Langsung ke konten utama

Refleksi Sastra dan Budaya: Bentuk, Nilai, dan Fungsi Kepungan Tumpeng Tawon dalam Masyarakat Desa Mangunweni

 Metu, manten, mati. Tiga hal itu menjadi trilogi dalam fase kehidupan yang dipercaya oleh masyarakat budaya Jawa. Pada masing-masing fase itu, ada beragam kebudayaan yang muncul. Nilai kemanusiaan dan ajining diri atau harga diri muncul dalam acara jagong bayen (syukuran kelahiran), jagong manten (resepsi pernikahan), dan layat (mengunjungi orang yang sedang mengalami musibah berupa kematian anggota keluarganya). Kehadiran seseorang di dalam tiga acara tersebut dianggap sebagai bentuk pengejawantahan konsep penjagaan martabat seseorang. Apabila tidak menghadirinya, orang tersebut akan dianggap tidak memiliki nilai kemanusiaan dan dianggap sebagai orang yang tidak memiliki harga diri lagi.

Konon masyarakat Jawa percaya bahwa puncak kesempurnaan hidup dan mengisi pengalaman hidup dengan penuh makna adalah dengan cara menikah. Postulat itu yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan dari simbol-simbol dalam budaya pernikahan yang sarat akan cerminan pandangan hidup dan nilai-nilai budaya Jawa.

Salah satu fase hidup yang memiliki realitas simbol di dalamnya adalah menikah. Wiwahan atau pernikahan dalam kehidupan Jawa memiliki prosesi yang panjang dan sarat akan simbol dalam memahami realitas kehidupan Jawa. Karena pernikahan dianggap sebagai klimaks dari fase hidup, pernikahan dilakukan dengan beberapa prosesi yang panjang.

Tradisi kepungan tumpeng tawon muncul dalam sebuah tata urutan pernikahan. Salah satu tahap yang dimaksud adalah ketika masang tarub, yakni proses menata kediaman calon pengantin dengan tarub (ditata ben katon murub). Makna dari masang tarub adalah sebagai penanda bahwa kediaman tersebut akan mengadakan hajatan sehingga masyarakat yang melihatnya dapat langsung mengetahui dengan jelas.

Proses masang tarub akan dibarengi dengan proses menyebarkan undangan kepada para kerabat atau calon tamu. Tuan rumah yang mengadakan hajatan pasti menginginkan acara yang akan diadakan dapat dihadiri oleh para tamu yang diundang dan dapat berkumpul dengan sanak saudara. Harapan tersebut dimanifestasikan dalam bentuk budaya kepungan tepung tawon yang menjadi kearifan tradisional di Desa Mangunweni, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen.

Tumpeng tawon yang dipakai ketika proses kepungan memiliki bentuk dan komposisi yang unik dan berbeda. Tumpeng dibuat dengan menanak nasi di di atas sebuah penanak (dandang) ditambahkan sarang tawon yang sudah diolah bersamaan dengan parutan kelapa, tempe, kangkung, ikan asin, dan diberi bumbu tradisional seperti jahe, ketumbar, santan, dan daun salam. Sarang tawon tersebut akan diletakkan di tengah-tengah nasi, yaitu di antara bagian dasar tumpeng dan pucuk tumpeng. Kemudian tuan rumah akan mengundang para tetangga serta sanak saudara yang akan membantu menyebarkan undangan untuk acara hajatan dilaksanakan.

Tradisi budaya kepungan tumpeng tawon muncul sebagai sebuah rangkaian yang dilaksanakan ketika akan mengadakan hajatan, khususnya pernikahan. Budaya tersebut tampak sebagai sebuah pemaksaan ketika melaksanakan tradisi.

