seorang pribumi pertama
yang bersekolah di H.B.S, Minke mendapat banyak pengaruh budaya Eropa. Melalui
sekolah inilah ideologi-ideologi disebarkan, bangsa Eropa mampu menggerakkan
daya pikir pribumi sehingga mampu meningkatkan derajat sosial menjadi lebih
tinggi.
Aturan yang diberlakukan dalam
dunia pendidikan pada masa kolonial di dalam novel Bumi Manusia dikaitkan
dengan adanya Politik Etis (Politik Balas Budi) yang terdiri dari irrigatue (pengairan), emigratie (perpindahan penduduk), dan educatie (pendidikan). Meski berlatar
belakang kepentingan politis, pribumi tidak benar-benar diuntungkan dengan
adanya sistem tersebut. Belanda tetap mendominasi dalam segala segi pendidikan
yang diciptakan. Pribumi yang bukan priayi sama sekali tidak diperbolehkan
bersekolah di H.B.S, tetapi hanya pada sekolah rendah dengan bahasa pengantar
bahasa Melayu (Sekolah Ongko Loro). Tujuan pendirian sekolah Ongko Loro
merupakan bentuk hegemoni yang menyebabkan ketimpangan sosial terlihat jelas.
2. Hegemoni Melalui Perseorangan
Pertama, hegemoni yang menjelma
dalam kategori perseorangan adalah bentuk feodalisme kolonial dalam pabrik
gula. Sistem feodalisme pada masa kolonial dapat diartikan sebagai sistem
sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat tanpa mengindahkan prestasi
kerja. Bentuk feodalisme tampak jelas pada Sastrotomo (ayah Sanikem) yang
menukarkan anaknya untuk menjadi gundik Tuan Mellema supaya bisa naik jabatan
sebagai seorang kasier. Pada saat itu, jabatan di pabrik gula sangat
berpengaruh dalam kelas sosial masyarakat. Keinginan untuk bisa naik jabatan
merupakan sebuah bentuk feodalisme. Melalui kekuasaan pabrik gula, Tuan Herman
Mellema menghegemoni Sastrotomo untuk bekerja keras dan mengejar pangkat
jabatan.
Kedua, hegemoni yang menjelma
melalui perseorangan muncul dalam bentuk penghinaan atas identitas pribumi.
Pada bab-bab awal Bumi Manusia, bentuk hegemoni mentalitas sudah langsung
dimunculkan oleh Pram. Hegemoni yang menghina atas identitas pribumi muncul
melalui tokoh Meneer Rooseboom, salah satu guru di sekolah H.B.S. Ketika sedang
berlangsung sebuah kelas di H.B.S, Meneer Rooseboom memberikan penamaan kepada
tokoh utama sebagai sebutan Minke yang sebenarnya merujuk pada kata Monkey.
Penamaan tersebut merupakan sebuah bentuk penghinaan atas identitas kepribumian
Minke.
Tidak hanya itu, pada peristiwa
lain Tuan Herman Mellema pun tidak sudi ketika rumahnya diinjak oleh pribumi
seperti Minke. Tuan Mellema memperlakukan Minke dengan sangat rendah karena
pribumi dianggap menyamai seekor monyet. Meskipun Minke sudah berpendidikan,
berpakaian ke-Eropa-an, dan berbicara dalam bahasa Belanda yang fasih, hal
tersebut tidak membuat identitas pribumi yang ada di dalam diri Minke menjadi
hilang begitu saja. Dalam pandangan Tuan Mellema, Minke tetaplah seorang
pribumi yang dianggapnya manusia dungu, terbelakang, tidak bermoral, dan sama
seperti monyet.
Mimikri Tokoh Minke
Mimikri merupakan teori yang dikemukakan oleh Homi k. Bhabha
(Susanti, 2018). Menurut Bhabha, kolonialisme merupakan bentuk asumsi yang
ditujukan untuk mengukuhkan pola Barat pada penduduk dan wilayah lain.
Pendudukan Barat di daerah Timur menciptakan sebuah upaya untuk menyerupai
Barat sehingga orang Timur yang disisihkan sebagai bangsa terbelakang
seolah-olah menjadi setara dengan orang barat. Akan tetapi, peniruan yang
dilakukan tetap menjadi pembeda antara Barat dan Timur. Peniruan tersebut hanya
sanggup mencapai tahapan hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya seperti aslinya.
