Langsung ke konten utama

Tentang Mereka yang Saya Temui di Jogja

Tentang Mereka yang Saya Temui di Jogja

Inilah mereka yang buat saya rindu untuk kembali ke Jogja dan mereka yang membuat saya bisa bertahan di sana.

Phasayang Sasindo A
Menyebalkan dan terlalu ikut campur urusan orang lain. Itu adalah anggapan saya terhadap Phasa ketika awal saya mengenalnya. Namanya Hidayah Nuril Phasa. Anak pertama dari banyak bersaudara. Saya lupa berapa adiknya. Kayanya sih ada empat. Satu perempuan dan tiga laki-laki. Kalau keliru biar kamu yang benerin ya, Sa.
Awal perkenalan dengan Phasa adalah ketika kali pertama masuk kuliah di semester satu. Dulu ia duduk di samping alm Feni. Perkenalan pertama saya dengan Phasa hanya sekadar nama. Setelah itu, beberapa tugas kelompok membuat saya lebih dekat dengan Phasa. Sungguh seperti seorang kaka ketika saya sedang berbicara dengannya, mungkin karena dia anak pertama di dalam keluarganya kali, ya. 
Setiap saya mengeluh, dia selalu punya alasan yang mematahkan rengekan saya. Setiap saya bercerita pun, dia punya kata-kata manis pembangkit semangat. Lalu, ketika saya sempat terjatuh, dia pula yang membangkitkan saya. Mendengarkan, mengarahkan, menemani, dan menyemangati bahwa semuanya harus saya lalui.
Gaya bicaranya ketus. Itulah kenapa Phasa sungguh menyebalkan, tapi saya sayang. Makanya nama kontaknya adalah Phasayang. Hahahaa.
Dengan tangan terbuka, dia selalu ada untuk saya. Dengan telinga yang siap mendengarkan, dia siap untuk menjadi teman bercerita. Dengan kepandaiannya bertutur kata, ia sigap memberi saya nasihat. Ah, sungguh. Saya harus berterima kasih kepada kedua orang tuanya yang telah mengirim Phasa ke Jogja.
Foto itu adalah satu di antara beberapa foto bareng Phasa. Waktu itu dia sedang swafoto, lalu saya yang duduk di sampingnya iseng nimbrung untuk ikut foto. Waktu itu belum ada physical distancing, jadi saya bebas deh nempel-nempel ke Phasa. Uhm, jadi pengen nyender deh ke Phasa.

