Langsung ke konten utama

Titik yang Bergerak Mendekat - Sebuah kisah yang hidup dalam mimpi penulis

Titik yang Bergerak Mendekat


Pepohonan hijau memenuhi pandangan mata saya. Saat itu saya sedang berjalan-jalan dengan Ulin. Kita berdua bersama-sama pergi mendaki. Bukan kali pertama, tetapi sudah ke sekian kalinya. Saya sampai hapal rute pendakian dari gunung itu.
Ketika hampir sampai di puncak, saya dan Ulin tanpa sengaja menemukan sesuatu yang tidak pernah kami jumpai sebelumnya. Kami sempat berlalu pergi, tetapi ketika memikirkan betapa sayangnya kalau tidak disinggahi akhirnya kami pun memilih untuk putar balik dan mendekat ke tempat itu. Di sebuah tikungan jalur pendakian, ada sebuah air terjun yang mengalir tenang. Warnanya bening. Menyatu dengan bebatuan dan beberapa tumbuhan yang tumbuh menempel. Tidak deras dan tidak pula kering. Sungguh menenangkan.
Air terjun itu tidak terlalu besar, tetapi cukup indah dan menarik untuk didekati. Saya pun mencoba mendekat, tetapi tidak jadi karena ada hal yang menghalangi.
Di samping air terjun, sedikit menanjak ke arah bukit, terlihat sebuah pura. Sepertinya itu adalah tempat peribadatan yang sudah lama tidak digunakan. Beberapa bangunannya telah rapuh dan ada pula yang hancur. Beberapa pura sembahyang pun telah hilang pucuknya, hanya tersisa fondasi. Saya dan Ulin mengambil beberapa foto. Hasil jepretannya sangat apik. Terlihat kuno, dengan nuansa cukup menyeramkan. Sebenarnya saya pun merasa takut ketika mendekati tempat itu. Hawa dingin langsung menusuk kulit. Perasaan seperti sedang diawasi pun saya rasakan. Ketika pandangan menyapu sekeliling, hanya ada bayang-bayang kabut kelabu. Lalu ketika pandangan mengarah ke bawah, terlihat pemandangan yang cukup menantang untuk saya pandang. Dari sana saya bisa melihat bahwa saya berada di posisi hampir puncak dari gunung itu.
Setelah selesai mengambil beberapa foto, saya dan Ulin pun melanjutkan pendakian. Langit semakin mendung. Petang juga menjelang. Akhirnya saya sampai di pos peristirahatan. Lagi-lagi itu adalah sebuah tempat ibadah yang sepertinya telah lama ditinggalkan oleh pemeluknya.
Ketika sampai di sana, sudah ada Evi dan Ikma yang lebih dulu singgah. Mereka tengah asyik mengamati sekeliling.
Bangunannya unik, hampir sama dengan tempat yang saya singgahi sebelumnya. Namun, tempat itu lebih menyeramkan. Beberapa nisan terlihat di area depan. Lalu ketika pandangan mengarah ke dalam bangunan, di sana pun ada nisan yang entah berjumlah berapa banyaknya.
Di pojok kanan depan dari bangunan itu, ada beberapa kendi yang sudah pecah. Kendi-kendi itu ditumpuk, bercampur dengan beberapa pecahan keramik lainnya. Di sela-sela itu, tumbuh tanaman liar yang kian lebat. Warna hijaunya mampu menerabas kelamnya pecahan gerabah. Terlihat begitu kontras. Apalagi di depan pecahan-pecahan itu pun ada nisan yang entah itu nisan siapa dan untuk apa diletakkan di sana. Sampai saat itu, saya masih belum memahami tempat apa itu sebenarnya dan milik siapa.
Di tempat itu, ada dua bangunan utama yang masih berdiri. Sebelah kanan adalah bangunan yang saya ceritakan tadi, lalu di sebelah kiri adalah bangunan dengan nuansa biru dan hijau telor asin. Bangunan itu lebih rapi. Terlihat bagus pula. Sepertinya masih dihuni oleh pemiliknya. Akan tetapi, ketika kami hendak beristirahat, justru bukan tempat itu yang ditunjukkan. Bangunan seram penuh nisan adalah tempat saya mengistirahatkan badan. Sempat merasa enggan, tapi saya pun tidak ada pilihan. Saya perlu istirahat dan perlu sebuah tempat.
Saya membuka tas yang saya bawa. Mencoba mencari barang-barang yang bisa saya manfaatkan. Untungnya saya bawa selimut tebal itu. Dengan demikian, saya bisa sedikit merasa nyaman meski tidur beralaskan tanah. Selimut itu saya jadikan bantal pula.
Sebelum benar-benar beristirahat, saya mengecek gawai. Melihat-lihat kembali hasil jepretan pemandangan. Lalu saya pun membuka GPS. Dari sana saya sungguh terhenyak. Ada koordinat yang sedang bergerak mendekat. Saya memang meninggalkan pelacak ketika saya mampir di tempat sebelumnya. Namun, di mana saya meletakkannya?
Ketika kembali memperhatikan, titik koordinat itu semakin mendekat ke arah saya. Berkedip begitu cepat. Lalu, saya ingat di mana saya meletakkan alat pelacak. Iya, saya meletakannya di sebuah pura tua yang sudah patah ujungnya. Sebuah benda. Bukan makhluk, bukan manusia. Lantas, siapa sebenarnya titik koordinat yang sedang berjalan mendekat itu?

Kebumen, 7 Juli 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...