Langsung ke konten utama

Coba Kutanya pada Ibu

Coba Kutanya Pada Ibu
Oleh : Yosi Sulastri
Seorang adik menangis setelah terjatuh ketika ia sedang berjalan bersama kakaknya. Coba tebak siapa yang kena marah ibunya? Ya, sang kakak yang mendampingi adiknyalah yang mendapat omelan. Sebab menurut ibunya ia yang lebih mengenal bagaimana menjaga diri dan bagaimana cara melindungi.
Padahal, sang kakak sudah menggandeng tangan adiknya dengan erat. Apa mau dikata, sang adik terjatuh sebab tersandung kakinya sendiri. Tetapi, saya tegaskan lagi, sang ibu tetap memarahi kakaknya dengan omongan kasar bahkan tak jarang tangan pun melayang. Sedangkan sang adik dibelai, dielus, di-ninabobo-kan, padahal sebenarnya ia pantas pula diberi teguran.
Itu yang saya lihat. Kalau anda tak pernah melihatnya berarti anda perlu sowan ke dukuh saya, Kemusuk, Desa Mangunweni, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen.
Hal di atas saya analogikan sebagai bentuk hierarki antara pemegang kekuasaan dan rakyat. Suatu masa ketika rakyat yang katanya dimiskinkan oleh kebijakan otoriter merasa hidupnya susah, melarat, lungkrak, dan jauh dari kata layak pasti yang- tebak siapa yang akan mereka salahkan?- kena adalah si pemegang kekuasaan.
Sudah menjadi rahasia umum- sekali lagi kalau anda tak tahu berarti anda harus sowan ke dukuh tempat tinggalku- bahwa rakyat yang merasa dimiskinkan, miskin, atau memiskinkan diri mereka adalah berkat ulah mereka pula.
Perlu saya sebutkan satu per satu? Ah, baiklah, kiranya memang perlu agar Anda tak tutup pikiran dengan kesalahan mereka pula.
Pertama, menjadi pecandu tingkat berat batang tembakau. Iya, kita tahu sendiri bahwa banyak kaum lelaki dan beberapa kaum perempuan di negara kita adalah perokok aktif. Berdasarkan data yang dilansir dari data kependudukan Pengurus RT 04 RW /2, Kemusuk, Mangunweni, Ayah, Kebumen, terdapat 31 kepala keluarga yang menjadi perokok aktif, satu di antaranya adalah wanita dari total keseluruhan 56 kepala keluarga. Mayoritas pekerjaan  mereka adalah pekerja serabutan. Rokok menjadi gaya hidup mereka. Katanya rokok adalah pengalihan dari kepenatan dan rasa stres setelah lelah bekerja. Itu kata mereka, mungkin akan lain menurut Anda, apalagi menurut saya, karena belum pernah mencobanya.
Kalau Anda bertanya apa masalahnya dengan rokok itu? Bukankah itu baik untuk memacu semangat mereka? Tetapi, rokok juga bisa menjadi investasi yang menjanjikan di hari tua mereka kelak. Bukan layaknya saham yang bisa meningkat nilai jualnya, melainkan kerusakan jaringan tubuh yang bisa menimbulkan komplikasi penyakit.
Tidak hanya itu saja sebab saya mempermasalahkannya. Coba ikuti saya mengkalkulasikan pengeluaran perokok aktif setiap hari. Dalam satu hari saja, perokok aktif yang notabenenya adalah pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu yang kita asumsikan sebesar Rp. 50.000 / hari dan harus menghidupi satu orang istri dan dua orang anak- jika keluarga tersebut mengikuti program KB. Kemudian, penghasilan tersebut kita potong untuk membeli sebungkus rokok jenis kretek sajalah, dengan merek GGM seharga Rp. 12.500/bungkus sudah berkurang menjadi Rp.37.500. satu kali makan Rp.5.000, itu di daerahku. Sehari makan 3 kali, setiap orangnya. Jadi, 3x4xRp.5000=Rp.60.000. Nah, dengan penghasilan 50k per hari saja untuk makan satu keluarga masih kurang apalagi hanya dengan 37,5k karena sudah kepotong untuk membeli rokok yang hanya bisa dinikmati oleh satu orang saja.
Ada yang perlu digarisbawahi bahwa meskipun perokok itu tidak merokok sekalipun masih tetap kekurangan setiap harinya. Tetapi tidak lebih kekurangan jika ia tetap menjadi sigareters.
Mungkin Anda sedikit bertanya-tanya –atau mungkin tidak juga- dari mana saya bisa berceloteh bak seseorang yang sangat antipati terhadap rokok dan kenegatifannya. Jangan salah, saya dibesarkan oleh perokok aktif yang hingga saat ini saya masih menjadi pengamat kesehariannya. Tapi, ya, sudahlah. Sekarang bukan waktunya untuk membahas perihal sosoknya.
Kedua, bersahabat dengan pemegang bunga. Eitsss, bukan bunga mawar, kantil, kenanga, melati, atau kamboja. Pemegang bunga yang kumaksud adalah lembaga yang ‘katanya’ meminjamkan modal demi merekahnya bunga -keuntungan- mereka. Katanya sih membantu masyarakat sehingga bisa mengembangkan usaha dengan modal yang mereka tawarkan. Namun asal Anda tahu saja, bunga yang dibebankan justru memblangsakkan mereka sebab tak kuat membayar cicilan tiap jatuh tempo angsuran tiba.
Penghasilan yang seharusnya cukup untuk menghidupi keluarganya meski itu pun hanya seadanya justru terkuras untuk mencicil hutang kepada pemegang bunga. Yang awalnya diniatkan untuk modal usaha tetapi nihil entah ke mana larinya. Biaya sekolah anak yang sering menjadi alasan utama. Bukan salah mereka jika meminjam seberapa jumlah rupiah demi menjadikan anaknya berpendidikan. Tapi saya juga tak tahu siapa yang mesti disalahkan. Mungkin saya harus bertanya pada si ibu agar saya bisa ‘menyalahkan’.
Baiklah mungkin dari pembahasanku yang cukup meleber tak karuan Anda bisa mengambil kesimpulan sendiri mengenai arah pikiranku. Jika Anda tetap tak bisa, saya maklumi. Karena saya dan Anda memang tak harus berpikiran sama. Namun setidaknya saya harap Anda paham dengan apa yang ingin kusampaikan di balik ini semua.
Bersambung....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...