Langsung ke konten utama

Tempat untuk Pura-Pura Ngopi



Kedai kopi telah menjamur di sini, Jogja . Setiap mentari menyembunyikan diri, para penikmat si hitam memikat itu mulai ramai berdatangan menuju kedai kopi tempat biasa yang mereka datangi. Tak hanya kopi yang mengundang mereka untuk kembali. Bagi aku dan beberapa dari mereka yang tidak terlalu suka kopi, suasana riuh nan menenangkanlah yang buatku mampir.
Canduku bermula dari ajakan seseorang. Kali ini mungkin aku tidak banyak menceritakan mengenai sosok laki-laki yang membuatku berdebar hati. Seseorang itu bernama nurrahmawati, salah seorang senior di Poros, persma yang kini tengah aku tekuni. Nur mengajakku pertama kali ke Lembayug kala itu ketika baru sekitar dua bulan aku menjadi penghuni Jogja sebagai kaum urban. Tak hanya berdua, beramai-ramai kami menyambangi kedai kopi yang jaraknya tak terlalu jauh dari tempat kosku.
Seperti biasa, setiap awal yang baru selalu membutuhkan adaptasi supaya tidak sensi dengan orang-orang yang tak kuduga dapat kutemui. Perasaan takut, geli, dan merasa bahwa tempat itu tidak cocok untukku muncul tak hanya sekali-dua kali. Setelah hampir satu tahun aku urban ke jogja, baru saat ini aku merasa nyaman berada di tempat seperti itu.
Kedai kopi seakan terlihat memiliki dua pandangan yang berbeda dari mataku. Ketika cahayanya berasal dari pancaran mentari, atmosfernya terasa biasa dan terkesan sesak pengap. Namun, ketika malam telah menjelang dan ketika lampu kekuningan yang temaram telah dinyalakan, perasaan teduh dan damai seakan membanjiri setiap sudut-sudut ruangan. Tak mempedulikan mengenai keramaian di jalan, rasa damai pun tak terelakan.
Anehnya, hampir semua kedai kopi yang pernah aku sambangi pun demikian. Suasananya tidak jauh berbeda. Entah karena konsepnya sama atau telah menjadi norma kopi hitam itu.
Eits, tapi aku tak selalu minum kopi tiap kali aku ke kedai kopi. Meski namanya kedai kopi, menu yang disajikan tidak hanya kopi. Itu adalah keringanan bagiku yang bukan fanatik kopi. Bisa dikatakan bahwa aku hanya pura-pura ngopi. Seperti salah satu slogan di salah satu kedai kopi yang beberapa kali aku kunjungi. Nama tempatnya Jejak Kopi, “Tempat untuk pura-pura ngopi”
Aku suka banget tempat itu. Tata letaknya unik. Memanfaatkan sebuah bangunan tua yang katanya bersejarah, kemudian dipercantik dengan ornamen dasar berupa pesona alam. Perubahannya pun tanpa mengubah bentuk asli dari bangunan vintage itu. Nyaman rasanya. Cukup menjadi alasan untuk kembali ke tampat itu lagi.
Gambar: Penampakan siang hari di langit Jejak Kopi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...