Langsung ke konten utama

SUDAH TAK ADA KITA!

 

SUDAH TAK ADA KITA!

Ini adalah kisah yang sudah cukup lama berlalu, tetapi baru bisa saya tuliskan saat ini. Mungkin karena saya tidak sempat? Mungkin karena saya belum sanggup? Atau mungkin karena saya belum bisa menerima perasaan marah, kecewa, dan nelangsa?

***



Pagi itu saya sedang bersiap-siap untuk datang ke sebuah acara pernikahan. Ada begitu banyak orang yang berencana berangkat bersama, termasuk *****. Selama bersiap, ***** yang merias wajah saya. Sebuah pewarna bibir berwarna merah terang dipilih olehnya. Baju gamis polos berwarna biru tua dan kerudung segi empat berwarna abu-abu tua menjadi pakaian yang saya kenakan. Selain *****, ada seorang teman di depan rumah yang berangkat bersama saya. Tanpa pernah janjian sebelumnya, warna pakaian kami ternyata senada, yaitu nuansa biru gelap dan warna gelap lainnya.

Sembari berjalan, saya berbincang bersama mereka sekaligus rombongan ibu-ibu. Hingga saat itu, saya masih belum tahu akan menghadiri acara pernikahannya siapa.

Undangan ini datang ke rumah ketika saya masih ada urusan di Jogja. Saat itu mama menelepon dan mengatakan bahwa ada seorang teman saya yang mengundang saya melalui surat undangan yang dikirim ke rumah. Karena memang sudah mulai libur, pada akhir pekan saya kembali ke rumah dari Jogja. Dan lucunya, saya tak menanyakan siapa orangnya. Tak memandang siapa pun itu, saya akan datang menepati undangan darinya. Eh, ternyata ***** dan beberapa orang lainnya diundang juga.

Ketika sedang ngobrol bersama ibu-ibu yang sedang memegang surat undangan, saya tetiba penasaran dengan nama pengantin yang tertulis di sana. sebuah kertas terlipat dua berwarna cokelat susu dengan ornamen vektor dedaunan saya ambil dari tangan seorang ibu yang tidak saya kenali wajahnya. Desain undangannya elegan, sederhana tetapi tampak mewah. Apalagi tinta yang dipakai adalah warna emas. Sungguh perpaduan nuansa yang menyenangkan dilihat.

Seperti gerakan lambat, saya membuka undangan tersebut. sebaris nama mempelai laki-laki langsung bisa terbaca ketika di halaman kedua bagian undangan. Nama itu cukup panjang, terdiri dari tiga kata. Lalu ketika membacanya, napas saya tercekat. Ada sesuatu yang sesak yang memenuhi rongga dada. Kemudian, pelipis mata sudah tak sanggup menjadi bendungan. Luruh. Air mata saya jatuh. Beberapa orang tampak bertanya, ‘Ada apa dengannya?’

Dunia saya berhenti. Saya termangu. Bergeming. Lunglai

Dari arah kiri, ***** meraih pundak saya dan mendekap. Saya tak menghiraukannya. Ada sesuatu yang lebih bergemuruh di dalam kepala selain riuh redam orang-orang yang mulai memanggil-manggil nama saya, untuk menyadarkan saya dan membawa kembali nyawa yang seketika melayang meninggalkan dunia.

Saya kembali tersadar. Undangan masih di tangan. Kubaca lagi baris kedua yang menginformasikan pengantin perempuannya. Namanya asing, saya tak mengenalinya dan sama sekali tak pernah mendengarnya.

“******* **** ****** dan **** ***** ********”

Sembari melanjutkan perjalanan yang sudah semakin dekat dengan rumahnya ***, saya mulai mempertanyakan banyak hal. Ada banyak sekali pertanyaan yang bertubrukan untuk berebut jawaban. Sialnya, saya tak punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Di sisa perjalanan, kepala terasa pening ketika mencoba mengingat semua masa yang pernah saya lalui dan sudah terjadi.

