Di Kala Mentari Tak Kembali Menyinari
Oleh Yosi
Sulastri
Dalam
hening di malam sunyi. angin menyeruap ke dalam kalbuku dengan begitu dingin
dan menusuk ke dalam hati. Memasuki setiap rongga kehidupanku yang mungkin tak
abadi dengan iringan melodimu yang membuatku menari-nari. Indah memang ku rasa
bila hal itu terjadi. Tak akan lagi kurasakan kesunyian tiap kali ku sendiri.
Karena kini engkau telah kembali menemani. Mendampingiku menjalani hari. Yang
begitu berat jika ku mengingatnya kembali.
Denting
jam di pagi itu begitu jelas teringat di dalam kalbuku. Menandakan waktuku yang
telah berganti karena mentari tlah menghampiri. Mengingatkanku untuk selalu
bersemangat untuk menyambutmu wahai purnama hati. Yang mungkin kini engkau
telah pergi.
***
Tak
kusangka, pagi ini langit yang begitu biru, dengan mentari yang begitu ceria
menyinari, dengan awan yang hampir pergi karna tak ada yang menemani, aku
begitu bahagia dengan diriku yang sendiri. Menikmati detik-detik kesendirianku
yang tak lama lagi kan pergi.
“Hai Lusi,
gimana kabarmu hari ini?”
Meleleh.
Mungkin itu lukisan hatiku dikala aku mendengar seruan manis darinya. Sebuah
ungkapan yang mampu membuatku melayang bersama merpati di angkasa. Menikmati
setiap hembusan angin di nirwana. Hingga membuatku terhipnotis dan melupakan
segalanya.
Tiap
kali ia menyapaku, hanya beberapa kata yang mampu terbalaskan untuknya. Hanya
segelintir ucapan yang mampu menyeruak dari mulutku. Yang bisa jadi karena aku
terlalu terbawa hati untuk mengaguminya-Doni
Samanta Ludwigh
“Hay juga,
lagi baik nih.”
“Hay
juga, lagi kurang sehat nih.”
“Hay
juga, lagi badmood nih.”
“Hay
juga, lagi happy banget nih.”
Bukan
aku tak mau membalasnya lebih dari itu. Hanya saja aku tak mampu. Tak mampu tuk
memandangnya. Tak mampu tuk menatap matanya. Tak mampu tuk berlama-lama bersama
dirinya. Aku hanya takut akan satu hal saja. Aku takut perasaanku padanya akan
bertambah bila aku terlalu banyak atau terlalu sering berinteraksi dengannya. Namun,
kini aku telah terlambat. Perasaan yang dahulu hanyalah sebuah rasa kagum
belaka, rasa suka semata, dan rasa cinta yang mungkin tak nyata. Kini ia telah
berhasil mengubah segalanya. Ia tlah
mampu membuatku tertawa di kala semua orang bersedih dengan kehidupan malang
mereka. Ia tlah mampu membuaku menangis di kala semua orang tertawa bahagia
karena cinta. Dan ia tlah membuatku bimbang di kala semua orang berhasil
melangkah maju sesuka hati mereka.
Aku
tau, dan akupun menyadari bila sebuah resiko besar telah menanti di depanku.
Siap tidak siap, mau tidak mau, aku harus mampu melewati itu. Meski ku tau, itu
tak semudah yang ada di pikiranku bukan?
***
Sorak-sorak
riuh dan riang teman-temanku tak lagi terdengar di telingaku. Himpit-dimpit
mereka di sampingku, tak lagi ku melihat mereka dari mataku. Sesak-desal tubuh
mereka menabrakku tak mampu lagi ku rasakan dalam diriku. Tak usahlah tanya
mengapa. Karena jawabannya sudah pasti. Aku tlah kembali terhipnotis.
Aku
telah terhipnotis oleh penampilannya yang begitu memukau. Petikan-petikan
melodi cinta dari jari-jemarinya mampu membuatku menari-nari. Terbang tinggi ke
angkasa menapaki kawanan awan yang mau menemani. Tapi, mungkin hanya aku yang
bisa sebegitunya setelah melihat penampilannya.
Pentas
seni itu benar-benar bisa dan mampu mengukir hariku menjadi sebegitu indahnya.
Ditambah lagi dengan lagu yang ia nyanyikan benar-benar sebuah ungkapan dari
dalam dirinya. Yang pastinya ia tujukan untukku.
