Langsung ke konten utama

Anggota Persma Masih Punya Takut, Lho!

 


Kalau tulisan diunggah di Poros tuh rasanya deg-deg serrr. Apalagi kalau sudah berbau kritik. Eh, tapi tulisan Poros kan kritik semua ya? Hahahaha.

Serius nih. Kalau saya baru saja unggah tulisan sendiri, tulisan yang saya sunting, atau tulisan dari anggota Poros yang lain itu rasa takut dan khawatir pasti muncul. Bayangan gelap teman-teman aktivis yang mendapat represi tajam dari beberapa pihak yang berkuasa adalah hal yang membuat saya resah. Meski belum pernah sih sekonyong-konyong dapat represi. Eh, eh, pernah. Dulu ketika di tahun pertama, zamannya saya masing magang, ketika wawancara beberapa orang para birokrat, tindakan represi berupa intimidasi verbal kerap saya dapatkan. Sungguh, baru melalui verbal saja saya sudah merasa takut. Tidak terbayangkan, bagaimana rasanya teman-teman aktivis yang mendapat represi lebih parah daripada itu- yang sampai ke penangkapan oleh aparat kepolisian.

Namun, di balik rasa takut itu sebenarnya ada keberanian yang sedikit banyak telah muncul dalam diri saya, yaitu berani bersuara menyampaikan apa yang memang sebenarnya terjadi. Selama ini pun, yang menjadikan saya bertahan adalah keberanian itu. Keberanian untuk mengemuka di depan khalayak melalui tulisan-tulisan yang saya dan teman-teman hasilkan. 

Saya selalu berusaha untuk mematuhi rambu-rambu jurnalistik yang berlaku. Langkah-langkah verifikasi pun selalu berusaha saya penuhi. Semaksimal yang saya dan teman-teman mampu. Semoga saya dan teman-teman Poros, serta teman-teman sesama aktivis yang berani bersuara lantang tetap bisa bersuara tanpa harus disumpal dan dibungkam. 

Ketika massa aksi mulai membubarkan massa, itulah saatnya saya harus benar-benar bekerja

Persma memang belum bisa menyeimbangi kecepatan pemberitaan yang diunggah oleh media arus utama. Untuk ketepatannya, saya di awak persma telah berusaha untuk menyajikan berita yang berimbang - pastinya tetap memihak pada kepentingan rakyat dong.

Saya dan teman-teman di Poros belum bisa menerbitkan berita ketika demonstrasi berlangsung ya karena anggota Poros yang di lapangan tidak hanya meliput berita. Ketika sudah di titik aksi, Poros akan melebur bersama massa aksi. Turut melantangkan suara. Menggemakan tuntutan. Mengawal hak-hak kami sebagai warga negara.  

Seperti ada peristiwa #JogjaMemanggil serta aksi mosi tidak percaya yang dilangsungkan di beberapa daerah di Indonesia yang terjadi pada 8 Oktober 2020, saya melihat koordinasi kerja yang berada di Poros benar-benar hidup dan berjalan. Sebagian mahasiswa yang ada di Jogja mengikuti massa aksi. Tercatat ada sekitar sepuluh anggota Poros yang ikut turun. Mereka melakukan liputan langsung melalui foto, video, dan laporan singkat kondisi termutakhir di lapangan. Setelah itu, liputan itu langsung dikirimkan kepada pengurus yang bertugas menjadi koordinator tim penjenamaan media. Darinya, informasi tersebut divalidasi dan disunting untuk kemudian diunggah di akun media sosial Poros. Ada beberapa orang yang menangani langsung medsos Poros. Ada yang fokus di Instagram, Twitter, dan seorang lagi di Facebook

Di samping laporan langsung yang dilakukan oleh teman-teman Poros di Jogja, beberapa laporan langsung berupa informasi pergerakan massa aksi pun berhasil dihimpun dari beberapa daerah. Posisi anggota Poros yang berada di berbagai daerah waktu itu menjadi keuntungan bagi kami. Rasanya itu seperti ada kontributor yang menangani setiap daerahnya. Misalnya, ada yang memberikan laporan langsung kondisi terkini di daerah Cianjur, Jawa Barat. Dan untuk saya, yang kebetulan sedang berada di Cikarang, pun memberikan laporan terkini mengenai aksi massa yang terjadi.

Seperti aksi yang sudah-sudah, saya akan mulai sibuk setelah massa aksi telah bubar. Berita mulai berdatangan. Pada saat itu, beberapa berita yang membutuhkan kecepatan unggah langsung menuju pemimpin redaksinya, tidak melewati saya maupun editor berita. Beberapa berita ada yang masih lewat editor, ada yang langsung saya sunting, dan ada pula yang memang ditulis oleh saya. 

Apa yang Bisa Diharapkan dari Poros?

“Jangan berharap sesuatu yang lebih dari Poros. Ciptakan sesuatu yang lebih dari apa yang ada di Poros. Kunci dari hal-hal yang menjadi prestasi untuk dirimu adalah dirimu sendiri. Sebuah organisasi sebaik apa pun tak akan berpengaruh pada kehidupanmu jika dirimu sendiri tidak mau turut andil dalam perkembangan yang ingin kamu capai.”

Jawaban itu saya dapatkan ketika suatu malam sedang berbincang-bincang dengan beberapa orang. Diawali dengan mereka yang sekarang harus saya bimbing, lalu dilanjutkan dengan mereka yang tidak pernah secara langsung membimbing saya namun mampu mengarahkan arah pikiran saya. Kini pandanganku semakin terbuka. Beberapa hal yang baru saya sadari kebenarannya pun mulai terungkap. 

Saya harus mulai berkaca pada diri saya sendiri mengenai apa saja yang sudah saya ciptakan selama saya berada di Poros. Berapa banyak tulisan yang sudah dibuat, dan berapa banyak perkembangan saya selama menghabiskan waktu sekian tahun di Poros. Rasanya sayang sekali kalau waktu yang saya habiskan hanya digunakan untuk sekadar kumpul-kumpul lalu pulang, harusnya ada hal yang membuat saya berpikir maju ke depan. 

Salam persma!

Yogyakarta, 20 Februari 2021

BONUS!

Sebuah percakapan di balik layar, bukti bahwa kami masih punya rasa takut. Wkakakaka 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...