Ada banyak kenapa yang membutuhkan karena. Lebih sialnya lagi, saya lebih banyak tak tahunya daripada alasan yang bisa digunakan untuk menyanggah tanya.

***

Sebuah gedung di atas bukit tampak ramai dengan orang-orang berpakaian batik dan bergaun pesta. Langkah kaki mulai ragu. Menyadari keraguan pada diri saya, ***** menawarkan untuk duduk di sebuah gazebo di samping kanan gang masuk menuju gedung pesta. Tak hanya *****, beberapa orang pun turut duduk dan menemani saya. Anehnya, saya merasa seakan-akan orang yang hadir di acara tersebut telah mengetahui apa yang saya rasa. Orang-orang yang sama sekali tak saya kenali pun tetiba simpati dan menghampiri. Mereka menatap dengan mata menyipit dan senyum tipis penuh rasa kasihan.

"ada apa? Apakah saya tampak semenyedihkan itu?" tanyaku pada ***** yang masih duduk di samping saya.

***** diam.. tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Tak ada kata-kata menghibur, menyanggah, atau menjelaskan tentang apa yang sedang terjadi saat itu. Dia diam. Benar-benar diam. Ataukah saya yang terlampau tak mau mendengar satu kata pun penyanggahan?

Dari arah pintu keluar gedung, dua sosok lelaki berpakaian beskap hitam lengkap dengan aksesori keluar dari sana. seorang pria tua bertubuh sedikit gemuk dengan rambut yang sudah sedikit beruban memimpin di depan, dia adalah bapa. Ya, ia adalah bapanya *******.

Kemudian, seorang lelaki dengan pakaian yang sama tampak tertunduk di belakang bapa. Ada keraguan dan tampak rasa sedih dari caranya berjalan. Saya masih tak yakin itu sebab apa. ******* tampak berbeda. Ia tampak semakin murung dari terakhir kali saya berbincang dengannya.

Dua laki-laki itu berjalan menuruni bukit. Saya mencoba sembunyi di samping tembok gazebo. Saya terlampau tak percaya dengan apa yang saya ketahui baru saja. diri ini menolak untuk bertemu ***. Ada rasa benci yang tetiba muncul dan menguasai diri. Kemudian, sebuah instruksi tegas muncul dan berkata, ‘segera sembunyi, Yosi!’

Sebelum mereka semakin dekat, saya sudah berada di balik gazebo. Sialnya, bapa dan **** justru langsung berbelok dan sengaja mendatangi tempat persembunyian saya. Mungkin alasan mereka berdua keluar dari gedung adalah untuk menemui saya. Ah, kenapa? Ada apa?

“Mbak Yosi, terima kasih ya sudah datang. Akhirnya kita bisa bertemu lagi,” ucap bapa seraya menyapa saya yang sepertinya lebih banyak sebal daripada senangnya.

“iya, Pak. Saya juga senang bisa ketemu sama Bapa lagi,” ujar saya berusaha menyembunyikan rasa kesal.

Hingga percakapan itu berakhir, **** masih bergeming. Berdiri mematung di samping bapa dengan tanpa bersuara. Saya jengkel melihat perangainya.

“Kamu kenapa?” tanyaku dengan melirik ke **** yang tampak lesu dan merunduk pilu. “Kalau mau ngomong silakan bicara. Kalau tak ada yang mau dibicarakan silakan pergi saja.”

“Kamu mau bertanya apa? Nanti saya jawab,” suaranya seperti tercekat ketika menimpali ucapan saya sebelumnya.

“Banyak sekali, ***! Saya punya ribuan pertanyaan menyebalkan yang tetiba muncul hari ini, beberapa saat yang lalu. Saya punya banyak ‘kenapa’ yang hanya kamu yang tahu jawabannya. Kenapa, ***? Kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu tak memberi tahu saya? Kemarin kita masih berkirim pesan, kenapa pesan terakhir yang menanyakan keberadaanmu di mana kau tak membalasnya? Untuk sekadar mengabari saya kenapa kamu tak bisa?” saya mulai berteriak. Pertanyaan-pertanyaan itu menarik perhatian orang-orang yang memang ramai di luar gedung. Semakin bertambah ramai ketika mereka menyadari ada yang aneh ketika seorang pengantin dan ayahnya keluar dari gedung ketika akad nikah akan segera dimulai.