A Royyan Poros Sasindo A
Samar-samar masih teringat ketika kali pertama Royyan masuk ke kelas matkulnya Pak Jarwa. Meski terlambat, caranya berjalan sungguh santai. Buka pintu, salam, lalu berjalan dari depan menuju kursi belakang. Setelah itu dia duduk di dalam kelas. Entah mendengarkan kuliah perdana, berkenalan dengan orang-orang di sampingnya, atau justru hanya duduk diam tak ada apa.
Mungkin kala itu Royyan hanya diam. Bergeming. Iya, kan, Yan?
Setelah itu, ternyata saya tahu bahwa Royyan juga mendafar di UKM yang sama dengan saya, Persma Poros UAD. Ketika wawancara, saya bertemu dengannya. Di sebuah ruang di kampus 1 dia duduk. Memojokkan diri ke sisi tembok. Tanpa sapa. Sungguh perangai yang tiada ramah-ramahnya. 
Tahun pertama dia jarang aktif berkegiatan. Sepertinya masih belum punya waktu di samping kegiatan-kegiatan di luar perkuliahannya.
Di tahun kedua, geliatnya semakin tinggi. Tahun itu pula, saya mendaftarkan diri ke HMPRISAI. Lagi-lagi, Royyan pun ikut mendaftar pula. Ketika wawancara dan melihatnya, saya langsung terhenyak. Royyan lagi, Royyan lagi.
Ternyata dia pun ingin mencoba berkegiatan di luar Poros. Kalau saya sih karena ingin punya kegiatan lain, meski Poros tetap menjadi prioritas utama saya. Entah dengan alasan Royyan sebenarnya. Mungkin ia sedang bosan dengan rutinitas di Poros.
Tahun ketiga adalah tahun yang paling menyebalkan bareng Royyan. Saya selalu terpengaruh oleh setiap opini yang ia buat. Saya selalu setuju dengan argumen yang ia lontarkan. Saya sulit menolak setiap permintaan yang ia ajukan. Wah, benar-benar si Royyan itu kurang ajar.
Itu semua terjadi karena dia memang begitu adanya. Saya selalu suka semua pemikiran yang keluar dari otaknya. Eh, tidak semua juga sih. Terkadang saya pun berdebat dengannya untuk masalah yang mungkin sepele. 
Namun, terlepas dari semua itu. Sungguh Royyan adalah pribadi yang menyebalkan. Hahahahaaa.
Dia terlewat baik dan sabar. Apalagi terhadap saya yang sering kali menghilang kalau sedang sibuk-sibuknya agenda. Dia pun yang menangani tanggung jawab saya kalau misalnya sedang bekerja. Dia pula yang sering mengingatkan tugas-tugas saya. Tugas di Poros, ya. Kalau tugas kuliah, mah enggak pernah.
Dari royyan pula saya jadi tahu kalimat yang membuat saya kuat.
“Gapapa, bismillah!”
O, ya, Royyan kalau penysyair mode on kata-katanya beuhhh. Ngena banget.  Saya selalu suka membaca setiap story whatsapp-nya. Tulisan-tulisannya renyah. Enak dibaca dan pinter banget bikin ketawa. Enggak jarang juga sih tulisannya sendu. Dan itu yang kadang bikin saya takut kalau Royyan lagi gitu. Serem. Serius. 
Eh, Yan, dua periode, ya! Biar situ makin bau. 
Foto candid itu diambil sama Mbak Muti yang waktu itu sedang ngopi bareng kami. Di sebuah kedai di daerah Kotagede. Ada Mbak Muti, Mbak Santi, Royyan, dan saya. Terus foto itu dibagikan deh ke grup wa. Grup apa ya, saya lupa. Terus saya simpen deh. 

