Assalamu'alaikum wr.wb.
Ini cerpen yang kemaren menang di FLS2N,
Tema
: Gotong Royong
Tumpengku
Hanyut
Oleh : Yosi Sulastri
Tepat di hari ulang tahun
gadis kecil bernama Karin, sang surya belum menampakkan diri meski sudah
terlewati waktu ia menyinari. Bersembunyi karena ia masih enggan untuk memberi
kehangatan pada penduduk bumi. Para warga yang sibuk dengan aktivitas mereka
sendiri-sendiri. Mulai dari memecah batu, mencangkul lahan, dan menanam umbi-umbi.
“Ndu, tadi pagi Umi sudah beli semua keperluan untuk membuat tumpeng buat kamu”, ucap Umi Anti biasa
orang memanggilnya. “Nanti tolong bantuin Umi
ya!”
Karin yang sedari tadi
sedang asyik bermalas ria
dengan alasan sedang berpuasa bagi seorang anak yang duduk di kelas 3 SD itu
hanya mengiyakan apa yang dikatakan oleh Uminya.
Setelah beberapa
langkah Uminya keluar dari kamar Karin, ia baru tersadar dengan apa yang
didengarnya tadi. Karin pun segera bangkit dari ranjang yang berada tepat di
depan televisi.
“Umi, Umi emang tumpeng buat apa sih?”
“Buat kamu.”, jawabnya
singkat.
Seketika itu Karin baru
teringat jika hari ini adalah ulang tahunnya.
“Oiya, hari ini kan
Karin 9 tahun ya Umi. Hehehe” jawaban itu keluar dari gadis yang begitu periang
setiap harinya.
***
Udara dingin kian
menjadi karena seharian ini matahari tak kunjung menampakkan diri. Padahal jam
di dinding rumah itu sudah menunjukkan
pukul 3 sore,
yang berarti waktu
berbuka tinggal beberapa jam lagi.
“Karin, tolong ambilkan
krupuk dan kacang yang ada di keranjang itu ya!”, pinta Uminya yang sedang
memotong beberapa papan tempe untung dijadikan osengan.
“Iya, umi” jawab Karin
dengan begitu semangat.
Di saat Karin dan Umi
Anti disibukkan dengan tugas mereka masing-masing, suara rintik hujan di atap
rumah itu mulai berjatuhan. Angin yang berhembus pun kian menjadi.
“Jleger”
Suara petir yang begitu
dahsyat itu diikuti oleh pemadaman listrik Kampung Lor. Karin pun mengamati
sekeliling rumahnya, ternyata benar tak ada setitik pun cahaya yang menjadi
penerang. Yang menandakan bahwa pemadaman terjadi di seluruh rumah di
kampungnya
Tak tahan dengan
ketidakadanya cahaya, Karin menyegerakan untuk mencari penerang di lemari yang
biasa Umi Anti meletakkan berbagai peralatan cadangan. Berjalan hanya dengan
meraba apa-apa saja yang dilewatinya membuat lutut gadis berambut ikal itu
berkali-kali terbentur linger meja.
“Umi, lilinnya ada di
mana?”, teriaknya kepada Umi Anti yang sedari tadi masih duduk karena tak bisa
berbuat apa-apa.
“Ada di pojok lemari, Ndu.
Koreknya juga ada di situ.”
“Iya Um, udah ketemu
nih”, lilin dan koreknya pun telah berada di tangan Karin. Tanpa membuang
banyak waktu ia segera menyalakan beberapa batang lilin dan diletakkannya di
sudut-sudut dapur sebagai penerang seadanya.
***
Debit hujan di luar rumah kini semakin deras.
Hujan yang disertai dengan hembusan angin yang ganas. Tak lama setelah itu,
suara gemuruh air yang begitu dahsyat terdengar dari belakang rumah gedung
potongan modern itu. Iya, rumahnya memang berada tepat di depan Kali Jering. Sebuah sungai yang menjadi jalur air utama dari
hulu.
“KARIN, KARIN. Cepat
kemari!” Suara Umi yang berteriak itu membuat
Karin tersentak bukan main.
“Ada apa, Umi?” Karin
yang terengah-engah mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Cepat kamu cari apa pun yang bisa menghalau air masuk ke rumah
kita.”