Setelah
beberapa detik ku menikmati waktuku menikmati melodinya, tak kusangka ia
menyudahinya. Ku kira baru sesaat ia bernyanyi. Baru sesaat pula aku merasakan
kesejukan dalam hatiku. Tapi, ia palah turun dari panggung dan pergi. Aku terlalu gila dibuatnya. Apalagi saat dia
menghampiriku dengan senyum manis yang masih tertancap dalam bibirnya. Perasaan
yang aneh kembali hadir. Entah dari mana perasaan itu muncul. Seakan-akan semua
itu mengalir dengan begitu saja. Lalu apakah aku jatuh cinta padanya-sahabatku?
***
“Hay Lusi!”.
Sapaan itu kembali terdengar di telingaku. Menandakan ia telah membisikan cinta
di telingaku. “Gimana penampilanku tadi, bagus?” tanyanya padaku yang terdiam
dibuatnya.
“Iya
bagus. Bagus banget ko, aku ajah sampe ga terpaling.” Jawabku dengan nada malu.
“Syukur
deh.” Sembari mengajakku untuk beranjak pergi dari keramaian.
“Oiy,
katanya besok kamu juga mau pensi. By the way mau tampil apa?”, ia bertanya sembari sibuk bermain game dengan
memainkan jarinya di depan gadget favoritnya.
“Hmmm,
iya nih. Tapi aku belum pd buat tampil besok.” Jawabku dengan nada cemberut.
“Lho,
kenapa? Bukannya dari kemaren kamu udah latihan. Udah bagus juga ko.” Ucapnya
dengan menyingkirkan pandangan dari bongkahan benda yang lebar di tangannya.
“Tau
dari mana?” tanyaku penasaran.
“Tau
dong,,, Doni. Apa sih yang ga aku tau. Hahaha.” Ejeknya dengan senyum lebar di
mulutnya.
“Jangan-jangan?”
ucapku dengan nada terkejut. “ Kamu..”
“Iya, kemaren aku liat gladi bersihmu.”
Jleb.
Terperanak aku dibuatnya.
Jadi
selama ini Doni diam-diam memperhatikanku. Ku kira dia hanya acuh tak acuh
dengan aktivitasku. Ternyata dibalik dingin sikapnya masih terselip kehangatan
dalam dirinya.
***
Setelah
10 menit kami berjalan berteman canda dan tawa. Akhirnya kami sampai di tempat
biasa aku dan Doni berkumpul bersama.
“Satu
Ice Chocho ga pake gula dan satu Ice Mocca gulanya satu sendok”. Pintanya
kepada pelayan caffe.
“Baik.
Ada lagi?”
“Oiy,
tambah 2 cheese cake ya.” Tambahnya kepada pelayan itu.
Sembari
Doni memesan menu kesukaaan kami yang agak berdeda, aku terus saja
memandanginya. Melihat senyum manisnya, melihat gaya bicaranya, melihat tingkah
lakunya, dan mengamati setiap desah nafasnya hingga aku dibuat bengong olehnya.
“Dorr,
liatin apa hayo?” tanyanya dengan gaya-gaya mengagetkanku.
“Ah?
Engga ko. Nggapapa?. Oiya tadi kamu ...” potongku untuk mengalihkan
perhatiannya.
Hingga
berlanjutlah aku dan Doni bercerita kesana-kemari. Menceritakan segala kejadian
yang aku dan Doni jalani. Membagi segala bentuk kesedihan dan kegembiran yang kami
alami. Berbagi pengalaman yang menyenangkan, mengejutkan, membosankan.
Bercerita tentang air mata, tawa dan kemuraman dalam hidup kami. Tak pernah bosan aku mendengar ceritanya. Doni
juga terlihat antusias ketika mendengarku bercerita. Kami terlihat saling
mengisi dan melengkapi. Meskipun hubunganku dengan Doni tak lebih dari sahabat-yang mungkin sejati.
***
“Hahaha..
ya engga lah. Bukannya kamu yang sering kaya gitu?” ledekku
“Iihh,,
aku mah ogah. Daripada aku dapet nilai bagus karena nyontek, mendingan dapet
nilai bagus hasil kerja sendiri. Iya kan Kirei na ku?” jawabnya untuk membalas
ejekanku.
“Iya
mamas kodokku, hahaha”.
Gelak
tawa kami terus berlanjut hingga butiran-butiran kecil dari nirwana mulai
datang menghampiri bumi. Rintikan-rintikan penuh cinta yang menyenandungkan
melodi-melodi apik yang mengiringi gelak tawa kami. Hingga ku tersadar bahwa
langit yang tadi begitu cerah kini tlah berubah mendung bahkan teriring air .