Namun, ada keunikan tradisi kepungan tumpeng tawon yang terletak pada penggunaan bahan-bahan yang memanfaatkan sumber daya alam wilayah Desa Mangunweni yang berada di Kecamatan Ayah dengan kondisi geografis berupa rangkaian perbukitan karst. Kondisi geografis tersebut menghasilkan padi, sayur mayur, buah-buahan, palawija kayu hingga hasil tambang berupa andesit dan kapur. Selain itu, wilayah selatan Kecamatan Ayah langsung berbatasan dengan Samudera Hindia yang menjadikan produk olahan hasil boga bahari pun melimpah sekaligus menjadi bahan utama dari tumpeng tawon yang merupakan bagian dari tradisi Desa Mangunweni.

Sisi Pelaksanaan Tradisi Kepungan Tumpeng Tawon

Pelaksanaan tradisi kepungan tumpeng tawon di Desa Mangunweni berdasar pada mitos yang diyakini masyarakat setempat. Dengan adanya kepungan, warga meyakini bahwa orang-orang tersebut adalah orang yang diberkahi. Pihak yang sedang dimintai untuk menyebarkan undangan adalah orang yang mudah dikabulkan doanya.

Mereka akan diikuti oleh empat malaikat sekaligus; yaitu Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail. Keempat malaikat itu tak pernah tidur dan selalu melaporkan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang mereka ikuti. Kemudian, malaikat itu akan melihat dan melaporkan hamba Allah yang sedang mempunyai keinginan. Semua itu akan dilaporkan oleh malaikat-malaikat tersebut kepada Allah Swt. sehingga keiginan mereka akan terwujud melalui malaikat tersebut.

Oleh karena orang-orang yang mengirim undangan adalah orang berhikmah yang cepat dikabulkan doa dan keinginannya oleh Allah, sebelum berangkat mereka akan melakukan kepungan tumpeng tawon terlebih duhulu. Tumpeng tawon diletakkan di tengah-tengah mereka kemudian didoakan bersama-sama sembari menyebutkan harapan dan keinginan. Kemudian, lauk yang tersembunyi yang berada di dalam tumpeng akan dibuka dan diaduk sampai tercampur merata dengan nasi yang dianggap sebagai simbol kewarasan. Lauk tersebut terdiri dari sarang tawon dengan simbol harapan kebermanfaatan dan keguyubrukunan, santan kelapa sebagai simbol manfaat di hari tua, kangkung sebagai simbol keuletan dalam menggapai cita-cita, kelapa parut sebagai simbol keikhlasan sebagai seorang pemuda, ikan asin sebagai simbol menahan diri dari nafsu angkara, jahe sebagai simbol semangat dalam hal mental spiritual, dan daun salam sebagai simbol keselamatan dari Allah Swt.

Setelah itu, orang-orang tersebut akan duduk dan makan bersama nasi tumpeng tawon yang telah diaduk rata. Dengan begitu, orang-orang yang dianggap berhikmah tersebut akan turut mendoakan kelancaran, keselamatan, dan terpenuhinya undangan yang akan mereka kirimkan dengan para tamu yang menghadiri hajatan. Akhirnya, harapan-harapan tersebut bisa terwujud berkat doa yang dipanjatkan oleh orang-orang yang berhikmah tersebut atas izin Allah swt.

Tradisi kepungan tumpeng tawon di masyarakat Desa Mangunweni merupakan bentuk kearifan tradisional yang menjunjung nilai kekeluargaan, gotong royong, tenggang rasa antarsesama, mempererat persaudaraan antarwarga, menyatukan perbedaan status sosial warga, menjalin keharmonisan antarwarga, menjalin interaksi sosial yang baik, melestarikan budaya bangsa sebagai perwujudan cinta tanah air, dan menjaga persatuan dan kesatuan. Yang terpenting adalah bahwa prosesi kepungan juga semakin mempersempit kesenjangan di masyarakat setempat karena tak ada lagi yang dipandang tinggi sebab semuanya duduk sama rata.

