Langsung ke konten utama

Viva Mariposas untuk Kita Semua!

 


Ini adalah kisah di balik Hari Internasional bagi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang selalu diperingati pada 26 November setiap tahunnya sejak ditetapkan oleh PBB pada 1999. Meski buku yang dibahas adalah novel sejarah, kita harus sepemahaman terlebih dahulu bahwa karya sastra bisa dilihat dari dua sudut. Pertama, ia hanya sebatas karya seni yang bisa dinikmati keindahannya. Kedua, sastra bisa menjadi sebuah dokumen sejarah yang merekam pemikiran-pemikiran manusia yang menuliskannya. Dulce et utile.

Kisah ini adalah gabungan dari dua buku sekaligus, yaitu In The Time of The Butterflies karya Julia Alvarez dan Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih. Saya telah lebih dulu membaca novelnya sebelum akhirnya sadar bahwa setelah membaca teori analisis gender, novel karya Julia Alvarez pun sarat akan semangat-semangat transformasi sosial yang digelorakan oleh perempuan.

Julia Alvarez menulis novel sejarah tentang Mirabal bersaudari, yaitu Patria, Dede, Minerva, dan Maria Teressa. Mereka semua adalah tokoh utama di dalam novel yang kesemuanya memang benar-benar ada dalam kisah epos Republik Dominika pada saat Trujillo memerintah secara diktator selama puluhan tahun. Nama-nama mereka seperti sebuah legenda. Di kalangan para kamerad, mereka dikenal dengan Mariposas (para kupu-kupu). Itulah mengapa saya suka menggelorakan viva mariposas! Kepada para perempuan yang akan menikah. Setidaknya mereka harus tahu tentang siapa itu Minerva dan bagaiamana semangatnya meski dalam keterbatasan.

Viva mariposas untuk kita semua!

Ya, Minerva adalah tokoh sentral yang paling saya ingat setelah membaca novel yang pertama diterbitkan di New York satu dekade lalu. Melalui Minerva, saya sedikit percaya bahwa perempuan bisa melakukan perlawanan meski dalam keterbatasan. Frasa dalam keterbatasan selalu ingin saya ulang karena memang itulah yang ingin saya tegaskan. Perempuan selalu punya sekat dalam bertindak. Perempuan selalu dalam batasan-batasan yang tak boleh sama sekali dilewati. Ketika perempuan benar, ia tak bisa bersuara lantang. Ketika ia dalam posisi yang disalahkan, ia dibungkam tak boleh bersuara dengan kencang.

Aih, saya merasa sial menjadi perempuan!

Meski begitu, Minerva seakan membawa harapan baru untuk saya dan untuk kita semua. Kautahu apa yang ia lakukan?

Melalui narasi yang dibangun oleh Julia Alvarez, saya berkenalan dengan sosok Minerva yang sebenarnya saya tahu bahwa tokoh di dalam novel bukan sebenar-benarnya Minerva yang sebenarnya. Namun, saya bisa merasakan bahwa semangat yang mencoba disampaikan oleh Julia Alvarez memang sesuai dengan bagaimana semangat para perempuan untuk melepaskan diri dari belenggu subordinasi.

Perempuan sering dianggap sebagai subordinat bukan pada posisi ordinat adalah anggapan bahwa perempuan itu tak rasional atau emosional sehingga tidak bisa tampil memimpin berakibat pada munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tak penting. Subordinasi mengacu pada peran dan posisi perempuan yang lebih rendah dibanding peran dan posisi laki-laki. Dalam ranah peraturan negara, bentuk subordinasi perempuan tampak dalam peraturan bahwa jika suami akan pergi belajar (jauh dari keluarga), dia bisa mengambil keputusan sendiri. Akan tetapi, bagi istri yang hendak tugas belajar ke luar negeri, dia harus mendapat izin suami. Hal itu menempatkan posisi perempuan yang dianggap lebih tidak mampu dibandingkan laki-laki dalam hal kemandirian.

Upaya untuk mendobrak hal itu tampak dari semua tindakan yang dilakukan Minerva di dalam novel In the Time of The Butterflies. Bahkan, tindakannya sudah tampak sejak ia masih bersekolah setingkat SMA. Sejak ia menyadari bahwa Trujillo adalah diktator yang bajingan karena ia adalah predator seksual terhadap teman satu asramanya, upaya perlawanan sudah mulai ia bangun dari dalam diri. Bukankah perlawanan sesungguhnya memang dimulai dengan melawan sesuatu yang sudah diyakini benar oleh banyak orang padahal itu adalah hal yang keliru?

Ya, Minerva melakukan itu. Ketika hampir semua orang di lingkungannya memuji bahkan memuja sosok Trujillo, ia sudah tahu bahwa ada yang salah dari kepemimpinan diktator tersebut di Republik Dominika yang akhirnya tumbang pada 1961, satu tahun setelah pembunuhan mengerikan yang menimpa Mirabal Bersaudari di sebuah pegunungan pada saat mereka hendak menjenguk suami-suami mereka yang dipenjara.

Setiap kali ada seorang teman atau kerabat yang akan menikah, saya selalu menyampaikan hal yang serupa kepada mereka. "Tetaplah seperti Minerva yang tetap bisa merdeka meski telah menikah."

Di awal tulisan saya memulainya dengan mari ingat kembali Hari Internasional bagi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. 26 November adalah hari ketika tragedi menimpa Minerva dan dua saudarinya beserta sang sopir yang mengantar mereka. Di sebuah jalan daerah pegunungan, mereka dibunuh! Pembunuhan yang keji itu dirancang seolah-olah sebuah kecelakaan telah menimpa para kupu-kupu yang masih menjadi tahanan rumah tersebut. Karena kejadian itulah PBB menetapkan hari itu sebagai bentuk penghormatan sekaligus momentum untuk mengingat bahwa ada tiga perempuan yang harus meregang nyawa karena dianggap terlalu vokal dalam bersuara menentang rezim yang saat itu sedang berkuasa.

Beberapa adegan di dalam narasi yang dibangun Julia Alvarez di dalam novelnya mengingatkan saya pada penderitaan para gerwani. Salah satunya adalah ketika Minerva sedang dipenjara. Apa yang dialaminya berupa pelecehan yang dilakukan oleh sipir penjara sungguh biadab! 

Saya tidak sanggup menuliskannya di sini. Jadi, mari kita lanjutkan saja dengan berdiskusi pada esok hari!

Un clavo saca otro clavo. 

Satu persoalan akan membuat kita lupa akan persoalan lainnya.”


 

16 Desember 2021

Yosi Sulastri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...