A Ponk Poros
Selalu enak bercerita dengan Bang Aponk. Apalagi ketika perjalanan pulang ke kos misalnya. Atau ketika dari kos menuju kampus. Atau dari kos menuju warung kopi. Atau ketika akan liputan aksi. Atau ketika sepulang kegiatan organisasi. Atau dari mana menuju ke mana. Saya selalu asyik bercerita. Cerabih kalau sudah bareng Bang Aponk. Karena memang saya banyak omong, ditambah dengan Bang Aponk yang murah untuk bercerita. Cerita apa pun.
Sejak tahun pertama di Poros, Bang Aponk banyak mempengaruhi saya. Mulai dari cara menulis berita, membuat cerpen, cara membaca puisi, hingga teatrikal. Ilmu dan pengalamannya bisa dengan mudah dia bagikan. Cuma ya gitu, saya selalu dianggap anak kecil kalau lagi sama Bang Aponk. Karena dia enggak punya adik perempuan, jadilah saya yang ia lampiaskan untuk menjadi adik perempuannya. Beuhh, cerewet sungguh kalau dia sedang menasihati saya. Kalau dia sedang bicara, saya Cuma iya iya saja. Biar cepet selesai. Setelah itu dia bakalan ngomong hal ini itu. Tujuannya supaya saya tidak bertingkah aneh. 
Maaf ya, Bang. Kadang saya ngeyel. 
Bang, saya enggak punya foto bareng kamu. Adanya itu, tapi juga bareng peserta CPI yang lain. 
Bang Aponk itu yang pakai kaos putih. Eh, semuanya pakai kaos putih ya.
Bang Aponk itu yang berdiri nomor dua di sebelah kiri saya. Cowo yang berada di antara Bu Dami dan Cora itulah Bang Aponk.
Nur Poros
Luar biasa tangguh. Tahun pertama kenal dengan Mbak Nur saya sudah malu dengan diri saya. Lahir di tahun yang sama tapi kedewasaan berpikir jauh berbeda.
Namanya Nurrahmawati- disambung ya, kalau dipisah nanti beda orang lagi. Saya panggilnya Mbak Nur, karena memang suka saja dengan panggilan itu. Dia adalah mahasiswa Sastra Inggris tahun 2015, tapi kelahiran tahun 1999. Ketika masuk di Poros, dia sudah menjadi pimpinan redaksi. Tak banyak bicara, tapi sekali bicara seketika semua kata-kata yang dituturkan oleh orang lain terpatahkan dan tersapu bersih olehnya. Argumennya berdasar. Berbagai pengalaman yang sudah dia jalani mungkin yang menjadikan Mbak Nur bisa seperti itu.
Mbak Nur juga begitu sabar ketika membimbing saya. Tahun pertama di Poros, saya selalu dia ajak untuk liputan ini itu. Beberapa kali menulis artikel meski tidak sempat terpublikasi pun saya jalani dengan bimbingannya Mbak Nur. Teknik menulis berita juga banyak saya pelajari darinya.
Dia sungguh baik. Sungguh. 
Pernah ketika saya baru selesai operasi, dia menemani saya di rumah sakit. Sejak sore ketika dia tahu saya sedang di rumah sakit dia datang. Dia menginap dan tidur di samping ranjang saya. Menemani dan menyeka setiap darah yang masih menetes bekas operasi, bergantian dengan mama. Hingga pagi, hingga saya sudah benar-benar tersadar dan mampu berbicara lagi.
Terkadang saya malu kalau sedang berbicara dengan Mbak Nur. Merasa diri ini belum bisa berbagi kebaikan dengan dia yang sungguh telah berlaku baik terhadap saya. 
Tuturnya sabar, tanpa amarah. Namun saya terkadang kabur entah ke mana.
Foto itu saya ambil dari foto-foto dokumentasi kegiatan PJTD tahun 2017. Entah Mbak Nur sedang melakukan apa. Mungkin sedang mempersiapkan materi politik keredaksian yang mau dia sampaikan tak lama setelah foto itu diambil. Benar kan, Mbak?

