|
|
|
|
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
|
September 2017
|
BUDAYA
KEPUNGAN SEGO TAWON
A. Definisi Budaya Kepungan Sego Tawon
Dalam
sebuah acara hajatan, tuan rumah pasti menginginkan hari pelaksanaan berjalan
dengan lancar. Tak hanya itu saja, tuan rumah juga berharap tamu yang datang
akan melimpah ruah sehingga hidangan apapun yang telah disiapkan tidak terbuang
percuma. Hal ini menciptakan sebuah tradisi “tersendiri” yang dilakukan sebelum
hari pelaksanaan hajatan itu tiba.
Tradisi
yang dimaksud adalah kepungan1
dengan sebuah tumpeng yang disebut sego
tawon. Kepungan ini biasa dilakukan di daerah pesisir laut selatan.
Tepatnya di Desa Mangunweni, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen. Hal itu
didasarkan pada tradisi nenek moyang yang telah diwariskan secara turun-menurun
melalui sesepuh daerah setempat.
Pembuatan
sego tawon ini cukup unik. Yakni dengan menanak nasi di atas sebuah
dandang atau yang biasa disebut penanak di era modern ini, kemudian di
tengah-tengah proses menanak akan ditambahkan sarang tawon yang sudah diolah bersamaan dengan parutan kelapa dan
bumbu-bumbu tradisional lainnya. Sarang tawon
tersebut akan diletakkan di tengah-tengah nasi, yaitu di antara bagian dasar
tumpeng dan pucuk tumpeng. Setelah itu tuan rumah biasanya akan mengundang para
tetangganya khususnya para glidig2
untuk bersama-sama mengikuti acara kepungan
dengan menyantap sego tawon.
B. Makna dari Bagian-Bagian Sego Tawon
Menurut
kepercayaan warga Desa Mangunweni, berdasarkan warisan budaya nenek moyang, sego tawon
memiliki filosofi atau makna yang terselubung di dalamnya. Makna-makna tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Sego
Sego/nasi
merupakan sumber makanan utama di daerah Jawa. Hal itu berdasar pada latar
belakang penamaan pulau Jawa itu sendiri, yaitu Yavadvipa (Jawadwipa) yang
sekilas nama ini sesuai dengan Jawa sebagai penghasil padi (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jawa_(nama)).
Dengan demikian, nasi memiliki simbol kemakmuran dan kesejahteraan yang
diharapkan akan hadir dalam prosesi hajatan tersebut. Selain itu, harapan atau
doa yang terkandung di dalamnya adalah kemakmuran yang bisa dirasakan oleh para
tamu dan juga tetangga di sekitarnya.
2. Sarang
Tawon (lebah)
Menurut KBBI (kbbi.web.id) Sarang lebah adalah tempat
tinggal dan berkembang biak (biasanya berwarna coklat tanah). Penggunaan sarang
tawon sebagai lauk utama didasarkan
pada cita rasanya yang nikmat di samping makna terselubung yang ingin
disampaikan. Adapun makna atau harapan tersebut ialah agar prosesi hajatan yang
akan berlangsung bisa tetap kokoh dan tersusun rapi, bersih, dan semua bangku
terpenuhi oleh para tamu. Seperti halnya sarang lebah yang begitu rapih
membentuk heksagonal yang besarnya sama rata dengan masing-masing heksagonal
tersebut berisikan larva lebah yang baru saja terlahir ke dunia.
3. Lebah
Jika dikaji lebih dalam
mengenai lebah di dalam Al-Quran, maka terdapat ayat yang menjelaskan keutamaan
lebah. Hal tersebut terdapat di Surat An-Nahl (Lebah) : 68-69 yang bunyi dan artinya sebagi berikut:
Artinya: Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah,
“Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat
yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu
tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu
keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat
yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi
orang yang berpikir.
Dari ayat tersebut
dijelaskan bahwa lebah memiliki keistimewaan yaitu bisa menghasilkan madu yang
memiliki beribu manfaat bagi manusia. Hal ini mengisyaratkan bahwa penggunaan
larva lebah pada tumpeng sego tawon ini memiliki harapan yaitu hajatan
yang akan dilaksanakan bisa memberikan manfaat kepada para tamu udangan dan
warga sekitar.
Selain itu, hal
tersebut di atas juga memiliki makna bahwa prosesi hajatan bisa membantu atau
bisa berbagi kenikmatan. Misalkan ada segolongan warga yang kurang mampu yang
belum tentu bisa menyantap hidangan mewah seperti daging, buah-buahan, dan
kue-kue lainnya pada hari biasa. Namun, dengan adanya hajatan yang akan
dilaksanakan diharapkan nantinya bisa berbagi kesejahteraan kepada para tamu
atau warga sekitar yang kurang mampu dalam hal finansial.
4. Kelapa
parut
Sudah menjadi rahasia
umum bahwa pohon kelapa adalah tumbuhan yang bisa dimanfaatkan apa pun yang ada
di dalamnya. Mulai dari daunnya yang muda (janur)
bisa untuk membuat ketupat, daunnya yang setengah muda (blarak) bisa dijadikan sapu lidi, daunnya yang kering (klari) bisa dijadikan bahan bakar, dan
buah kelapa itu sendiri yang bisa diolah menjadi berbagai menu masakan. Jika
kita membicarakn manfaat dari masing-masing bagian pohon kelapa tentu sajalah
tidak akan ada habisnya. Seperti halnya harapan yang ingin disisipkan dari
penggunaan kelapa parut dalam olahan sego
tawon.
