Menekuni dunia
ke-persma-an benar-benar bisa memacu adrenalin. Setiap kali bertemu dengan para
birokrat kampus dan mereka tahu bahwa saya adalah reporter persma, reaksi
mereka pasti akan langsung berubah. Entah menjadi waspada, menasihati seolah
kami tidak pada koridor yang seharusnya, intimidatif gaya bicaranya, atau
tertutupnya mereka sebab takut bocornya sebuah rahasia. Bermacam-macam yang
saya jumpai.
Awalnya saya
merasa takut, mungkin hingga saat ini masih juga merasa demikian. Namun, ada
hal yang membuat saya menjadi semakin yakin dan berani. Selama apa yang saya
tulis dalam pemberitaan adalah berdasarkan fakta dan data, saya tidak perlu
mundur karena pertanyaan intimidatif datang mencerca. Cukup busungkan dada lalu
jawab pertanyaan mereka sesuai dengan realitas yang ada.
Butuh
perjuangan dan kesabaran tingkat tinggi dalam setiap reportase. Mendapat
omelan, jadwal wawancara yang sering ditunda, ketidakjelasan narasumber di
lapangan, intimidasi orang-orang di sekitar, dan beberapa kejadian di luar
dugaan lainnya.
Pernah suatu
hari, reportase yang saya lakukan berakhir nihil karena narasumber yang menjadi
sumber berita super susah untuk ditemui. Demi mendapatkan nomer teleponnya saja
saya harus menunggu berhari-hari dan berakhir dengan kenihilan pula. Nomer
belum saya kantongi, wawancara ditunda lagi. Pada pagi harinya, saya datangi
kantor narsum yang saya tuju. Seperti janji karyawan di kantornya, pukul 8 pagi
saya menghadap. Berharap langsung mendapat kepastian terkait nasum tersebut,
ternyata yang saya dapatkan adalah keharusan untuk menunggu.
Pada pukul
10.45, setelah saya menunggu di kantornya, ada kabar kalau saya bisa menemui
narsum di gedung pertemuan yang diikuti oleh narsum tersebut. Tak lama
berselang, sosok yang saya tunggu-tunggu akhirnya menampakkan diri dan keluar
dari lift bersama karyawannya yang sudah saya temui sebelumnya.
Saya sampaikan
tujuan saya dengan hati-hati dan mempersiapkan segala properti untuk sebuah
reportase. Dan, nihil kembali saya dapatkan. Dugaan saya bahwa beliau mengajak
bertemu dengan tujuan wawancara ternyata berlainan. Hasil pertemuan saya siang
itu hanya sebatas pada persetujuan wawancara. Pelaksanaannya adalah dua hari ke
depan. Kecewa, tapi hanya bisa pasrah namun tidak dengan menyerah.
Meskipun
mengalami masa reportase yang kolot, hasil liputan yang panjang itu pun
membuahkan hasil. Pada hari ketika narasumber memberikan waktunya untuk
wawancara, saya menemui narsum tersebut. Informasi yang saya perlukan akhirnya
saya dapatkan. Sebenarnya narsum yang satu itu adalah narsum pamungkas dari
ketiga narsum yang sudah diwawancarai oleh rekan saya sebelumnya. Berita yang
saya tulis tersebut akhirnya terbit di buletin menjadi berita utama. Selesai
cetak, senang dan lega rasanya. Meskipun masih juga merasa dongkol, saya bisa
apa. Toh semuanya sudah saya lewati dan berita yang saya tulis bersama rekan
saya bisa saya selesaikan.
Untuk sebuah
reportase, saya lebih cenderung menyukai liputan suatu peristiwa atau aksi.
Tidak perlu mencari-cari narasumber atau membuat janji untuk wawancara. Semua
narasumber yang dijadikan sumber berita sudah ada di sana semua. Hanya perlu
mengamati dan mewawancarai ketika acara telah usai atau di waktu senggang.
Namun, ada hal yang harus diperhatikan dan diantisipasi. Hal itu terkait segala
sesuatu yang mungkin saja terjadi di lapangan. Perubahan rencana bukan hal yang
tidak mungkin terkait pemilihan angle
berita.
Saya punya
pengalaman terkait reportase di lapangan. Kali ini bukan pengalaman yang
menyebalkan, lebih ke pengalaman yang tak terlupakan.
Hari itu adalah
acara pembukaan sebuah acara besar di kampus saya. Berangkat pukul 7 pagi untuk
mempersiapkan reportase karena acaranya dimulai pada pukul 8. Awalnya saya
tidak tahu apa yang harus saya jadikan bahan berita. Ketika acara sudah
dimulai, saya mendengar kabar bahwa akan ada seorang tokoh nasional yang hadir
di acara tersebut. Memutar otak, saya pun langsung mencari tahu perihal
informasi tersebut. Ternyata benar, sosok tersebut adalah seorang gubernur yang
saat ini memang sedang naik daun. Namanya bukan hanya dikenal karena jabatan
gubernur yang sekarang diembannya, melainkan karena rekam jejak jabatan
sebelumnya, Menteri Pendidikan Republik Indonesia.
Singkat cerita,
sosok tersebut menyampaikan kuliah umumnya di depan ribuan mahasiswa di acara
tersebut. Turun dari mimbar, kemudian berjalan keluar gedung. Saya langsung
mengikutinya. Tidak sendiri, ada belasan wartawan lain yang sedari tadi juga
menunggu untuk mewawancarai sosok tersebut. Masing-masing dari mereka
menyodorkan alat perekam dan mengerubuti layaknya lebah yang mengelilingi bunga
di taman. Ah, terlalu berlebihan rasanya.
Satu pertanyaan
dari salah seorang wartawan berhasil dilontarkan dan langsung dijawab. Berniat
bertanya, saya pun berkata. Namun, disela kembali oleh wartawan lain. Tak patah
semangat, saya pun kembali bertanya. Pertanyaan saya dijawab sekaligus menjadi
pertanyaan pamungkas sebelum akhirnya sosok tersebut masuk ke dalam mobil dan
melenggang pergi.
Rangkuman
kuliah umum sudah ada, rekamannya pun ada, dan hasil wawancara juga tersedia.
Semua bahan terkumpul dan akhirnya setelah dzuhur berita saya sudah selesai dan
siap terbit. Seperti itulah bagaimana saya bisa tergila-gila dengan apa yang
saya geluti saat ini, jurnalisme.
Saya pernah
membaca buku karangan Bill Kovach dan Tom Resenstial yang berjudul 9 Elemen
Jurnalisme. Di dalamnya, pada elemen ke-7 dijelaskan mengenai pemahaman terbaik
tentang jurnalisme. Saya setuju dengan apa yang ada di dalam buku tersebut.
Kurang lebih seperti ini pemahamannya, “Jurnalisme
adalah mendongeng dengan sebuah tujuan. Tujuannya adalah menyediakan informasi
yang dibutuhkan orang dalam memahami dunia. Tantangan pertama adalah menemukan
informasi yang dibutuhkan orang untuk menjalani hidup mereka. Keduanya adalah
membuatnya bermakna, relevan, dan enak disimak.” Berbekal pemahaman
tersebut, hingga kini saya masih yakin mengenai suatu hal. Saya bisa bermanfaat
di sini, di dunia ini, melalui jurnalisme. Saya akan menjadikan jurnalisme
sebagai jalan saya untuk memberikan kemaslahtan bagi orang-orang di sekeliling
saya. Tidak menutup kemungkinan ini adalah apa yang saya impikan pula. (Yosi Sulastri)
Komentar
Posting Komentar