Revolusi Mental Bukan Re-polusi Mental
Oleh:
Yosi Sulastri
Mahasiswa
identik dengan pemuda. Pemuda senada dengan semangat yang membara. Jika pemuda
itu adalah seorang mahasiswa, maka hendaklah ia menjadi pengobar semangat di
manapun keberadaannya. Sering kali semangat mereka terkoar ke seluruh lingkup
kehidupan sosial. Melestarikan lingkungan, menjaga perdamaian, menguri-uri
kebudayaan, mengajak kebaikkan, namun tak jarang mereka melalaikan perintah
Tuhan.
Di
saat adzan telah berkumandang, mereka terlalu lalai dan terbuai oleh
kebersamaan yang mereka rasakan. Berbincang-bincang dalam sebuah perkumpulan
yang mendiskusikan sebuah kegiatan sosial. Namun, apakah mereka tidak
menyertakan Allah dalam pengambilan keputusan?
Terkadang
itu semua semakin ironis di saat seorang mahasiswa mengatakan untuk tetap
melanjutkan kegiatan dan menunda waktu solat hanya karena kepentingan dunia.
Yang pada akhirnya satu waktu solat terlewatkan tanpa ada rasa menyesal. Hingga
tumbuhlah suatu kebiasaan “lalai” yang melekat sehingga berlanjut dari waktu ke
waktu.
Tak
salah memang jika mahasiswa tersebut ingin berkontribusi nyata dalam kehidupan
di dunia. Memberi manfaat atas keberadaannya di suatu lingkungan yang
membutuhkan buah pikirannya. Namun, sekali lagi aku bertanya, apakah mereka
harus melalaikan perintah-Nya?
Mereka
terlalu takut bila waktu nyamannya tersita atau mungkin terkuras untuk
menunaikan kewajiban yangy sejatinya adalah kebutuhan kita. Padahal bukankah
Allah yang memberi mereka kenikmatan waktu sehingga mereka bisa berkumpul
bersama. Allah yang memberi mereka nikmat sehat sehingga mereka masih bisa
bicara. Allah –lah Sang Maha Pemberi atas segala apa yang ada di dunia.
Revolusi
bukan hanya sekedar semangat yang terlontar dari mulut-mulut mahasiswa di meja
diskusi. Melainkan semangat memperbaiki diri sendiri dengan meningkatkan
ketaqwaan kepada Sang Illahi. Mahasiswa tidak akan mampu memperbaiki keadaan
mental dalam lingkup besar jika
masing-masing dari setiap individu tersebut belum bisa menunaikan apa yang
diwajibkan Allah SWT.
Oleh
karena itu, marilah kita saling mengingatkan kepada siapapun di sekitar kita
untuk menyegerakan perintahnya. Terlebih bagi para mahasiswa yang disibukkan
waktu rapat hingga terlena. Marilah kita berkaca pada para umat Islam terdahulu
pada zaman Nabi Muhammad SAW. Ketika
Bilal mengumandangkan adzan, mereka tak segan untuk meninggalkan barang
dagangan dengan tanpa menyimpannya terlebih dahulu. Menyegerakan diri mengambil
air wudhu dan berbondong-bondong menuju masjid untuk solat berjamaah menunaikan
kewajiban mereka. Bukan Allah yang membutuhukan kita, namun kita
membutuhkan-Nya. Allah tidak membutuhkan solat kita, namun kita membutuhkannya
untuk berkomunikasi dengan-Nya.
NB: Di sini
saya tidak menyamaratakan semua mahasiswa “rapat” adalah demikian. Hanya saja
saya mengambil segelintir mahasiswa yang masih berperilaku demikian.
cie msh ngeblog, btw gimana kabarnya yos?
BalasHapusHehee, iseng aja Gus.
Hapusalhamdulillah baik, baik sekali..