Langsung ke konten utama

Adakah Mereka yang Punya Dua Ibu?

 


Judul buku : Dua Ibu

Penulis : Arswendo Atmowiloto

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit : 1980

Cetakan : Keempat, Juli 2017

Tebal buku : 304 halaman


Masing-masing pembaca memiliki penafsiran sendiri terhadap buku yang telah selesai dibacanya. Begitu pula dengan saya setelah membaca karya fiksi terbaik tahun 1981 Yayasan Buku Utama, Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto. Pengalaman membaca yang saya dapatkan dari buku yang sudah empat kali cetak tersebut adalah haru. 

Sosok ibu digambarkan oleh Arswendo melalui cerita dari anaknya yaitu Mamid. Sebenarnya, Mamid adalah salah satu dari anak yang diambil anak oleh ibu. Melalui surat-surat yang ditulis oleh Solemah, Mujanah, Ratsih, pembaca bisa mengetahui bagaimana perangai seorang ibu kepada anak-anaknya. 

Bukan lagi hidup dengan sederhana, mereka adalah keluarga miskin tanpa tanda-tanda berpunya. Tinggal di sebuah rumah peninggalan ayahnya, mereka bertahan dengan sisa-sisa barang yang masih tersisa. Sempat suatu waktu rumah itu hampir lengang sepenuhnya. Barang-barang yang ibu punya telah raib dijual. Demi apa? Pernikahan putrinya, Solemah, adalah alasannya.

Rumahnya kosong hampir tanpa sisa. Kalaupun ada, barang-barang tersebut dibekalkan kepada Solemah yang setelah menikah dan akan diboyong suaminya ke Surabaya.

Anak-anak ibu, termasuk Mamid pun bertanya kenapa ibu bisa sedemikian ikhlas. Mengatakan bahwa tidak bisa memberikan apa-apa, padahal seluruh barang berharga dan yang tidak berharga sekalipun telah diberikan. Lunas. Tak tersisa.

Tidak hanya kepada salah satu anaknya saja ia bisa berbuat demikian. Ketika Ratsih yang hendak menikah pun ibu berusaha tak kalah getunnya. Namun, karena Ratsih yang memang “memaksa” ibu untuk mempersiapkan hal yang sederhana, akhirnya memang tidak serepot ketika Solemah menikah.

Bukan hanya menyajikan kisah haru dari keluarga tak berpunya, Dua Ibu juga menyuguhkan latar suasana berupa kondisi sosial yang menjadi pembangun cerita. Masa-masa tahun 1980 tersaji dengan beberapa hal yang mencerminkan zamannya. Ludruk penuh kritik terhadap pemerintah adalah hal yang menjadi kesan bagi saya. 

Bukan hanya pada saat ini saja, kritik terhadap penguasa melalui karya seni, bahkan guyonan dari para seniman justru bisa menjadi sebuah kasus yang memenjarakan. Ketika pementasan ludruk yang gemar diuikuti oleh Jamil menampilkan drama yang dianggap propaganda, para pemegang kuasa di zamannya pun telah menginterferensi dengan sabotase pertunjukkan. Ludruk dilarang tampil, dengan alasan bahwa mereka telah menyebarkan propaganda politik terhadap jalannya kekuasaan pada masanya.

Tentu sebuah alur yang menarik karena penulis yang merupakan kelahiran Solo, 26 November 1948 itu pun mampu memberikan penggambaran latar tempat yang sungguh terperinci. Kepiawaiannya membangun suasana dari tempat yang dideskripsikannya mampu membuat pembaca terseret jauh ke kota Solo pada tahun 1980. Bagi pembaca yang belum pernah berkunjung ke Solo pun bisa menghidupkan kota itu di dalam imajinasinya melalui diksi yang ditampilkan oleh Arswendo.

Seperti tidak ada cacat, buku yang dianggit oleh penulis yang juga jurnalis ini mampu mengajak pembaca untuk berpikir dua tiga kali. Meski ringan dibaca, Dua Ibu pun sungguh berat untuk bisa dipahami. Meski renyah dinikmati, Dua Ibu pun cukup mengundang air mata yang membasahi pipi. Meski beberapa kali menangis, Dua Ibu mampu menghadirkan senyuman manis.

Jika Anda bertanya mengenai judulnya, temukan jawaban dengan bacaan Anda sendiri. Tanpa membaca karya Arswendo ini, Anda tidak akan sepenuhnya paham. Membacanya pun belum menjamin bahwa akan ditemukan jawabannya.

“Kami yang sebenarnya berasal dari berbagai keluarga, dialiri darah yang sama. Darah ibu. Darah seorang yang mengorbankan kebahagiannya sendiri untuk kebahagiaan orang lain.” (Atmowiloto, 1980: 300)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

Disonansi, Sebuah Novel Pelari

    Judul                      : Disonansi Penulis                 : Edith PS Penerbit               : Gramedia Tahun terbit        : 2015 Genre                    : Metropop   Disonansi adalah novel yang memberi tutorial tentang bagaimana caranya berlari. Sinopsis di belakang buku sudah cukup menarik perhatian saya untuk membeli novel ini lalu membaca hingga menamatkannya. Pada bab-bab proses “berlari”, saya diberi beragam harapan dan tebak-tebakan tentang siapa tokoh utamanya, apa persamaannya, hingga bagaimana ujung kisahnya. Edith PS mampu mempertahankan ketegangan dan pertanyaan bagi saya hingga ha...

Ini Aku, Mengenai Pandanganku

Ini Aku, Mengenai Pandanganku Tuhan menganugerahkan mata kepada manusia agar dengan itu mereka dapat menangkap keajaiban yang telah Tuhan ciptakan. Aku ingin bercerita tentang seseorang yang telah banyak memberiku pemahaman.  Ini bukan mengenai sebuah teori-teori pelajaran, tetapi pemahaman akan hakikat sebuah keadaan. Dulu, aku selalu ingin mengabadikan setiap momen penting, unik, luar biasa, atau berkesan dengan sebuah foto.  Gambaran mengenai keadaan yang sedang terjadi dalam perjalanan hidupku.  Berasa kurang rasanya jika setiap momen itu tidak ditangkap oleh kamera.  Merasa tidak ikhlas jika terlewat begitu saja.  Bahkan tak jarang merasa sedih, marah, dan kesal jika tanpa sengaja tak tertangkap kamera. Ini tentang dia yang hingga kini mampu menjadikanku manusia yang tidak menuhankan “foto”. Sekadar sebuah gambaran yang menjadi deskripsi keadaan. Aku masih bisa mengingat mengenai apa yang kubicarakan dengannya hingga pada...