Langsung ke konten utama

Spirit, Momen, dan Milieu dalam Burmese Days—George Orwell

 

Spirit, Momen, dan Milieu dalam Burmese Days—George Orwell


Ada beragam cara pandang untuk melihat dan membahas karya sastra. Saya merasa sulit ketika harus menentukan melihat Burmese Days menggunakan perspektif yang mana. Apakah saya hanya melihat Burmese Days secara objektif dengan mengapresiasi keindahan gaya bahasa Orwell dalam menggambarkan latar suasana yang dipenuhi dengan tanaman dan bunga-bunga? Atau secara ekspresif dengan menceritakan kisah inspiratif Orwell dalam proses menulis Burmese Days? Atau secara mimetik dengan membandingkan kondisi sosial Burma di dalam novel dengan Burma dalam realitas sosial? Atau secara pragmatik dengan melihat nilai moral dari Burmese Days dan relevansinya dengan masa kini?

Mengulas Burmese Days ternyata lebih sulit daripada “perjuangan” ketika saya membaca novel pertama Eric Arthur Blair ini. Karena banyaknya hal menarik yang bisa disampaikan dan diungkap, pembahasan kali ini akan dibatasi pada munculnya disorganisasi tokoh yang dapat dilihat dengan konsep yang disampaikan oleh Hippolyte Taine, yaitu ras (spirit), momen, dan milieu.

Spirit, Momen, dan Milieu

Secara singkat, spirit dapat diartikan sebagai karakter kebangsaan yang mewujud dalam tokoh di dalam karya sastra. Kemudian, momen adalah semangat zaman yang tergambarkan melalui rangkaian peristiwa yang dimunculkan. Lalu, milieu merupakan lingkungan yang dimunculkan di dalam karya sastra (Sujarwa: 2018).

Tiga konsep Taine tersebut dapat memudahkan kita untuk melihat disorganisasi tokoh yang ada di dalam novel Burmese Days. Spirit muncul dalam upaya mempertahankan “kesucian” Klub yang beranggotakan pukka sahib (orang-orang kulit putih yang dihormati atau perfect gentlemen) tanpa masuknya anggota yang berasal dari golongan penduduk lokal Burma (Oriental).  Momen yang dimunculkan adalah pada masa imperialisme Inggris Raya pada abad 20 (ketika Inggris sudah 150 tahun di India), yaitu pada tahun 1920-an. Milieu di dalam Burmese Days disimbolkan pada sebuah nama distrik Kyauktada di Burma Atas.

Orwell membuat daerah fiktif sebagai milieu yang dimunculkan. Burma di dalam novel Burmese Days karya George Orwell tidak seperti Burma saat ini (Myanmar). Latar waktu dan tempat yang diceritakan di dalam novel setebal 408 halaman ini mengambil latar di Kyauktada, Burma Atas pada masa imperialisme Inggris Raya. Eric Arthur Blair menceritakan kisah hidupnya ketika menjadi polisi di Burma pada 1922–1927. Ini adalah novel pertamanyayang berisi 25 babyang menggambarkan kondisi Burma pada 1920-an ketika Inggris menguasai India.

Tokoh-tokoh utama di dalam novel ini terdiri dari Flory pedagang kayu, U Po Kyin Magistrat Wilayah, Dr. Veraswami, Elizabeth Lackersteen. Ada pula tokoh-tokoh lain seperti Mr. Macgregor Deputi Komisioner, Mr. Westfield Kepala Polisi Distrik, Mr. Lackersteen (Tom) Manajer Perusahaan Kayu, Mrs. Lackersteen, Ma Hla May, Ko S’La, Ellis Manajer Lokal Perusahaan, Maxwell Pejabat Divisi Hutan.

Istilah yang dipakai oleh Orwell untuk menyebut orang-orang Eropa atau Anglo-India di dalam Burmese Days adalah pukka sahib (perfect gentlemen) yang merupakan gambaran orang-orang berkulit putih. John Flory laki-laki berusia 35 tahun yang sudah 15 tahun tinggal di Burma dan bekerja di perusahaan kayu adalah tokoh yang Bolshie[1] menurut penilaian anggota Klub Eropa. Ia mengalami konflik batin yang mengarah pada ambivalensi. Ia menentang bahwa golongan imperialisme Inggris bisa menindas orang-orang yang dijajahnya. Flory satu-satunya anggota Klub yang berinteraksi dan berteman dengan golongan lokal Oriental (nigger[2]- sebutan kasar yang sering diucapkan Ellies).