Mimikri yang muncul di dalam Bumi Manusia tecermin dalam
tokoh Minje. Ia merupakan seorang pribumi keturunan priayi Jawa yang mampu
menempuh pendidikan setara dengan kaum totok Belanda atau Indo. Melalui
pendidikan Eropa, Minke telah menjelma manusia pribumi berkebudayaan modern.
Minke mempelajari bahasa Belanda, fasih dalam lisan maupun tulisan, mengenakan
pakaian Eropa, dan bergaul dengan siswa-siswa H.B.S yang merupakan totok dan
Indo. Meski begitu, bentuk kemiripan dan upaya peniruan budaya Eropa yang
dilakukan oleh Minke tidak serta merta membuatnya sama dengan kaum totok
Belanda atau Indo. Dalam pandangan hukum pengadilan putih ia tetaplah seorang
pribumi. Bahkan forum privilegiatum yang disandangnya karena merupakan cucu
Bupati B tidak memiliki pengaruh yang kuat. Bentuk mimikri yang dilakukan oleh
Minke sebatas pada peniruan yang tidak benar-benar bisa mengubah identitas
kedirian.
Resistensi tokoh Minke
Bentuk resistensi yang dilakukan oleh Minke adalah
membebaskan diri dan menggugah. Tokoh Minke yang merupakan representasi R.M.
Tirto Adhi Soerjo adalah tokoh di dalam novel Bumi Manusia yang menjadi subjek
terhegemoni dari berbagai subaspek. Upaya bertahan atau resistensi yang
dilakukan Minke bukan dalam perlawanan fisik, melainkan lebih ke arah resistensi
pasif melalui mentalitas dan intelektual.
Minke membuat dirinya bisa bertahan dalam menghadapi
hegemoni dari bangsa Eropa. Pertama, Minke melakukan resistensi berupa upaya
membebaskan diri dari doktrin Jawa yang kebudak-budakkan dengan tekun belajar,
bersekolah, menerima pengetahuan Eropa, mengejar ketertinggalan, dan
menggunakan pengetahuannya untuk menjadikan dirinya berkualitas.
Kedua, Minke menggunakan ilmu, pengalaman, dan kemahirannya
berbahasa Belanda untuk menulis dengan tujuan untuk menggugah dan membuktikan
bahwa pribumi tidak pantas dihinakan. Tulisan-tulisannya banyak dimuat oleh
koran S.N. v/d D dengan nama pena Max Tollenar (nama yang terinspirasi dari Max
Havelaar). Minke memulai debut pertama tulisannya di koran dengan mengangkat cerita
tentang Nyai.
Tokoh Minke merupakan sebuah refleksi pribumi Jawa yang
memiliki mentalitas pemberani. Selama ia merasa benar dan bukan kriminal, ia akan
melawan. Minke merefleksikan pribumi yang menerima ilmu pengetahuan dan
mengambil sikap ke-Eropa-an demi memperjuangkan hak dan menyelamatkan martabat
dirinya sebagai pribumi.
Demikian pembahasan mengenai hegemoni, mimikri, dan resistensi
tokoh Minke di dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Pembahasan
di dalam tulisan ini adalah pemantik, jadi ada banyak hal yang masih perlu dan
dapat dibahas selain ketiga hal yang diuraikan sebelumnya. Mari berdiskusi lebih
lanjut pada diskusi Klubbukumain2 #43 malam ini. Sampai berjumpa!
Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Bumi Manusia. Lentera Dipantara.
Susanti, Putri.
2018. “Bumi Manusia Karya Pramoedya
Ananta Toer: Mimikri Minke dan Nyai Ontosoroh”. Makalah. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Program Studi/Departemen:
Filologi/Susastra.
Ningrum, Ninda
Febria. 2017. “Hegemoni Kolonial terhadap Pribumi dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer”.
Skripsi. Pendidikan Bahasa dan Sasta,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, Malang.
Yogyakarta, 27 Februari
2023
Komentar
Posting Komentar