Bu Tanti
Tahun 2018 adalah tahun pertama saya ikut mata kuliahnya. Waktu itu di kuliah perdana, Bu Tanti bercerita mengenai dirinya dan pengalaman-pengalamannya. Saya kesal waktu itu, tapi entah karena apa. Kesal saja mendengar Bu Tanti yang berbicara seperti Phasa. Ketus.
Semester perdana di mata kuliah Bu Tanti berhasil saya lewati. Kala itu saya masih belum sebegininya dengan beliau. Tugas-tugas yang allahuakbar menguras pikiran berhasil saya lewati. Lalu ketika di semester lima saya tidak masuk ke kelasnya, eh saya rindu dengan cerita-cerita yang kerap ia selipkan di setiap kuliahnya. Saya rindu dengan ketawanya yang renyah dan mengejek. Atau gaya bicaranya yang galak tapi memang benar apa yang dibicarakan. Atau dengan penyampaian materinya yang mudah saya terima. Sungguh, semester lima adalah semester yang bebas tanpa tugasnya Bu Tanti. Hahahaaa.
Terlepas dari itu semua, saya salut dengan Bu Tanti yang meski sudah mapan dengan profesinya tapi masih berupaya untuk melanjutkan pendidikan. Kalau sedang mendengar cerita beliau mengenai kesibukannya, saya terheran-heran. Dia adalah seorang ibu dari empat anak- kalau tidak salah ya, hehehee-, dia adalah dosen di uad, dia juga waktu itu mengajar di universitas lain, dan dia juga sedang melanjutkan studi S3-nya. Belum lagi dengan penelitian-penelitian yang sedang dia garap. 
Herannya lagi, Bu Tanti juga masih produktif untuk melakukan riset. Sungguh, saya ingin menjadi seperti itu.
Dari kuliah-kuliah yang dia sampaikan di kelas pun banyak membuka pikiran saya. Dengan tuturnya yang blak-blakan berhasil menampar saya dan menyadarkan bahwa bukan lagi saatnya bagi saya bermalas-malasan. Mungkin ini berlaku bagi semua mahasiswa yang dia ampu. Namun bagi saya, berkat bu Tanti saya jadi termotivasi untuk bisa menjadi seperti dirinya, melampaui pencapaiannya. 
Hampir satu tahun yang lalu foto itu diambil. Tepatnya ketika hari terakhir perkuliahan sebelum libur Idulfitri. Setelahnya langsung masuk untuk UAS.
Sepertinya sudah hampir azan Magrib ketika kami berfoto, karena memang jam matkulnya bu Tanti dapat jadwal sore waktu itu. Selesai pukul 17.50. Meski tidak benar-benar sampai pukul segitu sih.
O, ya, Bu Tanti itu yang pakai kaca mata, berkerudung abu-abu, dan berbaju hijau. Duduk di tengah-tengah. Kelihatan, kan? 
Pak Jarwo
Kuliah perdana saya adalah bersama dengan Pak Jarwa. Waktu itu gedung kampus 4 UAD belum sepenuhnya rapi seperti saat ini. Ruang yang bisa digunakan baru lantai dua. Dan di sana adalah tempat kuliah perdana saya.
Pak jarwa selalu berhasil membuat saya mengantuk. Namun karena saya duduk di barisan depan, rasa kantuk bisa saya tahan. 
Sebagai seorang dosen, beliau cukup mudah saya pahami penyampaiannya. Mungkin karena terlalu mengacu pada buku, jadi saya bisa dengan mudah mengikuti setiap materi di perkuliahannya. Cukup dengan melihat file ppt yang dia kirim, kemudian mendengarkan penjelasannya, kemudian membaca buku yang dia rujuk, maka saya bisa mengerti dengan matkul yang ia ampu.
Terkadang memang membosankan, tapi saya selalu tertarik ketika Pak Jarwa sudah membicarakan mengenai sastra-sastra lama dan naskah-naskah kuno. Semua cerita mengenai hal itu adalah yang membuat saya menyukai perkuliahannya. Setiap matkul apapun, pasti ia akan menceritakan mengenai hal itu.

Saya tidak punya foto bareng Pak Jarwa. Foto beliau ketika di kelas pun enggak ada. Jadi, saya fotokan catatan salah satu matkulnya saja ya. Semoga hal ini bisa mengingatkan saya bagaimana saya menyukai Matkul beliau. Hiya hiyaaa.
Fikria Poros
Memang cocok banget deh Fikria jadi mahasiswa psikologi. Kalau sedang bercerita dengannya, berasa seperti sedang berkonsultasi dengan seorang psikolog ulung. Nasihatnya pasti tidak jauh-jauh dari teori psikologi yang ia pelajari. Mungkin sembari mempraktikkan ilmu yang dipelajarinya kali, ya.
Dari Fikria saya belajar bagaimana menerima tanpa banyak bicara. Namun terkadang Fikria bisa tiba-tiba bertingkah gila. Melampaui dari apa yang pernah saya bayangkan. Bersamanya saya tidak merasa bosan, eh bosan juga sih. Apalagi kalau Fikria sedang menceramahi saya. Upss!
Kadang saya takut kalau berhadapan sama fikria. Sungguh. Mukanya seram. Terlebih lagi ketika diam sedang mendengarkan. Lalu ketika dia berbicara pun saya merasa takut. Takut disemprot dengan kata-katanya yang memang ada betulnya. Xixixiii.
Di hari pertama kembalinya saya ke Jogja sepulang dari Thailand saya langsung pergi ke Kebon Laras. Di sana sudah ada agenda bareng Poros. Karena saya sedang menginap di kosnya Fikria, kami ke sana bareng deh. Terus karena belum banyak yang datang, kami berswafoto. Hanya itu, cuma satu.