Hujan
itu tak menghentikan perbincanganku dan Doni. Justru mereka tlah mampu
menghangatkan kebersamaan kami-yang
notabenenya di luar begitu dingin. Aku dan Doni terus saja berargumen
mengenai keagungan hujan. Aku yang begitu menyukai hujan dan memujinya, Doni
yang benci dengan hujan dan memusuhinya. Tapi di balik perbedaan pendapatku dan
Doni tentang hujan, terselip sedikit persamaan. Aku dan Doni sama-sama menyukai
melodinya. Sebuah irama yang mampu menenangkan siapapun yang mendengarnya,
memanjakan setiap hati manusia, menyembuhkan setiap luka dalam jiwa, dan mampu
membersihkan kita dari kotoran hati setiap harinya.
***
Setelah
beberapa milyaran detik berhasil terlewati, kini sang angin tlah membawa awan
hitam pergi mengembara-lagi.
Meninggalkan matahari untuk terbebas membagi sinarnya untuk bumi. Memberikan
senyum ceria kepada mereka yang hendak pergi. Berkelana mencari cinta untuk si
hati.
Awan
hitam berganti dengan semburat jingga dari ufuk barat. Menandakan bahwa
matahari sudah enggan untuk menyinari. Mengistirahatkan
diri supaya besok ia dapat muncul kembali. Menyerahkan tugasnya kepada sang
bulan yang telah menanti sedari tadi.
“Lusi,
pulang yuk. Udah sore nih.” Ajaknya dengan tampang memelas. “Toh hujannya udah
berhenti.”
“Ehm,,
mau ga ya?” ledekku dengan tampang acuh.
“Ayolah.!
Besok aku ada ulangan nih” pintanya kembali.
“Iya
deh iya. Aku juga udah pengen istirahat nih. Besok kan aku ada pensi.”
Akhirnya
kebersamaanku hari ini berakhir di sini. Sebuah pertemuan biasa yang dibawakan
dengan luar biasa dan mampu membuatku bahagia.
***
Bincang-bincang
kawanan burung terdengar olehku di pagi ini. Tawa canda mereka menandakan bahwa
matahari telah kembali menyinari- dan
ternyata benar. Mentari itu kini tlah menjulang tinnggi. Memancarkan
sinarnya hingga sampai di tubuh ini.
“Lusi,
sudah jam 6 lho. Katanya hari ini kamu ada pensi?” suara Mamaku itu terdengar
samar-samar di telingaku.
“Iyaaaa,
Mama. Hoam,” jawabku dengan rasa ngantuk yang masih tersisa karena semalaman
aku begadang karena tak sengaja. Kebiasaan insomniaku muncul karena merasa
takut akan suatu hal yang ga tau itu apa. Untungnya, ada Doni sang Kodokku yang mau menemani kesendirianku.
Setelah
beberapa menit aku bertarung melawan rasa ngantukku, akhirnya aku bisa
mengalahkannya dan berhasil bangkit dari tidurku- yang kurang nyenyak pastinya. Aku segera bangkit dari ranjang dan
berlari menuju kamar mandi karena jam dinding di kamarku telah menunjukan pukul
06.07.
Tak
butuh waktu lama untukku mempersiapkan diri. Aku hanya perlu mandi, pakai
seragam dan langsung cap-cus meninggalkan kamar. Sarapanpun bisa kulakukan di
bis. Karena mama selalu menyiapkan bekal sarapanku-meski untuk makan siang.
Untuk
sampai di sekolah aku hanya perlu 15 menit duduk di bis dan menikmati lukisan
indah di pagi hari. Menikmatinya melalui lubang-lubang transparan yang mampu
memanjakan hati. Beriring dengan rasa kagum karena mentari tlah menyinari.
Membuatku tenang dan mampu melangkah menjalani hari.
***
“Teng,
teng, teng”
Sepuluh
menit kedatanganku di kelas lonceng itu berbunyi. Bel pertanda masuk dan
dimulainya acaraku hari ini-pentas seni.
Karena
aku lebih menyukai tantangan, aku memilih nomor undi pertama dalam pentas seni
hari ini. Dengan itu aku berharap rasa gugup karena demam panggungku akan cepat
berakhir. Jadi, aku tinggal menghibur diri. Yang pastinya bareng si Doni.
