Langsung ke konten utama

Wacana Ekosofi, Air, dan Iklim dalam Novel Yang Telah Lama Pergi

 Wacana Ekosofi, Air, dan Iklim dalam Novel Yang Telah Lama Pergi



Kearifan penggunaan teknologi pengantar pesan dengan kecerdasan sistem navigasi burung, pengetahuan tentang desalinasi air laut menjadi air tawar, dan krisis kemanusiaan (paceklik) yang disebabkan konsesi hutan menjadi lahan industri perkebunan; ketiga topik itu benar-benar nyata dalam realitas novel. Karya sastra yang saya maksud adalah sebuah novel terbaru karya Tere Liye, Yang Telah Lama Pergi.

Wacana itu tak serta-merta menjadi tema yang membangun cerita. Sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Center for Transdisciplinary and Sustainable Scienses yang saya ikuti pada awal Desember menginisiasi saya untuk melihat karya sastra melalui tiga sudut pandang, yaitu wacana ekosofi, air, dan iklim. Demi bisa mencapai pada tiga topik itu, pendekatan strukturalisme dengan melihat karya sastra melalui unsur-unsur internal pembangun karya sastra dapat menjadi jalan yang dipakai. Unsur-unsur tersebut biasa disebut dengan unsur intrinsik, yaitu tema, tokoh, latar, alur, sudut pandang, gaya bahasa, amanat, dan lain-lain.

Pertama, tema yang diangkat dalam novel yang terbit pada 2023 ini adalah pembalasan dendam. Tokoh-tokoh yang terbangun di dalam cerita memiliki kesamaan dalam hal upaya menuntaskan dendam masa lampau atas meninggalnya saudara, ibu, ayah, suami, istri, anak, dan kawan-kawan mereka karena kepemimpinan Paduka Srirama di Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13.

Kedua, tokoh yang muncul dalam novel ini terdiri dari tokoh-tokoh utama yaitu Remasut (Raja Perompak), Al Mas’ud Al Baghdadi, Pembayun, Emishi, Biksu Tsing, dan Paduka Srirama. Lima tokoh pertama yang disebut merupakan tokoh utama protagonis di bawah pimpinan Raja Perompak, sedangkan tokoh keenam yang disebutkan merupakan tokoh antagonis yang menjadi musuh bersama. Selain keenam tokoh tersebut, tokoh-tokoh lain yang muncul dan berpengaruh besar di dalam novel adalah Hulubalang Kedua (Si Panah Cepat), Hulubalang Ketiga (Remisit—sepupu Raja Perompak), Tetua Suku Visayan dan Lambri, Malhotra, Ajwad (koki), Laksamana Tinggi Utara, Adipati Panai, Pendekar Khan, Masiku (Buronan 1000 Wajah), Paduka Srirama Palsu, Biksu Tsang (Kepala Biksu Kerajaan Sriwijaya), dan Luh-Hut (Perdana Menteri).

Ketiga, penggambaran latar pada keseluruhan novel Yang Telah Lama Pergi sungguh kompleks dan rumit. Latar tempat yang dipakai dalam cerita menampilkan banyak lokasi,

seperti Selat Malaka, Baghdad, Pulau Terapung (Markas Raja Perompak), kapal dagang, Pelabuhan Kaesong, Pelabuhan Indrapura (Champa), Kota Panai, Pulau Lantau (Hong Kong), Sungai Batanghari, Jambi, Daratan Cina (Dinasti Song vs Mongol), dan Swarnadwipa (Sumatra). Daerah-daerah yang disebutkan itu merupakan latar tempat yang dipilih penulis. Pada masing-masing latar tempat itu, penulis memecahnya kembali pada tempat-tempat yang lebih spesifik dan rinci.

Latar waktu pun demikian. Penulis memberikan penggambaran yang rinci pada setiap penggambaran cerita. Dengan mengambil latar belakang sejarah Nusantara pada abad ke-13 Masehi, penulis memberikan penggambaran latar waktu yang cukup asing tetapi menarik pembaca. Masa tahun yang tertulis jelas pada novel adalah 1245. Secara spesifik, latar waktu yang muncul di dalam novel misalnya waktu sore hari ketika penyerangan armada barat dan selatan, pagi-siang-sore-malam ketika pertempuran selat dengan armada utara, kemudian sepanjang malam pada penelusuran Sungai Batanghari, lalu pagi hari ketika pertempuran di Jambi.