“Kamu menyebalkan, ***? Ahhhhhhhh! Persetan!”

Saya histeris. ***** yang beberapa saat lalu meninggalkan saya kini kembali hadir di samping saya. Memeluk dan meraih pundak dan menyeka air mata yang tetiba seperti bendungan jebol terkena air rob.

Saya histeris. Bapa tampak sungkan dan merasa bersalah.

Saya histeris. Orang-orang menatap dan meratap.

Saya histeris. **** terdiam dan  justru pergi berjalan memasuki gedung.

“Kenapa, ***? Kenapa kamu melakukan ini?” saya berteriak mengarahkan pada **** yang melangkah cepat dengan berat kaki.

*** sama tak punya jawaban atas pertanyaan kenapa saya. Saya tahu itu.

Namun, kebencian semakin memuncak. Saya semakin merutuk. Orang-orang semakin bertanya ‘ada apa?’

Saya, hanya diam tak satu pun membalas pertanyaan itu.

***

Saya kembali duduk di gazebo. Tidak pergi, tidak pula masuk ke gedung untuk menjadi saksi dari pernikahan yang sebentar lagi akan terjadi. Dari luar pun, suasana khidmat begitu tampak dari orang-orang di dalamnya. kalimat ijab dan kabul telah **** ucapkan. Ibu yang berada di samping **** tampak ayu, tetapi teduh. Bukan, itu bukan raut bahagia seorang ibu yang anaknya sedang menikah. Ibu berbeda. Senyumnya tampak terpaksa. Matanya sayu seperti baru saja dilanda badai duka pada malam sebelumnya.

Bukan hanya ibu, **** pun sama anehnya. Hanya beberapa jenak ia menatap Dewi yang kini sudah menjadi istrinya. Sebentar, sekilas, kemudian berpaling. Saya dan **** sempat bersitatap ketika ia mengarahkan pandangan ke arah saya. Ada kata yang tak mampu ia ucapkan. Ada fakta yang seharusnya ia ungkapkan. Akan tetapi, apa?

Prosesi ijab telah selesai, ketika akan beranjak ke prosesi selanjutnya saya putuskan untuk masuk ke dalam gedung. Saya ingin bertemu ibu. Ya, saya ingin bertemu dengannya dan memeluknya.

*** dan Dewi sedang melakukan prosesi adat kacar-kucur atau apalah namanya, saya tak begitu jelas melihat mereka. Ketika saya sudah memasuki gedung dan ibu menyadari kehadiran saya, kami pun mendekat. Saya menyalami ibu. Lalu, ibu memeluk saya. Tangannya mendekap kencang. Di dalam pelukannya yang menenangkan dan menghangatkan, saya kembali menangis. Ada kesedihan yang kembali hadir. Ah, memang rasa sedihnya belum tuntas juga sih.

Dalam peluk dan tangis, saya berbisik ke ibu. “Ibu, saya sayang Kha***. Saya menyayanginya, Bu.”

Tangan yang memeluk saya semakin erat. Jemari Ibu yang lembut membelai kepala dan mengusapnya dengan lembut. Ibu terisak. Tak ada kata. Kami kembali diam dan sunyi.

Saat itu, saya tak tahu apa yang orang-orang di sekeliling saya lakukan. Semua seperti terhenti. Tercekat oleh kesedihan. Hanya ada saya dan ibu saat itu, itu yang saya rasa.

Seperti ***, ibu pun tak punya jawaban. Ada keanehan pada diri mereka semua.

Tetiba, tangan ibu terlepas dari pelukan. Kedua tangannya memegang kedua pundak dengan mantap.

