Mahasiswa
Milenial Kekeringan Kesadaran
Mahasiswa era
1930-an adalah mahasiswa di era serba kekurangan. Bukan hanya materi, melaikan
kekurangan kepercayaan, harapan masa depan, dan sebuah cita-cita luhur akan
kehidupan yang akan datang. Sosok mahasiswa era 1940 tidak jauh berbeda dengan
satu dekade sebelumnya. Namun, di era tersebut mereka mulai memanfaatkan
ketidakpercayaan sebagai sebuah media untuk menggagas sebuah rencana ke depan.
Mengotak-atik segala permasalahan dengan pemikiran skeptis yang tidak
bertendensi pada kekuasaan zaman tersebut.
Tahun 1942,
lahirlah seorang pemuda dari keturunan china, yang namanya hingga kini masih
sering terdengar dan digaungkan di berbagai bentuk aksi memorial. Seo Hok Gie, hingga kini masih terkenang sebab
pemikiran-pemikiran kritis, idealis, dan desduktrif. Generasi baru atau
mahasiswa baru adalah julukan yang disematkan kepada mereka para “manusia” yang
lahir sebelum dan setelah masa kemerdekaan Indonesia atau yang manusia dengan
kisaran usia 20-30 pada tahun 1969.
Seo hok gie,
berbekal ketidakpercayaannnya tersebut ia mampu menjadi arcitec of action dalam sebuah long
march untuk menurunkan rezim Soekarno. Bersama dengan para mahasiswa pada
masanya, ia berhasil mewujudkan modal ketidakpercayaan tersebut dengan berhasil
menumbangkan kepemimpinan sang founding
father indonesia.
Mahasiswa era
1960 tidak hanya mengadakan aksi nyata dengan bersemonstrasi saja. Aksi
tersebut tidak akan pernah ada jika sebelumnya tidak tercipta sebuah gagasan
yang diwacanakan dalam sebuah tulisan di surat-surat kabar. Sebut saja Seo Hok
Gie, seorang mahasiswa yang rajin menuliskan setiap gagasan mengenai
kegelisahan di masa remajanya melalui sebuah tulisan yang kerap dimuat di surat
kabar nasional. Melalui tulisan-tulisan yang penuh dengan gagasan “membangkang”
kebijakan tersebut ia mampu menggerakan pemikiran setiap orang yang membaca dan
mencerna tulisannya. Catatan hariannya yang penuh dengan luapan emosi pun
hingga saat ini masih menjadi bacaan yang meskipun out of date tetapi tetap aktual jika dikorelasikan dengan keadaan
rezim masa kini.
Bukan tanpa
halangan, seperti yang tertulis dalam buku Seo Hok Gie : catatan seorang
demonstran, masa-masa perjuanganya menjadi begitu dramatis dengan berbagai
dialektis ideologi yang muncul dari berbagai lini yang disentuhnya. Dikucilkan
dari lingkungan hidupnya tak luput didapatkan oleh Gie.
“lebih baik
diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan”. Begitulah ungkapan Gie yang
menjadi bukti idealisme di dalam dirinya.
Kita tidak bisa
menuhankan hok gie sebagai mahasiswa yang mahabenar. Seperti layaknya manusia yang
sedang dalam masa pertumbuhan, Gie tak luput ubahnya seorang mahasiswa yang
mengeksresikan gagasan yang ada di dalam otaknya secara spontan. Tak heran jika
ia disebut sebagai gerilyawan yang kurang taktis. Namun, dalam urusan
kepercayaan diri dan kejujuran mengenai idealisme, Gie tak perlu lagi
dipertanyakan.
Idealnya
seorang mahasiswa harus mempunyai mata yang mampu melihat kesewenang-wenangan seperti
halnya yang dilakukan Gie. Entah itu dalam lingkup horizontal maupun vertikal. Vertikal
adalah terkait dengan kesewenang-wenangan dalam lingkup negara; sedangkan
horizontal adalah terkait dengan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh
rekanya sesama mahasiswa. Bisa dalam bentuk apa saja yang mendukung kepentingan
pridbadi namun mengesampingkan kepentingan bersama.
Mahasiswa
adalah intelektual bebas yang tidak terikat pada golongan keagaamaan, politik,
maupun kekuasaan pemerintah. Oleh sebab itu mahasiswa disebut juga sebagai agent of change. Saat ini, istilah tersebut sudah menggema di
telinga para mahasiswa. Namun, hakikat seperti apakah agent of change tersebut?
Terlalu
teoretis jika membahas peran mahasswa sebagai agent of change dari makna harfiahnya, akan lebih dialektis jika
dibahas dari ranah implementasi. Seorang mahasiswa yang mengemban amanah
sebagai agen perubahan memang cenderung kepada mereka yang mampu menempatkan
dirinya di dalam realitas kehidupan sosial kemasyarakatan.
Mahasiswa
sekarang sudah tidak lagi kekurangan kepercayaan diri atau kekurangan
penghidupan akan diri mereka sendiri. Manusia yang kini disebut generasi
milenial sudah merasakan kepercayaan yang besar terkait kesuksesan dirinya
terkait masa depan. Mereka tidak lagi memikirkan mengenai alur perubahan bangsa
sebab yang ada di pikiran mereka saat ini adalah kesuksesan akan dirinya
sendiri.
Kenyamanan
tersebut membuat mereka tidak lagi skeptis terhadap kebijakan-kebijakan yang
tidak lagi berpihak kepada memasyarakatkan masyarakat. Mahasiswa yang sekarang
lebih tenar dengan kaum milenial mulai mengesampingkan tugasnya sebagai the maker of society. Mahasiswa dinilai
mampu menjadi tolok ukur sebuah peradaban di dalam kebudayaan. Jika
mahasiswanya hanya berdiam diri dengan duduk mendengarkan kuliah dosen, lantas
bagaimana dengan tugas yang harus diembannya?
Mahasiswa sama
halnya dengan seorang rakyat di dalam suatu sistem kenegaraan. Ia bisa hanya
menjadi seorang rakyat yang selalu tunduk dengan segala sesuatu yang
diperintahkan oleh pemimpinnya. Bisa juga mereka mengambil bagian dalam segala
keputusan tersebut dengan menjadi pemimpin di dalam miniatur kenegaraannya,
yaitu universitas. Kita akan dengan mudah menemukan berbagai bentuk karakter
dari penggambaran bagan pemerintahan. Di dalam sebuah universitas, terdapat
badan legislatf maupun eksekutif, dan mahasiswa sebagai rakyatnya. Sangat
kompleks sebagai media belajar dalam membangun sistem kenegaraan yang
sebenarnya dalam lingkup Negra Kesatuan Republik Indonesia.
Mahasiswa
memiliki peran yang besar dalam membawa arah kehidupan bangsa Indonesia. bukan
untuk membesar-besarkan suatu persoalan yang kerap dianggap sederhana ini, saya
hanya ingin mengingatkan kembali kepada kalian dan diri saya sendiri mengenai
siapa kita saat ini. Siapkah kita menjadi mahasiswa? (Yosi Sulastri)
Komentar
Posting Komentar