Kemudian, latar suasana pada novel setebal 444 halaman ini pun kaya dengan beragam kondisi dan emosi. Mencekam, riuh, gaduh, hening, lucu, duka, riang, tegang. Penulis membawa cerita pada dinamika latar suasana yang berbeda pada masing-masing tokoh, fase cerita, dan konflik yang terbangun.

Keempat, alur cerita yang berjalan merupakan campuran. Pada bab awal, cerita berjalan dengan alur maju. Tak lama kemudian, cerita berjalan mundur menceritakan tokoh utama. Lalu pada perjalanan kisah, beberapa tokoh pun mengulang kisah di masa lampau dengan menggunakan alur mundur. Alur yang tampil dalam novel ini terbagi dalam enam tahap, yaitu pertempuran dengan armada utara, penyerbuan Kota Panai, pertempuran selat dengan armada timur, pengepungan Sungai Batanghari, pertempuran badai dengan armada barat dan armada selatan, dan diakhiri dengan penyerbuan istana Kerajaan Sriwijaya.

Kelima, sudut pandang yang dipakai sepanjang novel adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu. Kisah-kisah yang dituturkan oleh tokoh memiliki tipe sebagai pencerita, bukan si pemilik cerita. Misalnya, kisah perjalanan hidup Remasut lebih banyak diceritakan dengan menyorot balik melalui kisah yang dituturkan oleh tokoh lain yaitu Pembayun. Pembaca seperti diajak mendengarkan kisah Remasut melalui Pembayun yang sebenarnya sedang bercerita kepada Mas’ud. Pola tersebut terulang beberapa kali ketika sedang dalam alur sorot balik.

Keenam, gaya bahasa Tere Liye tampak khas dengan keunikan penulis. Bagi pembaca yang sudah menikmati karya-karya Tere Liye yang sebelumnya pasti bisa menemukan pola kesamaan gaya bahasanya. Tere Liye menggunakan pola penulisan dengan kalimat-kalimat yang singkat sehingga tidak membuat cepat lelah pembacanya. Kemudian, pada novel Yang Telah Lama Pergi dimunculkan beberapa kiasan, idiom, dan peribahasa.

Ekosofi, Air, dan Iklim

Unsur intrinsik ketujuh yang dibahas adalah amanat atau pesan moral yang terkandung dalam sebuah cerita. Prinsip karya sastra yang bersifat menghibur dan berguna (dulce et utile) memungkinkan adanya nilai-nilai moral yang bisa diambil oleh pembaca. Ada penulis yang menyuratkan pesan moral tersebut, tetapi ada pula penulis yang hanya menyiratkan dalam kisah-kisahnya.

Pertama, wacana ekosofi terasa kental dimunculkan meski sebenarnya novel ini bisa disebut sebagai novel sejarah. Ekosofi adalah sebuah kebijaksanaan yang mengandung pemahaman bahwa alam dan seluruh makhluk saling terhubung (Febriyanti, 2023). Wacana ekosofi dapat pula disebut sebagai cara pandang penuh kebijaksanaan yang menempatkan lingkungan sebagai satu unsur yang memengaruhi kehidupan manusia.

Beberapa wacana ekosofi yang dapat dilihat dalam novel yaitu tentang teknologi pengirim pesan dengan memanfaatkan kecerdasan burung merpati. Komunikasi tersebut memang menjadi cikal bakal teknologi pengirim pesan yang diciptakan oleh manusia. Akan tetapi, ada hal lahiriah dalam tubuh burung merpati yang juga tak bisa dikesampingkan.

