Homage to Catalonia—George Orwell
Kisah yang diceritakan dalam XII bab dalam novel Homage to Catalonia lebih mengarah pada proses pengamatan kondisi politik yang terjadi selama Perang Spanyol pada 1936–1939. Novel yang konon berangkat dari pengalaman Orwell ketika berangkat ke Spanyol untuk bertempur di pihak Republikan ini terasa amat berbeda dan “berat” untuk dibaca. Hampir keseluruhan isi novel bisa dicap sebagai hasil analisis Orwel mengenai konflik politik yang terjadi di Spanyol.
Keunikan yang dimunculkan dalam novel yang Eric Arthur Blair ini adalah penulis sama sekali tidak menyebutkan siapa “aku” sepanjang cerita. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam bentuk manusia seakan hanya pemain sampingan yang tidak membangun jalannya cerita tetapi mendukung tokoh utama untuk berlangsungnya cerita. Ketika selesai membaca hingga Lampiran 2, tokoh yang diangkat dalam novel barulah terlihat.
Munculnya Biopolitik dalam Perang Spanyol
Konflik yang dikembangkan dalam novel setebal 316 halaman ini bermuara pada konflik partai-partai di wilayah Spanyol. Orwell menyebutkan bahwa ada tiga partai penting dan berpengaruh dalam pecahnya Perang Sipil di wilayah Aragon, Huesca, Barcelona, Saragossa; yakni PSUC[1], POUM[2], dan CNT-FAI[3]—yang secara bebas dapat dikatakan sebagai kelompok Anarkis.
Tokoh “Aku” di dalam novel masuk dalam POUM dan menjadi milisi di garis depan untuk melawan kelompok Fasis yang pada 1936 menjadi musuh bersama partai-partai buruh di Spanyol. Gambaran peristiwa itu menjadi pembuka bagi pembaca mengenai kondisi Sapanyol pada awal meletusnya perang sipil.
Ketidaknyamanan yang dialami oleh tokoh Aku banyak tergambarkan dalam narasi-narasi yang menjelaskan kondisi para milisi di parit-parit yang menjadi arena perang. Dingin yang mencekam, tanah berlumpur, kotoran berserakan, air minum yang keruh, hewan pengerat berkeliaran, tak ada penerangan, persenjataan yang kekurangan. Tak hanya itu, sebagai seorang Inggris yang baru tiba di Eropa, Aku pun merasakan keterkejutan dalam hal budaya orang-orang yang ditemuinya. Pada posisi perang misalnya, Aku kerap mendapati anggota milisi yang “bodoh”. Hal itu kemudian dimaklumi bahwa anggota milisi memang hanya dicomot dari sembarang orang yang memang sudah dianggap cukup untuk bertempur. Akan tetapi, pada praktiknya justru yang terjadi adalah ketidaksesuaian dengan kebutuhan di garis depan.
Anggota milisi yang bergabung dalam Divisi Ke-29 adalah sekelompok “anak-anak” dalam konsep rentang usia. Anggota milisi memang masih dalam usia belasan, belum mencapai kepala dua. Rata-rata mereka adalah anak laki-laki yang sengaja dikirim oleh keluarganya untuk menjadi anggota milisi. Tujuannya supaya dapat memperingan kebutuhan ekonomi keluarga di tengah himpitan perang membuat kebutuhan pokok semakin mahal dan langka.
Kondisi yang diceritakan Orwell pada awal kisahnya itu mengingatkan saya pada konsep biopolitik yang diuraikan oleh Giorgio Agamben di dalam bukunya Homo Sacer. Gagasan Agamben mengamini bahwa penguasa tertinggi dalam biopolitik modern adalah ia yang memutuskan kehidupan sebagaimana adanya.
Pertarungan politik terjadi antara CNT-FAI, POUM, dan satu seksi Sosialis, mendukung kekuasaan para pekerja; dengan Sosialis sayap Kanan, Liberal, dan Komunis, mendukung pemerintahan terpusat dan tentara yang dimiliterisasi. Konflik dua kelompok itu mengambil pengaruh besar pada taraf kehidupan orang-orang yang ada di sekitar daerah konflik, meliputi Aragon, Tarragona, Huesca, Saragosa, Barcelona, Cataluna. Menurut pendekatan konsep Homo Sacer, dalam sebuah konteks yang di dalamnya politik telah berubah menjadi biopolitik dan, di dalam konteks itu, persoalan nyata satu-satunya yang harus dipastikan adalah bentuk organisasi manakah yang cocok untuk menjalankan tugas memastikan diurus, dikontrol, dan dimanfaatkannya kehidupan telanjang (Homo sacer). Begitu referen fundamentalnya adalah kehidupan telanjang, maka pembedaan politik tradisional tidak lagi jelas dan tiak lagi bisa dipahami. Dan, pembedaan itu masuk ke dalam suatu zona indistingsi—pembedaan tradisional itu, misalnya, antara sayap kanan dan sayap kiri, antara liberalisme dan totalitarianisme, antara yang privat dan yang publik. Di situ jugalah akar dari lahirnya kembali beberapa bentuk baru fasisme di Eropa.
