Spirit, Momen, dan Milieu dalam
Burmese Days—George Orwell
Mengulas Burmese
Days ternyata lebih sulit daripada “perjuangan” ketika saya membaca novel
pertama Eric Arthur Blair ini. Karena banyaknya hal menarik yang bisa disampaikan dan diungkap, pembahasan kali ini akan
dibatasi pada munculnya disorganisasi tokoh yang dapat dilihat dengan konsep
yang disampaikan oleh Hippolyte Taine, yaitu ras (spirit), momen, dan milieu.
Spirit, Momen, dan Milieu
Secara singkat, spirit dapat
diartikan sebagai karakter kebangsaan yang
mewujud dalam tokoh di dalam karya sastra. Kemudian, momen adalah semangat
zaman yang tergambarkan melalui rangkaian peristiwa yang dimunculkan. Lalu,
milieu merupakan lingkungan yang dimunculkan di dalam karya sastra (Sujarwa:
2018).
Tiga konsep Taine tersebut
dapat memudahkan kita untuk melihat disorganisasi
tokoh
yang ada di dalam novel Burmese Days. Spirit muncul dalam upaya mempertahankan “kesucian” Klub
yang beranggotakan pukka sahib
(orang-orang kulit putih yang dihormati atau perfect gentlemen) tanpa masuknya anggota yang berasal dari golongan
penduduk lokal Burma (Oriental). Momen yang dimunculkan adalah pada masa
imperialisme Inggris Raya pada abad 20 (ketika
Inggris sudah 150 tahun di India), yaitu pada tahun 1920-an. Milieu di dalam Burmese Days disimbolkan pada sebuah
nama distrik Kyauktada di Burma Atas.
Orwell membuat daerah fiktif
sebagai milieu yang dimunculkan. Burma
di dalam novel Burmese Days karya
George Orwell tidak seperti Burma saat ini (Myanmar). Latar waktu dan tempat
yang diceritakan di dalam novel setebal 408 halaman ini mengambil latar di Kyauktada,
Burma Atas pada masa imperialisme Inggris Raya. Eric
Arthur Blair “menceritakan”
kisah hidupnya ketika menjadi polisi di Burma pada 1922–1927. Ini adalah novel pertamanya—yang
berisi 25 bab—yang menggambarkan kondisi Burma
pada 1920-an ketika Inggris menguasai India.
Tokoh-tokoh utama di dalam novel
ini terdiri dari Flory pedagang kayu, U Po Kyin Magistrat Wilayah, Dr. Veraswami, Elizabeth
Lackersteen. Ada pula tokoh-tokoh lain seperti Mr. Macgregor Deputi Komisioner,
Mr. Westfield Kepala Polisi Distrik, Mr. Lackersteen (Tom) Manajer Perusahaan
Kayu, Mrs. Lackersteen, Ma Hla May, Ko S’La, Ellis Manajer Lokal Perusahaan,
Maxwell Pejabat Divisi Hutan.
Istilah yang dipakai oleh Orwell untuk menyebut
orang-orang Eropa atau Anglo-India
di dalam Burmese Days adalah pukka sahib (perfect gentlemen) yang merupakan gambaran orang-orang berkulit
putih. John Flory laki-laki berusia 35 tahun yang sudah 15 tahun tinggal di Burma dan bekerja di perusahaan kayu adalah tokoh yang Bolshie[1] menurut penilaian anggota Klub Eropa. Ia mengalami
konflik batin yang mengarah pada ambivalensi. Ia menentang bahwa golongan
imperialisme Inggris bisa menindas orang-orang
yang dijajahnya. Flory satu-satunya anggota Klub yang berinteraksi dan berteman
dengan golongan lokal Oriental (nigger[2]- sebutan kasar yang sering
diucapkan Ellies).
Meski Flory masih bergabung dengan Klub Eropa, Flory merasa sudah tidak bisa selaras dengan orang-orang
di dalam Klub. Pada 1920-an itu muncul imbauan dari Inggris Raya melalui Mr.