Kemampuan seekor burung dalam menentukan titik penerima pesan bagi saya sulit untuk dijelaskan. Meski begitu, ada sebuah penjelasan yang dapat saya terima tentang kemampuan burung tersebut. Prof. Husin Alatas seorang guru besar teori fisika dari Institut Pertanian Bogor mengenalkan saya pada sebuah teori fisika kuantum. Pendekatan itu memiliki kaitan dengan sistem navigasi yang dimiliki oleh burung—apalagi burung-burung dengan karakteristik migrasi jarak jauh (Alatas, 2021). Bahkan, teknologi yang dipunyai oleh kawanan burung itu menginisiasi sebuah teknologi algoritma dalam sistem multi-agent, yaitu particle swarm optimization (PSO) (Hardhienata, 2022).

PSO merupakah salah satu teknik optimasi yang terinspirasi dari burung-burung kemudian diterapkan dalam sebuah sistem untuk membantu sekelompok agen menentukan target dalam ruang pencarian. Saya tidak akan menjelaskan secara detail mengenai hal

tersebut. Hal yang ingin saya pertegas di sini adalah bahwa lingkungan menjadi aspek yang penting untuk senantiasa diperhatikan dan dipelihara. Keyakinan bahwa manusia memiliki hubungan dengan lingkungan perlu senantiasa diingat.

Kedua, air menjadi unsur yang mendominasi tubuh manusia. Teknologi pengolahan air layak minum menjadi hal yang penting untuk memenuhi kebutuhan hidrasi. Begitu pula teknologi desalinasi air, yaitu proses pengubahan air laut (asin) menjadi air tawar yang layak minum. Meski tidak dijelaskan secara detail dalam novel, proses desalinasi air tampak sudah diterapkan di Pulau Terapung. Pulau tersebut dapat divisualisasikan seperti pulau-pulau kecil di Indonesia yang jauh dari daratan lain dengan sumber air tawar yang terbatas. Para penduduknya perlu mengubah air laut melalui proses desalinasi supaya layak konsumsi. Proses itu menjadi salah satu hal detail kecil yang dimunculkan oleh Tere Liye.

Air menjadi unsur yang memiliki nilai penting bagi kehidupan. Ketika sumber air terjaga, manusia pun akan bisa hidup lebih sejahtera. Rantai peristiwa itu dapat pula dilihat pada nilai moral ketiga yang berkaitan dengan iklim.

Ketiga, iklim merupakan nilai moral yang dapat diambil dari novel Yang Telah Lama Pergi. Krisis iklim menekankan pada pandangan antropogenik yang memandang bahwa tingkah laku manusia menjadi pemegang utama fenomena alam dan sosial. Pandangan itu tidak sepenuhnya keliru, manusia memang terbukti menjadi pemicu dan biang keladi paceklik yang dialami oleh rakyat Kerajaan Sriwijaya di Swarnadwipa pada masa kepemimpinan Paduka Srirama. Bagaimana paceklik bisa berakar pada tingkah laku manusia?

Paceklik sepanjang tujuh tahun yang diderita oleh penduduk terjadi karena mahalnya harga beras, bahan bakar, dan kebutuhan pokok penduduk. Harga komoditas yang mengalami kenaikan harga disebabkan langkanya pasokan di tingkat penjual. Kelangkaan barang tersebut terjadi karena pertanian yang gagal panen. Faktornya beragam, yaitu banjir yang menghancurkan lahan pertanian, kekeringan di musim kemarau, serta kerusakan saluran irigasi dan daerah aliran sungai (DAS) . Kondisi itu disebabkan oleh pengalihfungsian hutan daerah resapan air menjadi industri perkebunan yang dikuasai oleh elite Kerajaan Sriwijaya di bawah kepemimpinan Perdana Menteri dan Paduka Srirama serta pemerintahan yang penuh korup di dalamnya.

Namun, penduduk tidak mengetahui fakta itu. Alih-alih menyampaikan kepada rakyat bahwa elite Kerajaan mengubah fungsi alami hutan, mereka justru mengeklaim bahwa

pertanian rakyatlah yang menjadi pemicu kerusakan alam terjadi. Dengan tetap mengikuti titah raja, dengan tetap tabah membeli harga kebutuhan pokok yang sengaja dimainkan oleh pedagang besar, dengan tetap membayar upeti, dengan tetap diam terhadap kepemimpinan Paduka Srirama; rakyat Kerajaan Sriwijaya menjalani masa-masa paceklik yang berkepanjangan.