Meski Flory masih bergabung dengan Klub Eropa, Flory merasa sudah tidak bisa selaras dengan orang-orang di dalam Klub. Pada 1920-an itu muncul imbauan dari Inggris Raya melalui Mr. Macgregor (Deputi Komisioner dan Sekretaris Klub) bahwa klub-klub yang ada di negara jajahan harus mengandung keterwakilan penduduk lokal. Klub Eropa Kyauktada adalah satu-satunya klub yang belum berisi anggota dari penduduk Oriental. Aturan tersebut yang menjadi konflik internal di dalam Klub dan merambah pada konflik wilayah di Kyauktada hingga berujung pada pelbagai intrik.

Premis itulah yang menjadi benang merah dari novel Burmese Days sejak bab pertama yang dibuka dengan U Po Kyin si “buaya berwujud manusia” dan bab terakhir yang diakhiri dengan tragedi. Isu bahwa Klub akan memasukkan pendudukan lokal sudah terdengar oleh para petinggi wilayah Kyauktada. U Po Kyin adalah magistrat wilayah Kyauktada yang memiliki hasrat untuk bisa bergabung menjadi anggota Klub. Bermacam cara ditempuhnya, apalagi ketika mendengar Dr. Veraswami memiliki kedekatan dengan salah satu anggota Klub—yaitu Flory—dan berpotensi menjadi anggota Klub Eropa pertama yang berasal dari Oriental. Demi mewujudkan hasrat berkuasanya tersebut, U Po Kyin rela dan tega untuk menghabisi nyawa sesamanya—penduduk Burma—dengan berbagai konflik pengkhianatan dan anti-imperialisme yang ia ciptakan.

Disorganisasi Tokoh

Nilai prestise dari sebuah Klub di negara jajahan sama tingginya dengan ungkapan bahwa “saya tidak tersentuh oleh siapa pun”. Bangsa kulit putih masih memiliki prestise bahwa ia memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Hal itu berarti pula bahwa siapa pun yang menjadi teman bangsa kulit putih memiliki prestise yang serupa di mata penduduk jajahan.

Kebijakan dari pemerintah Inggris Raya untuk membawa representasi penduduk local tidak serta merta diterima oleh semua anggota Klub. Hanya Flory yang mendukung kebijakan tersebut. Teman-temannya menolak dan menganggap bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris Raya tersebut dapat merusak prestise dari golongannya sendiri. Pukka Sahib seharusnya tetap dijaga dan jangan sampai ada yang mengotorinya.

Melalui U Po Kyin, beragam konflik dimunculkan di dalam novel yang terbit pertama kali pada 1934 ini. Bentuk konflik yang timbul dapat dikategorikan ke dalam bentuk disorganisasi, yaitu keadaan tanpa aturan (kacau, cerai-berai, dan sebagainya) karena adanya perubahan pada lembaga sosial tertentu (KBBI, 2023). Setidaknya ada tiga bentuk disorganisasi yang dapat kita lihat di dalam Burmese Days, yaitu normlessness (ketiadaan moral), culture conflict (konflik budaya), dan breakdown (kerusakan). Ketiga bentuk disorganisasi tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam Diskusi #67 Klubbukumain2.

Mari diskusikan bersama. Sampai jumpa!

Yogyakarta, 15 September 2023

Daftar referensi:

Orwell, George. 2022. Burmese Days. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sujarwa. 2018. “Pengantar Sosiologi Sastra”. Materi Kuliah.

Kamus Besar Bahasa Indonesia V – Daring. 2023.



[1] Orang-orang yang memiliki pandangan Bolshevik atau pendapat yang radikal.

[2] Kata nigger  dipakai sebagai istilah dengan konotasi negatif yang kuat untuk orang berkulit gelap sejak abad ke-18. Penyebutan nigger oleh tokoh Ellis merujuk pada penghinaan dan tidak tepat dengan akar keturunan penduduk Oriental, yaitu Burma (ras Mongoloid) dan India (Arya atau Dravidia).       

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...