Macgregor (Deputi Komisioner dan Sekretaris Klub) bahwa klub-klub yang ada di
negara jajahan harus mengandung keterwakilan penduduk lokal. Klub Eropa Kyauktada adalah satu-satunya klub yang
belum berisi anggota dari penduduk Oriental. Aturan tersebut yang menjadi
konflik internal di dalam Klub dan merambah pada konflik wilayah di Kyauktada
hingga berujung pada pelbagai intrik.
Premis itulah yang menjadi benang merah dari novel Burmese Days sejak bab pertama yang dibuka dengan U Po Kyin si “buaya berwujud manusia” dan bab terakhir yang diakhiri dengan tragedi. Isu bahwa Klub akan memasukkan pendudukan lokal
sudah terdengar oleh para petinggi wilayah Kyauktada. U Po Kyin adalah magistrat wilayah
Kyauktada yang memiliki hasrat
untuk bisa bergabung menjadi anggota Klub. Bermacam cara ditempuhnya, apalagi
ketika mendengar Dr. Veraswami
memiliki kedekatan dengan salah satu anggota Klub—yaitu Flory—dan berpotensi
menjadi anggota Klub Eropa pertama yang berasal dari Oriental. Demi mewujudkan
hasrat berkuasanya tersebut, U Po Kyin rela dan tega untuk menghabisi nyawa
sesamanya—penduduk Burma—dengan berbagai konflik pengkhianatan dan
anti-imperialisme yang ia ciptakan.
Disorganisasi Tokoh
Nilai prestise dari sebuah
Klub di negara jajahan sama tingginya dengan ungkapan bahwa “saya tidak
tersentuh oleh siapa pun”. Bangsa kulit putih masih memiliki prestise bahwa ia memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Hal
itu berarti pula bahwa siapa pun yang menjadi teman bangsa kulit putih memiliki
prestise yang serupa di mata penduduk jajahan.
Kebijakan dari pemerintah Inggris Raya untuk membawa
representasi penduduk local tidak serta merta diterima oleh
semua anggota Klub. Hanya Flory yang mendukung kebijakan tersebut.
Teman-temannya menolak dan menganggap bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Inggris Raya tersebut dapat merusak prestise
dari golongannya sendiri. Pukka Sahib
seharusnya tetap dijaga dan jangan sampai ada yang mengotorinya.
Melalui U Po Kyin, beragam konflik dimunculkan di
dalam novel yang terbit pertama kali pada 1934 ini. Bentuk konflik yang timbul
dapat dikategorikan ke dalam bentuk disorganisasi, yaitu keadaan tanpa aturan
(kacau, cerai-berai, dan sebagainya) karena adanya perubahan pada lembaga
sosial tertentu (KBBI, 2023). Setidaknya ada tiga bentuk disorganisasi yang
dapat kita lihat di dalam Burmese Days,
yaitu normlessness (ketiadaan moral),
culture conflict (konflik budaya),
dan breakdown (kerusakan). Ketiga
bentuk disorganisasi tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam Diskusi #67
Klubbukumain2.
Mari diskusikan bersama. Sampai jumpa!
Yogyakarta, 15 September 2023
Daftar referensi:
Orwell, George. 2022. Burmese Days. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sujarwa. 2018. “Pengantar Sosiologi Sastra”. Materi Kuliah.
Kamus Besar Bahasa Indonesia V
– Daring. 2023.
[1] Orang-orang yang memiliki pandangan
Bolshevik atau pendapat yang radikal.
[2] Kata nigger
dipakai sebagai istilah dengan
konotasi negatif yang kuat untuk orang berkulit gelap sejak abad ke-18.
Penyebutan nigger oleh tokoh Ellis
merujuk pada penghinaan dan tidak tepat dengan akar keturunan penduduk
Oriental, yaitu Burma (ras Mongoloid) dan India (Arya atau Dravidia).
Komentar
Posting Komentar