Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Saya dan Jurnalisme Saya

Saya dan Jurnalisme Saya Menekuni dunia ke-persma-an benar-benar bisa memacu adrenalin. Setiap kali bertemu dengan para birokrat kampus dan mereka tahu bahwa saya adalah reporter persma, reaksi mereka pasti akan langsung berubah. Entah menjadi waspada, menasihati seolah kami tidak pada koridor yang seharusnya, intimidatif gaya bicaranya, atau tertutupnya mereka sebab takut bocornya sebuah rahasia. Bermacam-macam yang saya jumpai. Awalnya saya merasa takut, mungkin hingga saat ini masih juga merasa demikian. Namun, ada hal yang membuat saya menjadi semakin yakin dan berani. Selama apa yang saya tulis dalam pemberitaan adalah berdasarkan fakta dan data, saya tidak perlu mundur karena pertanyaan intimidatif datang mencerca. Cukup busungkan dada lalu jawab pertanyaan mereka sesuai dengan realitas yang ada. Butuh perjuangan dan kesabaran tingkat tinggi dalam setiap reportase. Mendapat omelan, jadwal wawancara yang sering ditunda, ketidakjelasan narasumber di lapangan, intimid...

Mahasiswa Milenial Kekeringan Kesadaran

Mahasiswa Milenial Kekeringan Kesadaran Mahasiswa era 1930-an adalah mahasiswa di era serba kekurangan. Bukan hanya materi, melaikan kekurangan kepercayaan, harapan masa depan, dan sebuah cita-cita luhur akan kehidupan yang akan datang. Sosok mahasiswa era 1940 tidak jauh berbeda dengan satu dekade sebelumnya. Namun, di era tersebut mereka mulai memanfaatkan ketidakpercayaan sebagai sebuah media untuk menggagas sebuah rencana ke depan. Mengotak-atik segala permasalahan dengan pemikiran skeptis yang tidak bertendensi pada kekuasaan zaman tersebut. Tahun 1942, lahirlah seorang pemuda dari keturunan china, yang namanya hingga kini masih sering terdengar dan digaungkan di berbagai bentuk aksi memorial. Seo Hok Gie,   hingga kini masih terkenang sebab pemikiran-pemikiran kritis, idealis, dan desduktrif. Generasi baru atau mahasiswa baru adalah julukan yang disematkan kepada mereka para “manusia” yang lahir sebelum dan setelah masa kemerdekaan Indonesia atau yang manusia de...

Ini Aku, Mengenai Pandanganku

Ini Aku, Mengenai Pandanganku Tuhan menganugerahkan mata kepada manusia agar dengan itu mereka dapat menangkap keajaiban yang telah Tuhan ciptakan. Aku ingin bercerita tentang seseorang yang telah banyak memberiku pemahaman.  Ini bukan mengenai sebuah teori-teori pelajaran, tetapi pemahaman akan hakikat sebuah keadaan. Dulu, aku selalu ingin mengabadikan setiap momen penting, unik, luar biasa, atau berkesan dengan sebuah foto.  Gambaran mengenai keadaan yang sedang terjadi dalam perjalanan hidupku.  Berasa kurang rasanya jika setiap momen itu tidak ditangkap oleh kamera.  Merasa tidak ikhlas jika terlewat begitu saja.  Bahkan tak jarang merasa sedih, marah, dan kesal jika tanpa sengaja tak tertangkap kamera. Ini tentang dia yang hingga kini mampu menjadikanku manusia yang tidak menuhankan “foto”. Sekadar sebuah gambaran yang menjadi deskripsi keadaan. Aku masih bisa mengingat mengenai apa yang kubicarakan dengannya hingga pada...

Coba Kutanya pada Ibu

Coba Kutanya Pada Ibu Oleh : Yosi Sulastri Seorang adik menangis setelah terjatuh ketika ia sedang berjalan bersama kakaknya. Coba tebak siapa yang kena marah ibunya? Ya, sang kakak yang mendampingi adiknyalah yang mendapat omelan. Sebab menurut ibunya ia yang lebih mengenal bagaimana menjaga diri dan bagaimana cara melindungi. Padahal, sang kakak sudah menggandeng tangan adiknya dengan erat. Apa mau dikata, sang adik terjatuh sebab tersandung kakinya sendiri. Tetapi, saya tegaskan lagi, sang ibu tetap memarahi kakaknya dengan omongan kasar bahkan tak jarang tangan pun melayang. Sedangkan sang adik dibelai, dielus, di-ninabobo-kan, padahal sebenarnya ia pantas pula diberi teguran. Itu yang saya lihat. Kalau anda tak pernah melihatnya berarti anda perlu sowan ke dukuh saya, Kemusuk, Desa Mangunweni, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen. Hal di atas saya analogikan sebagai bentuk hierarki antara pemegang kekuasaan dan rakyat. Suatu masa ketika rakyat yang katanya dimiskinkan ol...

Tempat untuk Pura-Pura Ngopi

Kedai kopi telah menjamur di sini, Jogja . Setiap mentari menyembunyikan diri, para penikmat si hitam memikat itu mulai ramai berdatangan menuju kedai kopi tempat biasa yang mereka datangi. Tak hanya kopi yang mengundang mereka untuk kembali. Bagi aku dan beberapa dari mereka yang tidak terlalu suka kopi, suasana riuh nan menenangkanlah yang buatku mampir. Canduku bermula dari ajakan seseorang. Kali ini mungkin aku tidak banyak menceritakan mengenai sosok laki-laki yang membuatku berdebar hati. Seseorang itu bernama nurrahmawati, salah seorang senior di Poros, persma yang kini tengah aku tekuni. Nur mengajakku pertama kali ke Lembayug kala itu ketika baru sekitar dua bulan aku menjadi penghuni Jogja sebagai kaum urban. Tak hanya berdua, beramai-ramai kami menyambangi kedai kopi yang jaraknya tak terlalu jauh dari tempat kosku. Seperti biasa, setiap awal yang baru selalu membutuhkan adaptasi supaya tidak sensi dengan orang-orang yang tak kuduga dapat kutemui. Perasaan takut, ge...