Zia Sasindo A
Dia banyak tersenyum. Namun tak jarang ia paksakan senyuman itu. Ketika marah dia tersenyum. Ketika sedih dia tersenyum. Ketika pusing dia tersenyum. Ketika banyak tugas dia tersenyum. Ketika ada masalah asmara dia tersenyum. Terkadang saya bingung dengan sebenar-benarnya senyum yang ia tampakkan. Manakah yang pertanda senyum bahagia?
Setelah hampir setengah tahun saya berada di lingkungannya, lebih tepatnya ketika kami mengikuti pertukaran pelajar ke Thailand, saya semakin banyak mengetahui mengenai sisi lain dari Zia.
Seperti apa yang saya sampaikan sebelumnya. Zia selalu tersenyum. Itu yang membuat dia begitu menyebalkan. Meski tak bisa saya bantah bahwa senyumannya juga yang terkadang membuat saya tersadar. 
Zia selalu terbuka untuk tempat orang lain bercerita, tapi tak jarang justru dia tak pernah terbuka dengan orang-orang di sekelilingnya. Sepertinya dia lebih suka memendam semua yang ia rasakan. Dan mungkin itulah mengapa Zia tak pernah benar-benar mengekspresikan apa yang sebenar-benarnya ia alami.
Terlepas dari itu semua, sungguh Zia adalah teman yang bisa membuat saya percaya bahwa dengan senyuman semua masalah yang kita hadapi bisa menjadi “tidak apa-apa”.
Coba tebak kami sedang berdiri di mana?
Di atas mobil bak terbuka dalam perjalanan pulang dari Asian Market di Hat Yai Thailand. Malam itu saya bersama teman-teman yang lain pergi ke Asian Market naik mobil itu. Saya dan Zia memilih berdiri dan menghadang angin. Ngeri juga sih, tapi asyik. Iya, ga, Zi?

Yuni Poros
Melalui Poros saya dipertemukan dengan orang-orang hebat. Mbak Yuni adalah di antara mereka. Meski saat ini Mbak Yuni sudah wisuda dan sudah kembali ke Kalimantan, pengalaman bersamanya membuat saya merindukan Jogja pula. Bersamanya saya merasa aman. Seperti seorang adik yang berlindung kepada kakak perempuannya. Sosoknya mengingatkan saya dengan Mbak Uli yang begitu tangguh. Kuat sebagai seorang wanita dan mandiri perangainya. 
Dari Mbak Yuni saya juga banyak belajar mengenai kepenulisan. Ketika tahun pertama di pelatihan jurnalistik tingkat dasar, dia adalah salah satu pembimbing saya. Bersama dengan Bank Aponk.
Sejak saat itu, wawasan lebih luas pun saya dapatkan ketika berdiskusi dengannya. Beberapa kali saya sempat diajak untuk pergi diskusi dan ngobrol mengenai dunia ke-persmaan. Bersamanya pula saya diajak mengikuti agenda PPMI di Bangka waktu itu.
Meski sempat menangis bersama dan pernah merasa kesal tentunya, momen itu tak terlupa oleh saya. 

Itu salah satu kenangan yang saya ceritakan, yaitu ketika pergi ke Bangka. Kalau sama Mbak Yuni ada banyak foto. Tapi cukup satu saja, ya. Kalau mau yang banyak nanti saya kirim lewat gd.

Poros




Sasindo


Sebenarnya masih banyak orang-orang hebat yang membuat saya rindu Jogja. Wah, banyak sekali sungguh. Ada teman-teman sasindo, teman-teman Poros, dan dosen-dosen yang ternyata ngangenin. 
Semoga Allah swt senantiasa memberi kalian kesehatan, keselamatan, kesabaran, kekuatan, dan keberkahan di mana pun kalian saat ini. Setelah ini, mari kita berjumpa lagi. Berkeluh kesah bersama, marah, tertawa, kesal, menangis, dan menciptakan semua emosi melalui interaksi yang kita ciptakan. 
Saya menyayangi kalian. Semoga kita bisa berjumpa dalam kesempatan yang baik. Meski bukan untuk saat ini.


Kebumen, 30 Maret 2020

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...