Karin pun segera menuju
gudang depan untuk mengambil beberapa kardus pakaian bekas. Butuh
berkardus-kardus pakain bekas untuk setidaknya menghalau air bah itu masuk lebih
banyak lagi melalui pintu dapur yang berada tepat di hadapan sungai yang kini
sedang berkecamuk itu.
Di saat itu pula sudah
mulai terdengar beberapa kerumunan bapak-bapak yang berusaha menghalangi air
bah itu untuk menghantam rumah-rumah penduduk di Kampung Lor. Mereka
mengalihkan beribu-ribu kubik air yang dimuntahkan oleh sungai itu dengan
membuat parit yang bisa menjadi saluran air cadangan.
***
Aliran air yang berasal
dari arah utara itu menghancurkan seluruh rumah yang berada di bagian barat.
Namun, itu tak terjadi pada kampung yang
berada di sebelah barat. Sebab kampung mereka berada lebih
tinggi dari aliran Kali Jering.
Perbedaan wilayah tak membuat mereka kehilangan hati nuraninya. Para
warga kampung barat langsung mengirim bala bantuan
ketika mereka mendengar meluapnya air sungai ke arah timur.
“Pak RT, tolong kumpulkan bapak-bapak dan para pemuda untuk
segera ke kampung Lor!” Perintah Pak Han.
Pak Han merupakan
kepala dusun Kampung Bogiwa yang daerahnya tidak dilanda banjir itu memerintahkan kepada para warga untuk membantu
sebudi akal mereka. Mulai dari membantu mengevakuasi para warga hingga menyelamatkan hewan ternak mereka.
Para relawan dadakan
itu satu per satu mendatangi Kampung Lor. Rasa letih begitu jelas terlihat di
wajah mereka. Termasuk ayah Karin yang baru
saja pulang bekerja. Namun, rasa semangat yang begitu kuat tidak membuat mereka mundur begitu
saja. Meskipun mereka telah berpuasa seharian lamanya.
***
Tak mampu lagi menahan
ribuan kubik air yang menghamtam rumahnya. Karin dan Umi Anti pun dievakuasi
oleh tim yang baru saja dibentuk untuk menjadi tameng terdepan amukan air bah
itu.
“Umi, bagaimana dengan
ulang tahunku”, Karin menangis sejadi-jadinya karena perasaan kecewa yang bercampur
dengann rasa takutnya.
“Umi, Umi Karin pengen
ngerayain ulang tahun.”, tambahnya sembari menarik baju yang dikenakan Uminya.
Umi Anti yang sedari
tadi hanya bisa memajang rupa muka tenang pun merasa iba dengan rintihan gadis
kecilnya. Sesosok ibu yang lembut hati dan tutur bicaranya itu hanya bisa mengusap
rambut putrinya sembari membisikkan nasihat alus.
“Karin sayang, kita
masih bisa merayakan ulang tahunmu kok.”
“Ngerayain gimana, Um?
Tumpengnya ajah udah ga tau kemana.”
“Yang paling penting
untuk saat ini adalah kita harus bersyukur dan berterimakasih kepada mereka,” sembari menunjuk para relawan yang masih berjuang. “Mereka mau menolong kita
tanpa mengharap suatu apa.” tambahnya.
“Tapi Umi, bukankah
tolong menolong itu memang sudah kewajiban kita ya?” Pertanyaan itu keluar dari raut wajah melasnya.
“Iya sayang. Putri Umi
emang paling pinter.” Umi Anti hanya mengiyakan perkataan Karin karena ia sudah
tak kuasa untuk membendung air mata.
“Sekarang coba
tengadahkan kedua tangannmu,” pinta umi Anti kepada putrinya.
“Iya, Umi.” Karin pun
mengikuti apa yang dilakukan Umi Anti tanpa protes sedikitpun.
“Ya Allah, berkahilah
umur putriku yang kini sudah bertambah usia, jadikanlah
ia anak yang sholehah, dan berikanlah ia
kesehatan.
Lindungilah kami
sekeluarga ya Allah, berikanlah
kami kesabaran atas semua bencana yang sedang menimpa kami. Amin.”
Ditunggu sarannya, terimakasih.
wassalamu'alaikum wr.wb
Mantab yos lanjutkan!
BalasHapusgimana kabarnya? liburan gk pernah muncul eh sekali muncul gotong piala haha
blgku yos:
http://ceozo.blogspot.co.id/