Langsung ke konten utama

Budaya Kepungan Sego Tawon



(Desa Mangunweni, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen)
Budaya Kepungan Sego Tawon
Nama : Yosi Sulastri
NIM   : 1714025008
Prodi : Sastra Indonesia
Tugas Mata Kuliah Sastra Melayu Lama


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
September 2017



BUDAYA KEPUNGAN SEGO TAWON
A.  Definisi Budaya Kepungan Sego Tawon
Dalam sebuah acara hajatan, tuan rumah pasti menginginkan hari pelaksanaan berjalan dengan lancar. Tak hanya itu saja, tuan rumah juga berharap tamu yang datang akan melimpah ruah sehingga hidangan apapun yang telah disiapkan tidak terbuang percuma. Hal ini menciptakan sebuah tradisi “tersendiri” yang dilakukan sebelum hari pelaksanaan hajatan itu tiba.
Tradisi yang dimaksud adalah kepungan1 dengan sebuah tumpeng yang disebut sego tawon. Kepungan ini biasa dilakukan di daerah pesisir laut selatan. Tepatnya di Desa Mangunweni, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen. Hal itu didasarkan pada tradisi nenek moyang yang telah diwariskan secara turun-menurun melalui sesepuh daerah setempat.
Pembuatan sego tawon ini cukup unik. Yakni dengan menanak nasi di atas sebuah dandang atau yang biasa disebut penanak di era modern ini, kemudian di tengah-tengah proses menanak akan ditambahkan sarang tawon yang sudah diolah bersamaan dengan parutan kelapa dan bumbu-bumbu tradisional lainnya. Sarang tawon tersebut akan diletakkan di tengah-tengah nasi, yaitu di antara bagian dasar tumpeng dan pucuk tumpeng. Setelah itu tuan rumah biasanya akan mengundang para tetangganya khususnya para glidig2 untuk bersama-sama mengikuti acara kepungan dengan menyantap sego tawon.
B.  Makna dari Bagian-Bagian Sego Tawon
Menurut kepercayaan warga Desa Mangunweni, berdasarkan warisan budaya nenek moyang, sego tawon memiliki filosofi atau makna yang terselubung di dalamnya. Makna-makna tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Sego
Sego/nasi merupakan sumber makanan utama di daerah Jawa. Hal itu berdasar pada latar belakang penamaan pulau Jawa itu sendiri, yaitu Yavadvipa (Jawadwipa) yang sekilas nama ini sesuai dengan Jawa sebagai penghasil padi (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jawa_(nama)). Dengan demikian, nasi memiliki simbol kemakmuran dan kesejahteraan yang diharapkan akan hadir dalam prosesi hajatan tersebut. Selain itu, harapan atau doa yang terkandung di dalamnya adalah kemakmuran yang bisa dirasakan oleh para tamu dan juga tetangga di sekitarnya.
2.      Sarang Tawon (lebah)
Menurut KBBI (kbbi.web.id) Sarang lebah adalah tempat tinggal dan berkembang biak (biasanya berwarna coklat tanah). Penggunaan sarang tawon sebagai lauk utama didasarkan pada cita rasanya yang nikmat di samping makna terselubung yang ingin disampaikan. Adapun makna atau harapan tersebut ialah agar prosesi hajatan yang akan berlangsung bisa tetap kokoh dan tersusun rapi, bersih, dan semua bangku terpenuhi oleh para tamu. Seperti halnya sarang lebah yang begitu rapih membentuk heksagonal yang besarnya sama rata dengan masing-masing heksagonal tersebut berisikan larva lebah yang baru saja terlahir ke dunia.
3.      Lebah
Jika dikaji lebih dalam mengenai lebah di dalam Al-Quran, maka terdapat ayat yang menjelaskan keutamaan lebah. Hal tersebut terdapat di Surat An-Nahl (Lebah) : 68-69 yang bunyi dan artinya sebagi berikut:
Artinya: Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat  tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir.
Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa lebah memiliki keistimewaan yaitu bisa menghasilkan madu yang memiliki beribu manfaat bagi manusia. Hal ini mengisyaratkan bahwa penggunaan larva lebah pada tumpeng sego tawon ini memiliki harapan yaitu hajatan yang akan dilaksanakan bisa memberikan manfaat kepada para tamu udangan dan warga sekitar.
Selain itu, hal tersebut di atas juga memiliki makna bahwa prosesi hajatan bisa membantu atau bisa berbagi kenikmatan. Misalkan ada segolongan warga yang kurang mampu yang belum tentu bisa menyantap hidangan mewah seperti daging, buah-buahan, dan kue-kue lainnya pada hari biasa. Namun, dengan adanya hajatan yang akan dilaksanakan diharapkan nantinya bisa berbagi kesejahteraan kepada para tamu atau warga sekitar yang kurang mampu dalam hal finansial.
4.      Kelapa parut
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pohon kelapa adalah tumbuhan yang bisa dimanfaatkan apa pun yang ada di dalamnya. Mulai dari daunnya yang muda (janur) bisa untuk membuat ketupat, daunnya yang setengah muda (blarak) bisa dijadikan sapu lidi, daunnya yang kering (klari) bisa dijadikan bahan bakar, dan buah kelapa itu sendiri yang bisa diolah menjadi berbagai menu masakan. Jika kita membicarakn manfaat dari masing-masing bagian pohon kelapa tentu sajalah tidak akan ada habisnya. Seperti halnya harapan yang ingin disisipkan dari penggunaan kelapa parut dalam olahan sego tawon.
Harapan tersebut tentu sajalah agar hajatan yang akan dilaksanakan bisa memberikan manfaat dan kebermanfaatan dari setiap prosesi hajatan. Tidak hanya manfaat dari segi visual namun juga dari kebatinan. Dengan adanya prosesi hajatan, yang pastinya membutuhkan banyak uluran tangan dari para tetangga, maka tentu sajalah hal tersebut bisa meningkatkan rasa kebersamaan dan terjalinnya silaturrahmi antar warga.
5.      Peletakkan olahan tawon
Lauk yang berupa sarang tawon tersebut berada di tengah-tengah antara dasar tumpeng dan pucuk tumpeng. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kenikmatan itu bisa dirasakan oleh mereka yang kaya maupun yang miskin. Tidak ada perbedaan di antara si kaya dan si miskin karena mereka sama-sama bisa merasakannya.
6.      Kepungan
Kepungan memiliki makna bahwa tidak ada strata sosial di antara warga. Baik itu warga yang memiliki jabatan maupun warga biasa yang bekerja sebagai buruh. Mereka menyantap makanan yang sama dan duduk sama rata dalam satu tempat yang kemudian menyantap sego tawon secara bersama-sama.