‘Iya, Mbak. Ibu tahu kalau Mbak Yosi sayang ke Mas ***,” ucap ibu dengan air mata sudah membasahi wajahnya dan melunturkan riasan yang menempel di sana. “Ibu juga sayang sama Mbak Yosi. Tolong maafin Mas **** ya, Mbak.”

“Kenapa, Bu? Kenapa **** tak memberi tahu saya apa yang sebenarnya terjadi. Saya salah apa, Bu?”

Ibu kembali diam. Hanya peluk yang kembali riuh. Saya larut dalam tanya, meski tak kunjung dapat jawab dari penyebab luka yang mendera.

Tamu-tamu masih berdatangan. Ibu pamit untuk menyalami orang-orang yang semakin siang semakin banyak yang mengucap selamat pernikahan. Saya duduk di samping singgasana pelaminan. Seorang perempuan muda dengan riasan dan gaun berwarna kuning gading menghampiri kursi tempat duduk saya. Dia adalah Dewi, perempuan yang sekarang sudah menjadi istrinya ***.

“Halo, Mbak Yosi,” sapanya sembari duduk di kursi yang memang kosong di samping saya.

Sembari mengamati riasan di wajahnya, saya menyalami tangan yang mengulur maju. “Halo,” hanya satu kata itu yang terucap serta senyum yang tersungging tipis.

Paras Dewi sungguh ayu tetapi masih tampak muda, muda sekali. Saya tak menyangka gadis semuda ini sudah menikah.

“Usiamu berapa tahun?” pertanyaan penuh penasaran tersebut tetiba saya utarakan.

“Saya kelahiran 2007, Mbak.” Jawaban itu mengejutkan saya.

“2007?” Tanya saya memastikan. “Baru tiga belas tahun dong?”

Suara saya sedikit tercengang. Apalagi ketika tahu perempuan berusia tiga belas tahun ini adalah istri sahnya ****. Astaga, **** menikahi seorang perempuan di bawah umur. Benar-benar pilihan yang buruk menurut saya. Tidak tahukah **** bahwa pernikahan anak adalah akar permasalahan dari permasalahan lainnya; tengkes, kekerasan rumah tangga, beban ganda, eksploitasi seksual, gangguan kejiwaan, kemiskinan, hingga kasus bunuh diri!

“*** gila!” umpat saya.

“Ada apa, Mbak?” tanya Dewi mendengar ucapan saya.

“Ah, bukan apa-apa. Semoga kamu baik-baik saya, ya.”

***

Malam ini saya ngopi bareng anak-anak. Di tempat ngopi, saya bercanda dan berbincang banyak hal dengan mereka. Membicarakan kesibukan masing-masing dan sesekali membahas beberapa hal yang memang akhir-akhir ini sedang terjadi. Ketika hari sudah semakin larut, seorang teman menawari sebatang rokok yang memang ia bawa. Sudah lama saya berhenti merokok, mungkin terakhir nyebat sekitar tiga bulan yang lalu.

Akumulasi emosi dan kondisi, membuat saya kembali ingin merokok malam ini. “Sepertinya enak,”  kataku sembari mengambil sebatang rokok keretek yang memang diletakkan di meja, di samping kopi yang sedang saya minum pula.

Sebatang rokok saya tarik, lalu api dipantikkan oleh teman di samping saya. Dalam beberapa tarikan napas, rokok sudah terbakar. Napas dalam-dalam saya hirup, kemudian asap mengepul keluar dari mulut. pada saat itulah, seorang teman yang sedang membuat instastory mengarahkan kameranya ke arah saya. Tak masalah, itu tak masalah untuk saya. Toh orang-orang juga sudah tahu tentang kebiasaan saya ini.

Semakin malam, merokok semakin menyenangkan. Tak sadar sudah berapa batang rokok yang saya habiskan. Meski tak membelinya, teman-teman di tongkrongan tak berat hati untuk berbagi.

