Sejarah dan Politik
Bahasa Indonesia dalam Novel
Tetralogi Buru III:
Jejak Langkah
Pembacaan yang saya lakukan pada Tetralogi Buru sudah sampai
ke novel yang ketiga. Setelah dua novel sebelumnya mencoba melihat
masing-masing novel dengan dua pendekatan yang berbeda (teori poskolonialisme
dan identitas dalam perspektif sosiologis), pada novel ketiga ini ada hal
menarik yang saya temukan, yakni tentang penggambaran fase sejarah dan politik
terciptanya bahasa Indonesia dalam novel Jejak Langkah.
Novel yang terdiri dari 17 bab setebal 732 halaman ini pada
bab pertama sudah memberikan saya pengantar sejarah bahasa Indonesia. Pramoedya
Ananta Toer sungguh pawai memberikan detail fase sejarah dalam sisipan narasi
maupun dialog di dalam novel.
"... koran-koran Melayu-Tionghoa tidak mengindahkan
anjuran Gubermen untuk menggunakan ejaan Melayu baru susunan Ch. Van Ophuyzen.
Kami tidak menggunakan bahasa Melayu sekolahan, bahasa Melayu tinggi, kata
mereka." (Toer, 2020: Bab I, hal 6)
Penggalan narasi itu adalah pembuka dari benang merah yang
selalu muncul dan bisa ditarik hingga berakhirnya novel ketiga Tetralogi Buru
ini. Kata kuncinya adalah ejaan Van Ophuyzen dan bahasa Melayu (lingua franca
bahasa Indonesia).
Proses pembentukan dan perumusan bahasa Indonesia
digambarkan Pram dalam Jejak Langkah melalui perdebatan-perdebatan dan konflik
yang muncul pada tiap sesi rapat dari organisasi-organisasi yang Minke dirikan.
Pemilihan bahasa menjadi sebuah pertimbangan yang harus bijak diputuskan karena
bahasa tersebut akan memengaruhi organisasi tersebut beranggotakan siapa dan
bergerak untuk siapa.
Pada saat Minke, tokoh utama dalam Jejak Langkah, mendirikan
sebuah organisasi bernama Syarikat Priyayi, lalu Syarikat Dagang Islam,
kemudian masuk ke dalam Boedi Oetomo; perkara bahasa yang digunakan dalam forum
pemimpin selalu menjadi isu yang cukup sensitif. Golongan Jawa menginginkan
bahasa Jawa menjadi bahasa yang dipakai karena orang-orang anggota organisasi
pun adalah orang Jawa. Golongan keturunan Indo menginginkan bahasa Belanda
karena dianggap lebih prestise dan universal. Ada pula golongan yang mengusulkan
untuk menggunakan bahasa Melayu karena ada hubungannya dengan sebuah kutipan
yang saya tampilkan di awal tulisan, yaitu sudah ada ejaan bahasa Melayu yang
justru adalah untuk golongan-golongan terpelajar.
Perdebatan yang dimunculkan Pram setali tiga uang dengan
proses yang dikisahkan dalam sejarah pembentukan bahasa Indonesia sebagai
bahasanya orang Indonesia. Ada kepentingan politik yang turut memengaruhi
sebuah bahasa dipakai oleh sebuah golongan.
Bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa pengantar dalam
rapat-rapat organisasi yang ada di dalam novel Jejak Langkah tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh sejarah bahasa Melayu itu sendiri. Soeparno (2018)
menerangkan bahwa bahasa melayu telah dipakai sebagai lingua franca sejak zaman
Sriwijaya oleh suatu komunitas di wilayah semenanjung Malaka dan kepulauan
sekitarnya. Bahasa yang masuk ke rumpun bahasa Austronesia ini secara
kedemokratisan lebih menjunjung kesamaan tingkat.
Dikutip dari Soeparno (2018), bahasa Indonesia berasal dari
lingua franca bahasa Melayu. Meski secara kuantitas bahasa Melayu kalah banyak
dengan penutur bahasa Jawa, bahasa Melayu dipandang dapat dijadikan lingua franca
karena kesederhanaan (tidak ada tingkat-tingkatan) dan keterbukaan dalam
menerima pengaruh dari luar sehingga dapat dikembangkan.
Bukti-bukti apa saja yang terdapat di dalam Jejak Langkah
mengenai sejarah dan politik perkembangan bahasa Indonesia?
Mari diskusikan bersama di
Diskusi buku #52
Klubbukumain2
Senin, 5 Juni 2023
Komentar
Posting Komentar