***
Ketika
namaku dipanggil oleh dewan juri, akupun bergegas untuk menuju panggung.
Berusaha untuk tampil dan menampilkan semaksimal mungkin. Sebuah tarian-tarian
yang mengekspresikan sebuah ungkapan seorang remaja yang lincah, energik, dan
aktif.
Dari
atas panggung aku bisa melihat Doni dengan begitu jelas. Duduk di bangku
terdepan di samping tempat duduk para juri. Memperhatikanku dengan kamera yang
siap siaga untuk mengambil setiap gerak tarianku. Menyemangatiku dengan
senyuman yang tak pernah henti ia lontarkan kepadaku. Hingga aku mampu
menyelesaikannya dengan begitu santai, mudah, dan lancar.
“Plok,
plok, plok, plok”,
Riuh
tepuk tangan teman-temanku, dewan juri, dan pastinya si Doni terdengar jelas
mengiringi turunnya aku dari panggung itu. Pertanda bahwa penampilanku cukup
menghibur bagi mereka dan pastinya mampu memakau Doni - mungkin.
***
“Wih,
keren.” ,sebuah suara riang terdengar menghampiriku dari belakang panggung.
“Ah?
engga ko.”, jawabku dengan menoleh bertanya-tanya dan malu.
Ternyata
suara itu berasal dari Doni yang sedari tadi sudah menungguku di pintu belakang
panggung. Davi telah siap untuk memotret pra pentasku yang kemaren ia janjikan
kepadaku dan akhirnya jepretan-jepretan kebersamaan tersimpan dalam kamera di
genggamannya yang selalu ia bawa dalam setiap momen istimewa. Mengabadikan
kebersamaan kami berdua yang terlihat begitu bahagia.
Setelah
puas kami mengabadikan momen itu, Doni langsung mengajakku untuk melihat
kembali pentas seni yang belum berakhir. Aku dan Doni kembali duduk di antara
teman-temanku yang sama-sama melihat pertunjukan seni. Mengomentari penampilan
mereka, tertawa karena kesalahan mereka, menjadi supporter yang fanatik untuk
mereka, bertepuk tangan sekeras mungkin untuk mereka, dan itulah yang aku dan Doni
lakukan selama pensi. Sebuah potret kebersamaan yang begitu kental terasa dalam
diriku dan Doni. Sebuah potret terakhir yang menjadi kenanganku bersamanya.
***
Kini
aku hanya bisa melihat potret-potret kebersamaan itu melalui hiasan di meja
kamarku. Melihatnya yang kini tlah usang karena terlalu banyak debu yang
mengotori kebersamaan kami yang kini hanya menjadi penghias meja kecil ini. 23
maret 2014 telah menjadi hari terakhirku dengannya. Sebuah hari di mana aku
terakhir kali dibuat tawa olehnya, menciptakan kenangan dengannya, dan mengukir
sejarah manis bersamanya.
Sungguh
aku tak menyangka, persahabatanku dan Doni kini tlah bermuara ke teluk pembuangan.
Terlupakan, tersingkirkan, dan tiada lagi bisa menciptakan keindahan.
Hidup
ini kosong, hampa, tak berwarna, dan garing seperti sebuah candaaan yang tek
mampu menghasilkan tawa. Berdiam diri, hidup pasif, mengurung diri, menahan
emosi, dan berlari jauh untuk mencoba melupakan kenangan ini. Menghapuskan
memori-memori tentang Doni yang begitu sesak dan memenuhi setiap bit di dalam otak ini. Berusaha sekeras
mungkin supaya aku bisa tersenyum kembali.
Dua
bulan sudah aku menjananinya. Sebuah masa-masa tersulit untukku bisa bertahan
tanpa benih-benih semangat yang dulu biasa Doni berikan kepadaku. Menyinariku
dalam setiap kegiatanku. Menghantarku untuk bisa menuju impianku. Memotivasiku
untuk mampu bangkit dari keterpurukanku.
Kini
hanya tatapan kosong yang ada dalam diriku, menyadari bahwa Doni telah
meninggalkanku, hilang tanpa sapaan perpisahan yang ia ucapkan padaku,
melenyapkan diri secara perlahan dari pandangan mataku, menyembunyikan segala
bentuk rasa sakit di depanku, dan bertingkah normal seolah ia yang terkuat
dalam duniaku. Hingga akhirnya ia pergi menjauh karena jarak yang teramat jauh.
Surga-dunia.
Komentar
Posting Komentar