Pada dini hari ketika hari sudah berganti, ada sesosok laki-laki yang mendekat ke kedai kopi. Sangat jarang ada pengunjung yang baru datang pada pukul 1 dini hari. Saya dan teman-teman langsung tercuri perhatian dengan sesosok itu. Dari beberapa meja dan sekerumunan orang, laki-laki itu mendekat ke arah saya dan teman-teman di meja dekat tembok di depan jendela. Lampu kedai kopi yang remang-remang membuat jarak penglihatan saya tak begitu jelas malam itu. Ketika sesosok lelaki sudah tersorot lampu yang berada di meja kami, saya baru mengenalinya. ***.

“Kamu kenapa di sini?” pertanyaan itu langsung terucap ketika mata saya bertemu dengannya.

“Saya mau bicara denganmu,” ucapnya datar.

“ya, silakan.” Jawab saya mengiyakan.

*** masih diam, matanya menatap sekeliling. Menatap beberapa teman laki-laki saya yang sudah mengamatinya sejak kehadirannya beberapa saat yang lalu. “Pulang dulu, baru saya mau bicara denganmu.”

Ucapan **** yang terdengar memerintah membuat saya kesal. “siapa kamu, ***? Berani sekali memerintah saya seperti itu. Kalau mau bicara, silakan bicara saja di sini. Kalau tidak mau bicara di sini, silakan kamu saja yang pergi.”

Ah, sial. Ucapan saya yang terakhir mengingatkan saya dengan hari itu. Hari pernikahannya yang hingga saat ini masih menyisakan tanya.

“Kenapa kamu lakukan ini, Yos? Kenapa kamu merusak dirimu sendiri?”

Saya tidak paham dengan dua pertanyaan yang tetiba keluar dari mulutnya. “Kamu ngomong apa sih, ***? Rusak apa? Saya merusak apa terhadap diri saya?”

“Tadi saya melihat satu instastory di instagram. Kamu terlihat merokok bersama mereka.”

“lalu?”

“Kenapa kamu merokok lagi. Bukannya waktu itu kamu bilang akan berhenti?”

Saya tertegun. Merasa aneh dengan perhatiannya yang tetiba membuncah. Lebih merasa aneh dengan tindakannya yang datang menghampiri saya hanya untuk menanyakan hal tersebut.

“Saya memang berhenti, ***. Waktu itu. Waktu itu saya berhenti. Tadi karena saya ingin, makanya saya nyebat lagi.”

“kenapa, Yosi?”

Mendengar ia bertanya lagi, nada suara saya semakin meninggi. “Kamu yang kenapa, ***? Malam hari, dini hari begini, datang ke sini, menghampiri saya, lalu tanya kenapa. Dan anehnya lagi, kamu itu laki-laki yang sudah beristri, ***.” Kata ‘beristri’ saya tekan dengan tegas. “ Harusnya kamu yang saya tanya ‘kenapa’!”

Orang-orang yang sebelumnya sedang ngobrol dengan masing-masing rombongannya, tetiba menatap saya dan **** yang sedang beradu argumen.

“Saya pulang dulu, ya. Besok kita ngopi lagi,” ucap saya sembari berpamitan dengan teman-teman di kedai kopi.

“Kalau butuh apa-apa, kabari saya, ya.” Ucap seorang teman ketika saya sudah menghabiskan sisa kopi di cangkir.

“Jangan ngobrol di sini. Antarkan saja saya pulang.” Saya berjalan sembari menyeret **** yang membuat saya kesal.

***

Saya dan **** sudah keluar dari kedai kopi. Saya di depan, dan **** mengular di belakang. Dia masih diam. Ah, sungguh menyebalkan.

Ketika sudah di depan motor, saya langsung menodong tanya ke ***. Kali ini dengan nada yang tak terlalu tinggi.

“***, sebenarnya ada apa sih? Apa Cuma karena kamu melihat instastory lalu tetiba kamu menghampiri saya ke sini?

“Bukan. Bukan hanya itu, Yos,” ucapnya sambil membuka suara.

“Saya menyayangimu, Yos.”

Saya tertawa. Heran dengan kata-kata yang saya dengar darinya. “Kamu gila, ***! Kamu sudah beristri dan bilang sayang ke saya?

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...