Upaya menyadarkan rakyat itu ditumbuhkan melalui rencana penurunan Paduka Srirama hingga ke akar-akarnya oleh Raja Perompak dan kelompoknya. Sebab, bukan saja Paduka Srirama yang mengepalai Kerajaan Sriwijaya, melainkan perdana menteri, para laksamana, biksu, hingga seluruh elite kerajaan memegang kuasa pada perekonomian kerajaan. Semua kalangan pemerintahan merupakan dinasti penuh korupsi, suap-menyuap, nepotisme, hingga kolusi. Fakta-fakta itu terungkap satu demi satu dalam novel sebanyak 36 bab ini.

Krisis Iklim sebagai Pemicu Peristiwa Sosial-Politik

Serangkaian peristiwa geopolitik yang terjadi di Kerajaan Sriwijaya berakar pada kerusakan manusia. Manusia rakus pada emas dan perak sehingga meneken konsesi hutan menjadi komoditas ekspor pada sektor perdagangan yang dibutuhkan bangsa-bangsa lain. Akibatnya berbuntut pada penderitaan rakyat dan munculnya konflik sosial.

Krisis iklim yang dimunculkan di dalam novel persis seperti yang dijelaskan oleh Valiant (2023) bahwa lingkungan-air-iklim sangat memengaruhi kehidupan sosial-politik. Beberapa peristiwa sosial-politik yang terdapat di dalam novel Yang Telah Lama Pergi dipengaruhi kesulitan ekonomi yang bersumber pada variabilitas keikliman. Hal itu tampak dan dirasakan pertama kali oleh manusia melalui air. Daur air dan interaksinya dengan manusia mengakibatkan dua hal utama, yaitu 1) variasi pada pola spasial-temporal ketersediaan sumber daya air bervariasi. 2) Dampak ekstrem yang berhubungan dengan air memengaruhi kehidupan, pembangunan, dan keberlanjutan ekosistem, masyarakat, dan individu.

Tiga nilai moral yang dapat ditangkap tersebut menjadi pengingat tegas pada manusia mengenai krisis iklim. Sense of crysis perlu ditingkatkan pada tiga aspek manusia modern, yaitu kebijakan pemerintah, intervensi lembaga masyarakat, dan kesadaran bersama. Harapan itu semoga bisa terwujud melalui World Water Forum 10th yang akan terselenggara di Indonesia pada April 2024 mendatang.

Judul Novel : Yang Telah Lama Pergi

Penulis : Tere Liye

Tahun Terbit : 2023

Penerbit : PT Sabak Grip Nusantara

Jumlah halaman : 444 halaman

ISBN : 978-623-88296-0-6

Daftar referensi:

Alatas, Husin. 2021. “Quantum Entanglement & Possible Explanation of Bird Migration”. The 13th Transdisciplinary Tea Talk. Bogor: Center for Transdisciplinary & Sustainability Sciences (CTSS).

Febriyanti, Lisa. 2023. “Mencari Makna: Astronomi Tradisi, Budaya, dan Kelestarian Alam”. 13th ADReF - Afternoon Discussion on Redesigning the Future. Bogor: Center for Transdisciplinary & Sustainability Sciences (CTSS).

Hardhienata, Medria Kusuma Dewi. 2022. “Pengenalan Algoritme Particle Swarm Optimization serta Implementasinya dalam Sistem Multi-Agent”. The 11th Graduate School Sustainability Seminar. Bogor: Center for Transdisciplinary & Sustainability Sciences (CTSS).

Liye, Tere. 2023. Yang Telah Lama Pergi. Depok: PT Sabak Grip Nusantara.

Valiant, Raymond. 2023. “Air, Iklim dan Kemanusiaan: Tantangan Menciptakan Kesejahteraan Bersama”. 22th Transdisciplinary Tea Talk. Bogor: Center for Transdisciplinary & Sustainability Sciences (CTSS).

Yosi Sulastri

Diskusi #80 klubbukumain2

Senin, 08 Januari 2024


Pertama kali terbit di persmaporos.com

https://persmaporos.com/wacana-ekosofi-air-dan-iklim-dalam-novel-yang-telah-lama-pergi/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...