Langsung ke konten utama

Ekokritik George Orwell pada 1930-an

 

Ekokritik George Orwell pada 1930-an
Coming Up for Air

 



George Bowling memilih kabur dan menghindar dari pekerjaannya; membohongi Hilda istrinya; menipu kedua anaknya dengan hadiah yang tidak pernah ada; mendatangi masa lalu yang sudah lenyap dibabat waktu. Novel Coming Up for Air mengisahkan Bowling malang dalam pelariannya di Lower Bienfield—kampung masa kecilnya. Bowling hidup dalam ketidakberterimaan atas kehidupan yang terjadi. Ia terjebak dalam masa lalu yang tak bermakna untuk nasibnya yang kini sudah 45 tahun.

“Bisakah kita kembali ke kehidupan lama kita, ataukan semua itu tinggal kenangan?”

(Orwell, 2021: 302)

Pertanyaan tersebut yang mencoba dijawab oleh Bowling melalui kegiatan impulsifnya dari penatnya hidup ketika ramalan perang 1941 datang. Tokoh di dalam novel yang pertama terbit pada 1939 di New York itu melakukan “perjalanan” ke masa lalu melalui ingatan-ingatan yang masih hidup dalam kepalanya—perjalanan nostalgia. Bowling mengulang masa kecilnya yang tinggal di Lower Binfield bersama orang tua dan saudara laki-lakinya. Masa kecilnya mirip dengan kisah di Petualangan Tom Sawyer karya Mark Twain. Bocah laki-laki dengan segerombol pasukan yang mendaku diri mereka sebagai geng “nakal”; melakukan kegiatan mengasyikkan dengan cara membolos sekolah dan memancing ikan di kolam sebuah rumah tua. Petualangan menyenangkan itu masih ada dalam ingatan Bowling.

Pada perjalanan pelariannya menuju masa kecil itu, muncul pula kenyataan yang mesti dihadapi oleh tokoh. Perbedaan yang kentara antara masa lalu dan masa kini membuat Bowling tak bisa menerima, kemudian merutuk apa yang terjadi. Semua itu berkaitan dengan Lower Binfield yang sudah tidak seperti dulu—belasan tahun yang lalu ketika Bowling kecil masih sibuk memancing di situ. Lower Binfield telah berubah menjadi kota urban yang dipenuhi dengan pabrik-pabrik dengan pusat industri dan perdagangan. Jalan setapak tak lagi ada, lapangan dengan rumput hijau telah sirna, kolam ikan tempat hidup banyak biota telah tertimbun sampah manusia; kota penuh kedamaian dengan udara segar hanya tinggal kenangan.

Pelarian Bowling telah gagal membawanya pada masa lalu penuh kedamaian. Upayanya untuk terlepas dari penatnya pekerjaan dan ramalan datangnya perang pada 1941 tak berbuah manis. Bowling semakin terjebak dalam pertanyaan, “Mengapa aku merisaukan masa depan dan masa lalu, padahal aku tahu masa depan dan masa lalu tidak bermakna?”

Penyesalan-penyesalan suami Hilda tersebut membawa pembaca pada imajinasi atas masa lalu yang penuh dengan udara segar. Nostalgia yang dikisahkan oleh Bowling mampu menjadi bentuk penyadaran akan pengaruh manusia terhadap alam. Konsep antroposentrisme[1] dan ekosentrisme[2] disampaikan secara eksplisit oleh George melalui kisah masa lalunya. Orwell di dalam Coming Up for Air menguraikan pengaruh industrialisme dan perang terhadap kondisi lingkungan dan alam. Manusia memiliki andil besar dalam melestarikan atau menghancurkan alam semesta. Kondisi pascaperang dan bertumbuhnya pabrik-pabrik berbanding lurus dengan hilangnya hutan-hutan dan musnahnya para hewan yang menghuninya. Hutan keramat para peri telah hilang berganti rumah sakit jiwa; kolam ikan tersembunyi telah berubah menjadi pembuangan sampah tak terurai, warga kota tak lagi melihat fenomena alam sebagai hal yang mesti diperhatikan. Uraian atas kondisi tersebut menjadikan novel Orwell ini menjadi sebuah sastra berisi kritik ekologi terhadap manusia.

Nostalgia Bowling dan Arah Kritik Ekologi Orwell

Sepanjang 314 halaman novel, Orwell menggunakan masa lalu Bowling sebagai alur pembangun cerita. Melalui beberapa sorot balik, Bowling membawa pembaca pada kondisi sebuah wilayah yang belum tersentuh industrialisasi dan dampak perang. Ada ikatan antara Bowling dengan alam. Ia melihatnya sebagai rumah dengan pandangan antroposentris bahwa dengan kembali ke alam dia bisa bertahan. Repons Bowling atas pertumbuhan industri sejalan dengan wacana ekologi yang ia miliki.

Ada tiga kritik ekologi Orwell yang saya lihat di dalam novel Coming Up for Air melalui tokoh Bowling. Pertama, deforestasi hutan. Kedua, pencemaran lingkungan (tanah dan sungai). Ketiga, musnahnya hewan-hewan endemik.

 “Kami melangkah ke sana. Mereka membiarkan beberapa pohon tetap berdiri untuk menutupinya. Namun, ya, benar. Itu memang kolamku. Mereka telah mengeringkan airnya. Yang tersisa hanyalah lubang besar, semacam sumur raksasa dengan kedalaman enam hingga sepuluh meter. Timbunan kaleng timah sudah mengisi separuhnya.” (2021; 291)

Novel karya Eric Arthur Blair yang terbit pertama kali pada 1939 oleh Penguin Books ini mampu memberikan kesadaran bersama tentang krisis kemanusian yang terjadi saat ini. Manusia menghadapi krisis akan eksistensi dirinya di alam semesta. Semua tindakan yang dilakukan memengaruhi keberlanjutan manusia dan sesamanya. Pemahaman bahwa setiap hal saling terhubung (connectedness) mesti digaungkan. Orwell tak sekadar membangun upaya menyadarkan individu. Lebih dari itu. Melalui Coming Up for Air, Orwell memberi kritik universal bahwa kebijakan politik turut memengaruhi musnahnya spesies di bumi. Peperangan dan kapitalisme menjadi pemicu kerusakan lingkungan. Demi mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan (sustaineble), bagian dari pentahelix dalam setiap negara bangsa perlu disadarkan.

Lantas, haruskah kita terjebak dalam kenangan masa lalu penuh kesejukan seperti Bowling? Apakah sudah saatnya kita menyadari bahwa manusia telah krisis kesadaran ekosentris? Dapatkah kita mengembalikan hutan yang telah beralih fungsi, hewan-hewan yang telah punah, dan lingkungan yang tercemar?

Mari diskusikan bersama

Diskusi #94

Senin, 20 Mei 2024

Soeltan Cafe and Eatery

Jl. Sukun Raya, Bantul, D.I. Yogyakarta

 


Sumber referensi:

Orwell, George. 2021. Coming Up for Air. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Yogyakarta, 18 Mei 2024

 

 

 



[1] Pemahaman bahwa manusia adalah pusat alam semesta.

[2] Pemahaman bahwa lingkungan adalah pusat alam semesta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...