Langsung ke konten utama

Kejahatan Berbahasa

“Kejahatan” Berbahasa
Oleh: Yosi Sulastri

Menyempurnkan penggunaan bahasa Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah. Beberapa jenis interferensi bahasa acap terjadi dalam praktiknya. Kalangan akademisi setingkat dosen pun tidak luput dari hal tersebut. Menurut pandangan saya, segelintir dosen yang saya temui terbukti melakukan “kejahatan” berbahasa terhadap bahasa Indonesia. Mereka seenaknya mengawinkan bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Padahal hal itu dalam konsep pemakaiannya sangat tidak dibenarkan, meskipun dalam ilmu stilistika dikenal istilah campur kode.
Saya melihat fenomena itu sebagai sebuah kemajuan yang membawa kemunduran. Satu sisi ingin menaikkan eksistensi bahasa Indonesia dengan menyelipkan bahasa-bahasa asing. Di sisi lain ingin menaikkan eksistensi bahasa daerah, misalnya bahasa Jawa, dengan menyisipkannya dalam pemakaian bahasa Indonesia.
Ketika saya menanyakan mengenai motivasi utama salah satu dosen yang menjadi tersangka dari praktik tersebut, saya mendapat jawaban yang kurang bisa saya terima. “Sebagai tanda bahwa saya berasal dari Jawa,” begitulah alasan dosen tersebut ketika saya menanyakan mengenai alasan cara berkomunikasi yang mengandung “kejahatan” berbahasa.
Dosen tersebut mengatakan bahwa sudah lebih dari 12 tahun menjadi seorang akademisi. Namun begitu nahas ketika dalam situasi formal cara berkomunikasinya masih menyelipkan dialek-dialek kedaerahannya. Hal itu bukan berarti saya membenci kearifan lokal. Cara-cara yang arif masih ada selain dari pengawinan paksa bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Jika tujuannya adalah memperkenalkan bahasa Jawa, mengapa tidak dibuatkan kelas khusus berbahasa Daerah (Jawa dan sebagainya) dalam lingkungan akademisi? Menurut saya hal itu lebih solutif dibandingkan hanya dengan menyisipkan aksen-aksen kedaerahan dengan cara yang mencelakai kearifan lokal yang sebenarnya.
Saya merupakan pendatang yang berasal dari daerah Jawa dan kini pun masih berada di wilayah dengan lingkungan berbudaya Jawa. Sungguhpun itu semua menjadi alasan, saya masih tetap tidak bisa menerima argumentasi tersebut. alah bisa karena biasa. Begitu sekiranya pepatah mengatakan. Apabila dalam kehidupan sehari-hari kita membiasakan hidup dengan menyalahi aturan, kesalahan tersebut akan dicap sebagai sebuah kebenaran yang sejati.
Sebuah kebiasaan memang bukan hal yang mudah untuk diubah. Terlebih lagi jika kebiasaan tersebut telah menjadi budaya yang melekat dalam personalia orang tersebut. Namun, hal itu bukan berarti kebiasaan-kebiasaan yang berupa “kejahatan” berbahasa itu tidak dapat diredam. Dengan memberikan pengertian kepada mereka bahwa apa yang mereka lakukan kurang tepat merupakan salah satu hal yang bisa saya lakukan sebagai upaya pelestarian bahasa.
SALAM BAHASA!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima #2

  Desa Adat Seminyak Waktu terbit matahari di Bali lebih siang daripada di Jawa. Sekitar pukul setengah enam saya keluar kamar dan terkaget karena masih gelap. Ketika mengintip dari areal kolam belakang resepsionis, ternyata langit memang masih mendung dan belum ada cahaya benderang. Saya duduk sejenak di kursi depan kolam sebelum akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar menuju pantai pertama yang saya datangi.   Pantai Seminyak Saya memang sengaja memilih hostel yang dekat dengan pantai dan bisa diakses dengan berjalan kaki. Pantai Seminyak adalah pantai terdekat dari hostel dan menjadi tujuan pertama di hari kedua di Bali. Saya sengaja berjalan kaki dari hostel menuju pantai. Ada banyak hal menarik yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Yang baru saya sadari adalah ternyata saya menginap di wilayah yang masih satu areal dengan Desa Adat Seminyak. Saya pun melewati pura desa adat yang tampak megah dan gagah. Karena masih pagi, jalanan pun masih sepi dan hanya...

Mengulik Kisah di Balik Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar Karya Multatuli

  Nanti bangkehku di liat bidari, Pada sudarah menunjuk jari. Liat di lupa saorang mati, Mulutnya kaku cium bunga melati, "Mari kit 'angkat ia di sorga,   Kutipan itu adalah penggalan puisi “Lihatlah Bajing” yang ada di lampiran buku Max Havelaar . Melalui puisi itu saya akan menceritakan novel yang konon menjadi pembuka kran atas penderitaan pribumi Hindia awal abad ke-19 kepada dunia. Puisi itu muncul ketika Multatuli melalui komposisi Stern sedang menceritakan kisah akhir perjalanan Saidjah pada bab 17 (2022: 389). Saidjah menjadi tokoh yang sengaja dibangun Multatuli untuk memperlihatkan kondisi rakyat pribumi Hindia. Dikisahkan bahwa Saidjah merupakan seorang anak laki-laki yang pergi dari desanya di Parang Kujang karena bapaknya telah meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di Batavia dengan mimpi akan bisa membeli kerbau seperti yang pernah ia punya sebelumnya. Ketika memutuskan untuk merantau, ia telah terlebih dahulu berjanji pada Adinda (seorang perempua...

KE(M)BALI: Telah tiba pada yang kelima

 Perkebunan Kopi dan Sensasi Mencecap Lima Cangkir di Bali Pulina Tempat ini saya datangi karena tertarik dengan konsep “kopi” yang ditawarkan. Rekomendasi tempat yang berlokasi di Gianyar ini saya dapat dari sebuah iklan di Instagram. Tempat ngopi yang sekaligus perkebunan kopi ini sungguh syahdu—saya langsung teringin untuk mengajak seorang kawan yang pasti cocok dengan tempat ngopi seperti ini. Lokasinya berada di alam terbuka. Ketika memasuki gerbang masuk, suasana natural langsung menyambut. Di tempat saya duduk terdengar suara-suara alam yang sungguh menenangkan. Kicau burung, suara tenggoret, desir daun, suara melodi musik tradisional, dan terdengar pula gemericik air dari aliran sungai di hadapan saya. Saya duduk di areal yang menghadap lurus ke tulisan “Bali Pulina” berwarna merah hati. Sejak baru tiba, saya langsung membaca buku yang saya bawa. Setelah pesanan datang, barulah saya mencicipinya. Ada dua menu yang saya pesan. Pertama, satu paket kopi dengan lima varian di d...