C.  Analisis Mengenai Budaya Kepungan Sego Tawon

Setelah memahami makna dan manfaat dari budaya kepungan sego tawon kita dapat melihat bahwa begitu banyak kebaikan yang terkandung di dalamnya. Jika disebutkan satu per satu maka adalah sebagai berikut:
1)      Mempererat persaudaraan antarwarga,
2)      Saling berbagi kebahagiaan,
3)      Menyatukan perbedaan status sosial warga,
4)      Menjalin keharmonisan antarwarga,
5)      Menjalin interaksi sosial yang baik,
6)      Melestarikan budaya bangsa sebagai perwujudan cinta tanah air,
7)      Mengajarkan kepada generasi muda untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dsb.
Namun, di samping manfaat yang disebutkan di atas, ada satu hal yang perlu digaris bawahi yaitu mengenai penggunaan larva tawon sebagai lauk utamanya. Hal tersebut tentu berseberangan dengan hukum mengenai larangan membunuh lebah. Memang yang digunakan itu sejatinya adalah sarang lebah, tapi yang menjadi perhatiannya adalah larva yang tentunya masih berada di dalamnya. Sangatlah jarang para warga pelestari budaya tersebut mau berepot-repot memisahkan larva dari sarangnya. Mereka pasti akan mengambil jalan pintas dengan memasak kesemuanya tanpa memikirkan risiko “halal haram”.
Dalam Al-quran dan sunnah memang tidak ada dalil qath’iy yang mengharamkan manusia memakan lebah (www.abisyakir.wordpress.com). Namun perlu diperhatikan dalam sebuah hadits yang berbunyi sebagai berikut:
“Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh empat hewan: semut, lebah, burung hud-hud, dan burung Shurad.” (HR. Abu Daud no. 5267, Ibnu Majah no. 3224 dan Ahmad 1:332. Syaikh Al Abani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari penjelasan hadits di atas dapat kita simpulkan bahwa membunuh saja diharamkan (dilarang) berarti kita diharamkan pula untuk memakannya. Meskipun dalam beberapa keadaan kita diberi keringanan seperti dalam keadaan darurat. Namun yang menjadi pertanyaan saat ini adalah “Apakah dalam prosesi budaya sego tawon itu berada dalam suatu kondisi darurat?”
Seharusnya kita menelaah terlebih dahulu mengenai sebuah budaya yang akan diciptakan. Baik dari segi kegiataannya yang masih sejalan dengan hukum islam maupun serpilan-serpilan budaya lain yang disisipkan di dalamnya. Hal tersebut harus benar-benar dikaji terlebih dahulu. Jika budaya yang melanggar syariat islam sudah mendarah daging di masyarakat maka sudah menjadi barang jadi masyarakat itu akan sukar untuk bisa meninggalkannya. Meskipun dengan alasan yang mendasar sekalipun.
Sangat disayangkan memang bahwa di dalam kebudayaan yang masih berkembang di daerah-daerah di Indonesia masih menganut paham nenek moyang, khususnya kejawen di daerah Jawa. Mereka masih menganggap bahwa ilmu nenek moyang mereka harus terus menerus dipertahankan meskipun sejatinya mereka tahu bahwa ada beberapa tradisi yang melanggar hukum Islam.
Tentu bukan salah mereka yang ingin melestarikan budaya, hanya saja kurangnya kesadaran mereka akan pentingnya melestarikan budaya dengan melihatnya pula dari sudut pandang Islam.



1 kepungan yaitu makan bersama dengan duduk melingkar kemudian tumpenag diletakkan di tengah-tengah.
2 glidig adalah sebutan bagi para warga yang membantu prosesi hajatan.

D.     Analisis Fungsi Foklor (William R Bascom)
            Fungsi foklor yang terdapat di dalam budaya kepungan sego tawon ada dua, yaitu:
1.      Sebagai sistem proyeksi, artinya budaya kepungan sego tawon hanya sebatas pada budaya turun temurun tanpa mengetahui asal muasal terjadinya kebudayaan tersebut.
2.      Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipenuhi, artinya budaya kepungan sego tawon hasur dilakukan supaya kewajiban untuk melaksanakannya gugur dan pelaksana dianggap telah mematuhi aturan. Sehingga apapun kegiatan yang dilaksanakan akan mendapat keberkahan atau kelancaran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...