Tradisi kepungan tumpeng tawon mengajarkan tentang betapa pentingnya kebersamaan dan kerukunan yang tecermin melalui proses pelaksanaannya. Tumpeng tawon menggambarkan tentang masyarakat komunal yang hidup dalam keberagaman mampu bersatu dan bersama-sama dalam melaksanakan sebuah kegiatan dalam rangka peringatan salah satu fase daur hidup manusia sehingga dapat terus berlanjut dan berkelanjutan.

Pelaksanaan tradisi kepungan tumpeng tawon telah menjadi bukti bahwa kehidupan di dalam masyarakat tidak bisa dilakukan seorang diri dan memiliki keterkaitan dengan alam juga dengan makhluk di sekelilingnya. Dengan adanya bantuan dari keluarga, tetangga, dan seluruh elemen masyarakat; tujuan yang hendak dicapai bisa terwujud dengan lebih mudah dan ringan. Meski pelaksanaan kepungan tumpeng tawon sebatas pada budaya turun temurun tanpa mengetahui asal muasal terjadinya kebudayaan tersebut, masyarakat masih memahami nilai-nilai dan harapan yang disimbolkan melalui properti maupun proses pelaksanaan kepungan tumpeng tawon. Nilai-nilai luhur dapat terbentuk melalui tradisi kepungan tumpeng tawon yang pada akhirnya bermuara pada harapan bersama, yakni terwujudnya masyarakat tanpa kesenjangan serta komunitas yang berkelanjutan.


Mari diskusikan bersama Diskusi #101 Senin, 15 Juli 2024 Soeltan Cafe and Eatery Jl. Sukun Raya, Bantul, D.I. Yogyakarta




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekokritik George Orwell pada 1930-an

  Ekokritik George Orwell pada 1930-an Coming Up for Air   George Bowling memilih kabur dan menghindar dari pekerjaannya; membohongi Hilda istrinya; menipu kedua anaknya dengan hadiah yang tidak pernah ada; mendatangi masa lalu yang sudah lenyap dibabat waktu. Novel Coming Up for Air mengisahkan Bowling malang dalam pelariannya di Lower Bienfield—kampung masa kecilnya. Bowling hidup dalam ketidakberterimaan atas kehidupan yang terjadi. Ia terjebak dalam masa lalu yang tak bermakna untuk nasibnya yang kini sudah 45 tahun. “Bisakah kita kembali ke kehidupan lama kita, ataukan semua itu tinggal kenangan?” (Orwell, 2021: 302) Pertanyaan tersebut yang mencoba dijawab oleh Bowling melalui kegiatan impulsifnya dari penatnya hidup ketika ramalan perang 1941 datang. Tokoh di dalam novel yang pertama terbit pada 1939 di New York itu melakukan “perjalanan” ke masa lalu melalui ingatan-ingatan yang masih hidup dalam kepalanya—perjalanan nostalgia. Bowling mengulang masa kecil...

Mengulik Konsep Homo Sacer pada Perang Spanyol

  Homage to Catalonia— George Orwell Kisah yang diceritakan dalam XII bab dalam novel Homage to Catalonia lebih mengarah pada proses pengamatan kondisi politik yang terjadi selama Perang Spanyol pada 1936–1939. Novel yang konon berangkat dari pengalaman Orwell ketika berangkat ke Spanyol untuk bertempur di pihak Republikan ini terasa amat berbeda dan “berat” untuk dibaca. Hampir keseluruhan isi novel bisa dicap sebagai hasil analisis Orwel mengenai konflik politik yang terjadi di Spanyol. Keunikan yang dimunculkan dalam novel yang Eric Arthur Blair ini adalah penulis sama sekali tidak menyebutkan siapa “aku” sepanjang cerita. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam bentuk manusia seakan hanya pemain sampingan yang tidak membangun jalannya cerita tetapi mendukung tokoh utama untuk berlangsungnya cerita. Ketika selesai membaca hingga Lampiran 2, tokoh yang diangkat dalam novel barulah terlihat.   Munculnya Biopolitik dalam Perang Spanyol Konflik yang dikembangkan dalam novel ...