Oleh: Yosi
Sulastri
Merdeka!
Merdeka!
Merdeka!
Itu ucapan mereka,
Sekerumunan semut
yang datang menggerumuti gula.
Gula ditebar tepat
di depan muka mereka.
Bersimpati kepada
pemerintah solah mereka menderita.
Iya, menderita
karena kepemimpinan seseorang “di sana”.
Katanya,
Turunkan si dia!
Turunkan si dia!
Turunkan si dia!
Lagi-lagi itu
ucapan mereka,
Semut-semut yang
berdatangan mendekati gula.
Janji manis dari
sosok gelap di belakang kamera,
Layar besar
berkaca namun tak tampak siapa dalangnya,
Iya, ialah ia yang
menebar gula kepada para rakyat yang sengsara.
Karena sejarah
politik hitam bangsanya.
Semut-semut itu
kini telah berbaris rapi.
Beradu lakon,
berisak tangis, dan memeras iba dengan membawa bayi.
Berjalan menyusuri
aspal panas siang hari.
Berbekal semangat
dengan manisnya gula yang akan mereka dapati.
Hingga sampailah
di depan gedung utama negeri ini.
Berorasi,
berargumentasi, bernegosiasi, dan memelas seakan pemerintah tak punya hati.
Berganti muka,
memeras air mata untuk menarik simpati.
Perhatian dari
seluruh penduduk bangsa ini.
Sayang bukan
beribu sayang.
Penyesalan yang
datangnya bukan di permulaan.
Si dia tak
diberhentikan,
Si dalang telah
menghilang,
Gula pun tak
kunjung mereka dapatkan,
Dan kini mereka
menderita karena kelaparan.
Bukan karena
perintah atau hanya sekadar setting-an.
Namun, mereka kini
memang benar sungguh kemalangan.
April 2017
Komentar
Posting Komentar