Kisah pada novel Tetralogi Buru II: Anak Semua Bangsa dibuka dengan bab prolog yang mengisahkan kelanjutan nasib Annelies dalam perjalanannya menjemput takdir ke Nederland. Bab pertama tersebut mengantarkan Annelies pada tidur abadinya, kematian. Dalam suasana berduka, bab-bab selanjutnya Pram tidak lagi menyoroti konflik para tokoh utama. Banyak tokoh-tokoh baru bermunculan dalam setiap bagian dari upaya Minke untuk menepis kedukaan pascakepergian Annelies.
Ulasan kali ini akan fokus pada satu topik yang selalu muncul sejak awal bab dan beriringan hingga akhir, yaitu kuasa media. Novel pada tetralogi kedua ini tidak lagi menyajikan konflik batin mengenai hubungan kedirian tokoh, tetapi sudah mengarah pada permasalahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Melalui Minke, Pram memasukkan beragam gagasan tentang bagaimana menumbuhkan kesadaran bahwa semangat Revolusi Prancis tentang kebebasan, persamaan, dan persaudaraan harus muncul dalam semangat hidup rakyat Hindia 1800-an. Periode pemikiran Minke sudah lebih dari sebuah pencarian jati diri. Minke sudah merambah pada aspek kebangsaan dengan semakin beragamnya orang-orang yang ia temui.
Kisah Surati
Perjalanan untuk mengenal bangsanya dimulai ketika Minke melakukan lawatan untuk tetirah di Sidoarjo, kota masa kecil Nyai Ontosoroh. Dalam perjalanan, Kommer membersamai mereka untuk menuju tujuan yang sama. Melalui Kommer pulalah Minke mendapatkan banyak sindiran bahwa ia tak mengetahui bangsanya sendiri. Dengan misi tersebut Minke mencoba mengetahui bangsa Hindia dalam lawatannya kala itu.
Tinggallah Minke di rumah keluarga Nyai Ontosoroh yaitu Paiman atau Sastrowongso atau Sastro Kassier. Baru sehari di sana, Minke sudah diperlihatkan sebuah kisah pilu seorang perempuan yang tidak lain adalah anak Sastro Kassier yaitu Surati. Pada usia belasan, Surati telah menjadi gundik dari seorang Administratur Tulangan bernama Plikemboh (Frits Homerus Vlekkenbaaij). Pada usia belasan tersebut pula, Surati telah menjadi penyelamat para warga Tulangan karena telah membinasakan Plikemboh dengan cacar yang sengaja ia tularkan pada hari pertama ia mendatangi rumah Plikemboh. Kisah panjang dan penuh kepentingan tersebut menjadi salah satu tulisan yang Minke hasilkan pada kunjungannya ke Sidoarjo.
Kisah Trunodongso
Kemudian pada saat Minke sedang berjalan-jalan dalam liburannya, ia menjumpai sebuah rumah yang berdiri seorang diri di tengah-tengah perkebunan tebu. Trunodongso adalah nama pemilik gubuk tersebut. Bukan tanpa kecurigaan Minke diterima bertamu di rumah yang sudah sering didatangi kompeni dengan beragam intimidasi. Minke mencoba pendekatan yang humanis dalam upaya untuk mengetahui bangsanya. Dari obrolan sehari semalam hingga Minke menginap di Trunodongso, Minke jadi tahu bahwa para petani di Tulangan sedang ada dalam jeratan pabrik gula. Tanah dan lahan yang disewakan tidak setara dengan uang sewa yang seharusnya diberikan. Para petani yang menolak, pasti akan mendapatkan tekanan dari para pangreh praja hingga administratur pemerintahan. Fakta itulah yang coba dituliskan Minke pada tulisan kedua yang ia hasilkan di Tulangan.
Ketika sudah sampai di Wonokromo, Minke menyerahkan kisah Trunodongso ke Nijman di SN v/d D. Kisah Trunodongso sepanjang enam halaman itu tak bisa dimuat oleh Nijman, bahkan ia sendiri meragukan kebenaran isi tulisan Minke. Dari situlah Minke menyadari bahwa koran yang selama ini ia agung-agungkan tidak lain dari sebuah koran gula yang hanya bergerak demi kepentingan gula.
Istilah koran gula pada tahun di Hindia merujuk pada media massa yang sengaja dibangun oleh pabrik-pabrik gula di Hindia demi kepentingan modal. Tulisan-tulisan yang dihasilkan tidak jauh-jauh dari untuk membangun citra pabrik gula dan untuk kepentingan pabrik gula.
Mengutip apa yang ditulis di dalam Politik Kuasa Media (Chomsky), sebuah media memang dapat dijadikan sebagai alat agitasi atau propaganda oleh pemegang kuasa dari media tersebut. Koran gula yang digambarkan di dalam novel Anak Semua Bangsa merupakan simbol dari adanya pengaruh kuasa tentang bagaimana sebuah media mampu memengaruhi opini, pemikiran, dan sudut pandang setiap orang yang membaca tulisan-tulisan dan produk yang dihasilkan oleh media tersebut. Melalui koran gula pula, kolonial memanfaatkan momentum dan kuasanya sebagai bentuk pengesahan dan legitimasi atas bentuk-bentuk hegemoni yang selalu ditanamkan, yaitu dalam hal politik tanam paksa.
Kesadaran dalam diri Minke bahwa media memiliki pengaruh besar untuk menggerakkan massa mengantarkan Minke pada satu titik ketika ia sadar bahwa ada hal lain yang harus ia lakukan di samping menuliskan fakta-fakta yang ia saksikan secara langsung. Bentuk kesadaran tersebut masih tumbuh dan baru bertunas dan belum sampai pada aksiden yang dilakukan oleh Minke. Aktualisasi gagasan baru akan muncul pada sekuel berikutnya pada novel ketiga, yaitu Jejak Langkah.
Identitas Buku
Judul : Anak Semua Bangsa
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penyunting : Astuti Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Kota terbit : Jakarta Timur
Tahun terbit : 2006, cetakan ke-22 Februari 2020
Yogyakarta, 05 Mei 2023
Komentar
Posting Komentar