Adakah Hidup yang Tak Pantas untuk Hidup?
Termin kedua dalam perjalanan Aku di dalam Homage to Catalonia dimulai ketika cedera akibat tembakan pada pertempuran Mei di Barcelona pecah. Pada masa itu, POUM yang sebelumnya masih dalam kondisi aman dalam ranah politik, tetiba muncul tuduhan-tuduhan miring yang dialamatkan pada POUM.
Keanehan taktik Komunis adalah mereka menegaskan bahwa POUM memecah belah pasukan Pemerintah bukan karena keputusan yang buruk, tapi karena sengaja melakukannya. POUM dianggap tak lebih dari gerombolan fasis yang menyamar, bekerja untuk Franco dan Hitler, yang mendesakkan kebijakan revolusionel palsu sebagai cara untuk mendukung tujuan kelompok fasis.
Pada saat itulah tokoh Aku memutuskan untuk lebih baik keluar dari semua partai politik yang ada di Spanyol dan tidak bergabung sama sekali. Demi bisa “melepaskan” diri dari milisi POUM dan kembali ke Inggris, ada jalan panjang yang mesti ditempuh. Salah satunya adalah mendapatkan sertifikat “tidak berguna” dari seorang dokter yang menyatakan bahwa ia sudah cedera dan tidak bisa lagi bermanfaat bagi milisi. Ketidakbergunaan seorang manusia pada masa perang diukur pada taraf apakah ia masih sehat secara fisik dan rohani untuk bisa maju ke garis depan.
Apa yang terjadi pada tokoh Aku menjadi cerminan konsep hidup yang tidak pantas hidup dalam biopolitik kehidupan telanjang (Homo sacer). Kehidupan manusia pada masa perang dianggap memiliki arti jika masih memberi makna dan membawa manfaat bagi rakyat. Jika sudah cedera, cacat fisik atau mental, dicap sampah masyarakat; akan memunculkan suatu skema “penampungan” baru dalam kehidupan biopolitik seorang manusia. Gambaran yang coba untuk ditampilkan di dalam novel Homage to Catalonia adalah pemenjaraan orang-orang yang terlibat dalam organisasi POUM yang padahal sebelumnya belum dianggap sebagai organisasi terlarang karena masih menjadi bagian dari milisi perang. Selain itu, bentuk penampungan orang-orang “sakit” pada masa Perang Spanyol yang ditulis Orwell juga menunjukkan kesamaan dengan apa yang diungkapkan oleh Agamben mengenai sebuah kamp konsentrasi.
Namun, pada simpulan dari kisah Orwell ketika Perang Spanyol dan penjabaran Agamben tentang konsep Homo sacer; hal yang saya petik adalah bahwa kekuasaan tertinggi pada masing-masing kehidupan terletak pada pemilik kehidupan. Kondisi politik dalam ranah negara-bangsa memang memengaruhi, tetapi untuk menjadikannya sebagai pemegang kuasa tertinggi atas hidup setiap individu sepatutnya itu tidak boleh terjadi. Negara-bangsa mesti sepakat pada konsesi-konsesi bahwa semua manusia memiliki hak untuk hidup. Dalam ranah Islam, bukankan semua manusia adalah sama di mata Tuhan? Bukankah yang membedakan kemuliaan antara manusia satu dengan manusia lain adalah ketakwaannya dalam hal beribadah kepada Tuhan yang tidak bisa diukur oleh manusia (Q.S. Al-Hujurat: 13)?
Bagaimana manusia memaknai pemegang kekuasaan tertinggi pada kehidupannya saat ini?
Mari diskusikan bersama pada
Diskusi #87 @klubbukumain2
Senin, 04 Maret 2024
Daftar referensi
Orwell, George. 2023. Homage to Catalonia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Agamben, Giorgio. 2020. Homo Sacer. Yogyakarta: Ircisod.
[1] PSUC (Partido Socialista Unificado de Cataluna) adalah Partai Sosialis Catalonia.
[2] POUM (Partido Obrero de Unificacion Marxista) merupakah salah satu partai Komunis pembangkang yang muncul di banyak negara dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat penolakan terhadap Stalinisme.
[3] CNT (Confederacion Ncional del Trabajo), dengan sekitar dua juta anggota secara keseluruhan, dan sebagai organ politiknya memiliki FAI (Federacion Anarquista Iberica)
Komentar
Posting Komentar