Harapan tersebut tentu
sajalah agar hajatan yang akan dilaksanakan bisa memberikan manfaat dan
kebermanfaatan dari setiap prosesi hajatan. Tidak hanya manfaat dari segi
visual namun juga dari kebatinan. Dengan adanya prosesi hajatan, yang pastinya
membutuhkan banyak uluran tangan dari para tetangga, maka tentu sajalah hal
tersebut bisa meningkatkan rasa kebersamaan dan terjalinnya silaturrahmi antar
warga.
5. Peletakkan
olahan tawon
Lauk yang berupa sarang
tawon tersebut berada di
tengah-tengah antara dasar tumpeng dan pucuk tumpeng. Hal tersebut
mengisyaratkan bahwa kenikmatan itu bisa dirasakan oleh mereka yang kaya maupun
yang miskin. Tidak ada perbedaan di antara si kaya dan si miskin karena mereka
sama-sama bisa merasakannya.
6. Kepungan
Kepungan
memiliki
makna bahwa tidak ada strata sosial di antara warga. Baik itu warga yang memiliki
jabatan maupun warga biasa yang bekerja sebagai buruh. Mereka menyantap makanan
yang sama dan duduk sama rata dalam satu tempat yang kemudian menyantap sego tawon
secara bersama-sama.
C. Analisis Mengenai Budaya Kepungan Sego Tawon
Setelah memahami makna
dan manfaat dari budaya kepungan sego tawon
kita dapat melihat bahwa begitu banyak kebaikan yang terkandung di dalamnya.
Jika disebutkan satu per satu maka adalah sebagai berikut:
1) Mempererat
persaudaraan antarwarga,
2) Saling
berbagi kebahagiaan,
3) Menyatukan
perbedaan status sosial warga,
4) Menjalin
keharmonisan antarwarga,
5) Menjalin
interaksi sosial yang baik,
6) Melestarikan
budaya bangsa sebagai perwujudan cinta tanah air,
7) Mengajarkan
kepada generasi muda untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dsb.
Namun, di samping
manfaat yang disebutkan di atas, ada satu hal yang perlu digaris bawahi yaitu
mengenai penggunaan larva tawon
sebagai lauk utamanya. Hal tersebut tentu berseberangan dengan hukum mengenai
larangan membunuh lebah. Memang yang digunakan itu sejatinya adalah sarang
lebah, tapi yang menjadi perhatiannya adalah larva yang tentunya masih berada
di dalamnya. Sangatlah jarang para warga pelestari budaya tersebut mau
berepot-repot memisahkan larva dari sarangnya. Mereka pasti akan mengambil
jalan pintas dengan memasak kesemuanya tanpa memikirkan risiko “halal haram”.
Dalam Al-quran dan
sunnah memang tidak ada dalil qath’iy yang mengharamkan manusia memakan lebah (www.abisyakir.wordpress.com). Namun perlu
diperhatikan dalam sebuah hadits yang berbunyi sebagai berikut:
“Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh empat hewan: semut, lebah,
burung hud-hud, dan burung Shurad.” (HR. Abu Daud no.
5267, Ibnu Majah no. 3224 dan Ahmad 1:332. Syaikh Al Abani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Dari penjelasan hadits
di atas dapat kita simpulkan bahwa membunuh saja diharamkan (dilarang) berarti
kita diharamkan pula untuk memakannya. Meskipun dalam beberapa keadaan kita
diberi keringanan seperti dalam keadaan darurat. Namun yang menjadi pertanyaan
saat ini adalah “Apakah dalam prosesi budaya sego tawon itu berada
dalam suatu kondisi darurat?”
Seharusnya kita
menelaah terlebih dahulu mengenai sebuah budaya yang akan diciptakan. Baik dari
segi kegiataannya yang masih sejalan dengan hukum islam maupun serpilan-serpilan
budaya lain yang disisipkan di dalamnya. Hal tersebut harus benar-benar dikaji
terlebih dahulu. Jika budaya yang melanggar syariat islam sudah mendarah daging
di masyarakat maka sudah menjadi barang jadi masyarakat itu akan sukar untuk bisa
meninggalkannya. Meskipun dengan alasan yang mendasar sekalipun.
Sangat disayangkan
memang bahwa di dalam kebudayaan yang masih berkembang di daerah-daerah di
Indonesia masih menganut paham nenek moyang, khususnya kejawen di daerah Jawa.
Mereka masih menganggap bahwa ilmu nenek moyang mereka harus terus menerus dipertahankan
meskipun sejatinya mereka tahu bahwa ada beberapa tradisi yang melanggar hukum
Islam.
Tentu bukan salah
mereka yang ingin melestarikan budaya, hanya saja kurangnya kesadaran mereka
akan pentingnya melestarikan budaya dengan melihatnya pula dari sudut pandang
Islam.
1
kepungan yaitu
makan bersama dengan duduk melingkar kemudian tumpenag diletakkan di
tengah-tengah.
2
glidig adalah
sebutan bagi para warga yang membantu prosesi hajatan.
D. Analisis Fungsi
Foklor (William R Bascom)
Fungsi
foklor yang terdapat di dalam budaya kepungan sego tawon ada dua, yaitu:
1. Sebagai sistem proyeksi, artinya budaya kepungan
sego tawon hanya sebatas pada budaya turun temurun tanpa mengetahui asal muasal
terjadinya kebudayaan tersebut.
2. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma
masyarakat selalu dipenuhi, artinya budaya kepungan sego tawon hasur dilakukan
supaya kewajiban untuk melaksanakannya gugur dan pelaksana dianggap telah
mematuhi aturan. Sehingga apapun kegiatan yang dilaksanakan akan mendapat
keberkahan atau kelancaran.
Komentar
Posting Komentar