Langsung ke konten utama

Kehidupan di Pinggiran Sungai Musi




Jembatan Ampera, warna merah gagahnya membelah sungai Musi yang mengalir syahdu. Perahu-perahu tampak berlabuh di tepian sungainya tepat di bawah dua tiang gagah itu. Beberapa anak di tempat saya singgah saat itu sedang bergerombol memancing ikan-ikan penghuni sungai Musi.
Adalah seorang anak laki-laki bernama Faidal. Seusia anak kelas 4 SD sedang memancing ikan di tepian Sungai Musi. Dua ikan lundu telah berhasil didapatkan oleh Faidal. Umpan cacing yang ia pasangkan ternyata ampuh menarik ikan-ikan habitat asli sungai terbesar di Palembang itu. Lain dengan teman-teman Faidal sebelumnya, mereka tidak berhasil mendapatkan ikan satu pun karena umpan berupa potongan tempe mentah yang dipasang mungkin kurang menjadi daya tarik ikan lundu.
Dalam hitungan beberapa menit, Faidal berhasil mendapatkan ikan lundu berukuran sepanjang jari orang dewasa. Tidak terlalu besar memang. Ikan-ikan yang didapatkan masih cukup kecil.
Jika dilihat sekilas, ikan lundu tampak seperti ikan patin atau lele versi kecil. Di bagian depan, ada kumis yang menjuntai. Kepalanya pun sedikit kaku dengan sirip yang berdiri tegak di atasnya. Kira-kira seperti peranakan ikan lele si lundu itu.
Setelah beristirahat sejenak, saya melanjutkan perjalanan menuju sebuah tempat yang berada tepat di bawah jembatan Ampera. Di sebelah kanan dan kiri jembatan dari tempat saya berada ada dua pasar. Pasar Ilir 10 dan Ilir 16 adalah nama pasar itu. Saya berniat untuk mencari makanan yang bagi siapa pun pasti tahu mengenai makanan khas yang satu ini. Empek-empek khas Palembang. Berada di tempat asing adalah hal yang mengasyikkan bagi diri saya. Mengamati orang-orang dengan lingkungan hidup yang berbeda dengan apa yang biasa saya jalani setiap harinya.
Masuk ke pasar Ilir 10, saya disambut dengan keramaian interaksi jual beli yang dilaksanakan di pinggiran jalan. Apa yang mau dibeli? Apa pun ada di sini. Sayuran, buah-buahan, baju, sepatu, mainan, sembako, dan penjual empek-empek menjamur di tepian jalan. Sudah tidak tahan ingin mencicipi empek-empek di kota asalnya, saya pun berhenti di salah satu pedagang kaki lima.
Pesanlah saya empek-empek itu. Satu porsi berisi sepuluh potong empek-empek dengan beragam varian isi. Isi telur berbentuk bulat, isi tahu berbentuk kotak, empek-empek rebus, empek-empek goreng, dan beberapa empek-empek yang tidak bisa saya definisikan di sini. Ketika telah tersaji, saya langsung menyantapnya. Saya pilih empek-empek rebus yang terlihat begitu empuk. Ternyata benar, ketika gigitan pertama sudah berasa kelembutannya. Tidak seperti empek-empek yang pernah saya makan di sebelumnya. Kuah pendampingnya pun terasa begitu kental. Rasa pedas dan asam begitu mendominasi. Wah, benar-benar mantap.
Selesai makan empek-empek dengan harga Rp7.000 itu saya melanjutkan untuk menuju pasar di seberang sungai. Pasari Ilir 16. Berbeda dengan Ilir 10, di sana banyak sekali kita menemukan penjual baju dan aksesoris. Ah, tidak juga. Penjual sayuran dan buah-buahan pun bertebaran. Sepertinya ini adalah pasar induk di sini. Apa saja ada dengan jumlah yang luar biasa. Ada beberapa blok di pasar Ilir 16. Ada bagian penjual khusus baju, aksesoris, sayur, buah, dan oleh-oleh khas Palembang seperti kerupuk mentah dan juga tekwan.
Ada yang begitu kental terasa mengenai perbedaan budaya. Kalau boleh saya bersifat rasis, orang-orang Palembang cenderung lebih kasar dan bertemperamen keras. Tiap kali ketika saya berjalan di depan angkutan umum, si kondektur langsung berteriak sembari menawarkan untuk naik angkot tersebut. Bagi mereka mungkin itu adalah hal yang biasa, tetapi bagi saya itu adalah hal di luar kebiasaan yang seharusnya. Pedagang-pedagang yang menawarkan dagangannya pun cenderung bersikap ketus. Tidak semuanya memang, namun dari sekian banyak pedagang yang saya temui yang terjadi adalah hal demikian.
Ada sebuah cerita yang membuat saya merinding tatkala mendengarnya. Seorang penjual kerupuk basah mengatakan pada saya bahwa di pasar Ilir 16 banyak sekali pencopet berkeliaran. Dia pun tahu mana saja copet-copet itu. Ketika ia ingin melaporkan perihal copet-copet itu, kembali ia berpikir mengenai keselamatan dirinya berdagang di pasar. Diam dan berperilaku biasa saja adalah pilihan yang diambilnya. Bukan berarti membiarkan calon pembelinya kecopetan, justru ia memberitahu saya untuk berhati-hati sembari berbisik, “tasnya jangan ditaruh di belakang Mba, ada copet yang sedang mengawasi. Saya tahu copet-copet itu, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa.” Itu adalah apa yang penjual itu sampaikan kepada saya.
 Gambaran-gambaran mengenai kerasnya kota Palembang saya temukan di dua pasar di bawah jembatan Ampera. Di balik kemajuan kota Palembang dengan transportasi Lintas Rel Terpadu (LRT) dan satu tahun sebelumnya yang sempat menjadi tuan rumah Asian Games tidak mengalfakan mengenai realitas kehidupan di sudut-sudut kotanya. Potret-potret yang mampu menjatuhkan tetes-tetes kesedihan dari pelupuk mata menjadi sajian yang saya temukan. Itu adalah salah satu dari sekian banyaknya pelajaran mengenai bagaimana seharusnya saya mensyukuri segala hal yang telah saya dapatkan di dalam kehidupan ini.
Palembang
Yosi Sulastri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...